Halaman

HARIMAN SIREGAR LAKSANA LEGENDA HIDUP [Kisah Tentang Energi Perlawanan Yang Tiada Habis]




Written by Abdul Ghopur Tuesday, 16 February 2010
—tak ada yang menarik dari kekuasaan yang pongah, tak ada yang mulia dari pemimpin yang pikun. Para kerbau berlari dan berpidato, tapi kami pasti tak hirau. Sebab, kami manusia yang punya kuasa untuk berubah—

Kekerasan di Indonesia hanya bisa dirasakan, tidak untuk diungkap apalagi dituntaskan. Berita di media massa (cetak dan elektronik) hanya mengungkap fakta yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Masih ingat Peristiwa 15 Januari 1974 alias Malari (Malapetaka Lima Belas Januari)? Malari adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974 di Jakarta. Di hari kelabu itu, pusat pertokoan yang dikenal dengan Proyek Senen di Jakarta dibakar orang. Dalam peristiwa yang bisa dikatakan "hari anti Jepang" itu, lebih-kurang 807 buah mobil dan 200 sepeda motor dari berbagai merk Jepang dirusak/dibakar, 144 bangunan dirusak, 11 orang mati, 100 orang luka-luka, 17 luka parah, 775 orang ditangkap. Sebanyak 160 kilogram emas dari berbagai toko di daerah pecinan, mulai Senen sampai Glodok di Jakarta Barat amblas digondol orang.

Peristiwa itu terjadi selama kunjungan tiga hari PM Jepang Kakuei Tanaka di Jakarta (14-17 Januari 1974). Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) Jan P Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. Mahasiswa berencana memboikot kedatangannya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu menggambarkan, situasi Kota Jakarta masih mencekam.

Sehari setelah tamu negara ini meninggalkan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma yang dijaga ketat oleh tentara, suasana panas mulai mereda. Tapi buntutnya cukup serius. Lima koran terkemuka dan dua majalah di Jakarta diberangus. Sejumlah tokoh, di antaranya Prof. Sarbini Sumawinata, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Buyung Nasution, Fahmi Idris, Subadio Sastrosatomo, Laksamana Muda Mardanus, Sjahrir, Rachman Tolleng, Hariman Siregar, ditahan. Hariman sendiri tidak sampai penuh menjalani vonis hukuman 6 tahun yang dijatuhkan atas dirinya.

Peristiwa Malari sesungguhnya dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo).
Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Soeharto menghentikan Soemitro sebagai Pangkopkamtib, dan langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono “didubeskan,” diganti Yoga Sugama.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening, karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.
Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden.” Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.

Lalu, apa, siapa dan bagaimana peran Hariman Siregar pada peristiwa kelabu itu? Apa saja pikiran-pikirannya tentang demokrasi dan demokratisasi di Indonesia? Apa saja langkah-langkahnya dalam menegakkan demokrasi? Mari kita ulas jejak rekam dan sejarah perjuangannya. Hariman lahir di Padangsidempuan, Sumatera Utara, 1 Mei 1950. Hariman merupakan putera ke empat dari pasangan Kalisati Siregar dan ibunya yang bermarga Hutagalung. Sejak SD sampai Kuliah ia selesaikan di Jakarta. Putera pensiunan pegawai Departemen Perdagangan ini, pada tahun 1973 terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DEMA UI), di saat aksi di berbagai kampus meningkat. Pada tahun 1973, tercatat pula kegiatan demonstrasi memprotes kebijakan Orde Baru, yang dilakukan oleh salah satu tokoh mahasiswa, bernama Arif Budiman, dan kawan-kawan, dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Pembangunan ini menurut kelompok Arif Budiman tidak sesuai dengan situasi di Indonesia. Bagi mereka ini hanya proyek ambisius belaka. Gerakan mahasiswa yang dilancarkan Sejak Agustus 1973 tak lain untuk mengkritik strategi pembangunan yang sudah menyimpang dengan “cita-cita Orde Baru.”

Sekitar pertengahan 1973, bisa dikatakan pula sebagai tumbuhnya berbagai diskusi dan kelompok diskusi yang mengkritik strategi pembangunan pemerintah (Orde Baru), yang dianggap lebih banyak mengurusi angka pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan sosial. Suatu Kebijakan pembangunan yang dianggap tidak populis dan hanya menguntungkan orang kaya/konglomerat saat itu. Suatu kritik yang memang sedang populer kala itu. Ekonom kondang Mahbubul Haq, asal Pakistan, yang memuji konsep pemerataan di RRC, bahkan menjadi buah bibir para mahasiswa dan ekonom di Indonesia. Pada 24 Oktober 1973, di kampus Salemba ada lagi diskusi yang menghadirkan tokoh dari berbagai angkatan. Ada bekas Wali Kota Jakarta Sudiro, ada Menlu Adam Malik, tokoh pers B.M. Diah, tokoh '66 Cosmas Batubara, sampai Ketua DMUI Hariman Siregar. Hasil diskusi inilah yang kemudian dibacakan di TMP Kalibata, lalu dikenal sebagai Petisi 24 Oktober.

Antara 1972–1973, Hariman Siregar sering mengikuti kegiatan mahasiswa seperti seminar dan kongres, di dalam maupun di luar negeri. Sejak 1972, Hariman sudah diangkat sebagai Sekjen Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI) lewat kongres di Makassar. IMKI pada waktu itu adalah organisasi kemahasiswaan yang dekat dengan Golkar. Lewat jalur IMKI inilah Hubungan Hariman dengan Ali Moertopo terjalin. Dia juga sering tampil di berbagai forum yang dikunjungi Ali Moertopo. "Saya diperkenalkan sebagai pemimpin masa depan," kata Hariman, yang pernah memimpin Persija Selatan, dan kini menjabat sebagai Dokter Puskesmas. Tapi riwayat hubungan Hariman dengan Ali Moertopo tak berlangsung lama.

Ketika terpilih sebagai Ketua Dema, ia menolak permintaan agar Dema UI tak menyerang lagi soal strategi pembangunan yang merupakan produk Bappenas. Namun, Ada kelompok aktivis yang justru meminta Bappenas sebagai sasaran gerakan. "Menjelang Oktober, sudah begitu banyak gerakan di luar. Saya pikir, saya harus konsolidasi dulu ke dalam kampus. Saya buat diskusi-diskusi," ujar Hariman, yang saat itu baru berusia 23 tahun. Dengan dukungan konsep GDUI, Hariman berangkat ke berbagai kampus untuk menggalang massa. Akhirnya, Dema UI membuat kesepakatan dengan 10 kampus untuk bertemu Presiden Soeharto pada 26 Desember 1973. Mereka ingin menanyakan tentang strategi pembangunan RI yang dianggap timpang itu. Lusanya, Presiden ternyata bersedia menerima pimpinan mahasiswa dari berbagai kampus. Di luar dugaan, dalam pertemuan tertutup yang dihadiri Mensesneg Sudharmono, terlontar beberapa pertanyaan yang kasar dan menuding-nuding. "Saya jadi bingung," kata Hariman.

Pak Harto, yang ketika itu tampak kalem, menutup pertemuan singkat itu dengan menyerahkan Buku RAPBN kepada mahasiswa. Tak berhenti sampai di situ, para mahasiswa pun ingin menyambut rencana kunjungan PM Tanaka dengan demonstrasi besar. Sebenarnya, ketika itu tuntutan DEMA UI untuk berdialog dengan PM Tanaka sudah diterima, dan dijadwalkan pada 15 Januari. Tapi, "Saya ditekan teman-teman dari seluruh Indonesia itu. Kalau datang, berarti pengkhianat. Akhirnya, dialog diganti demonstrasi jalanan," cerita Hariman. Dia mengaku sangat bingung menerima desakan ini. "Saya stres," kata Hariman. Pada pagi 15 Januari itu, dia sampai membuka bajunya yang dibasahi keringat. Dan, meledaklah malapetaka itu.

Demokrasi Dalam Pandangan Hariman Siregar
Bagi Hariman, demokrasi adalah bagaimana membangun partisipasi yang lebih luas dengan meruntuhkan oligarki dan feodalisme yang telah menginfiltrasi partai-partai politik sebagai instrumen pelanggeng kekuasaannya. Menurutnya, demokrasi jangan hanya sekedar prosedural seperti pemilu lima tahunan. dengan kata lain, Hariman ingin mengatakan bahwa demokrasi harus substansial. Dengan demikian, demokrasi memiliki dua tujuan. Pertama, menggerakkan partisiapasi yang lebih luas kepada rakyat untuk terlibat aktif dalam urusan bersama (publik). Bukan saja berpartisipasi untuk memilih pemimpin, melainkan juga berpartisipasi untuk dipilih menjadi calon pemimpin. Kedua, adalah bagaimana memecahkan persoalan bersama (publik), termasuk suksesi kepemimpinan tanpa kekerasan. Beragam kepentingan yang ada dirembugkan, sejak rembug di tingkat kampung hingga ke level yang lebih tinggi. Jika rembugkan itu gagal mencapai konsensus baru dilakukan pemungutan suara. Lebih jauh lagi, Hariman ingin mengatakan bahwa demokrasi kita adalah musyawarah mufakat.

Gerakan Cabut Mandat SBY-JK
Pada 15 Januari 2007, tokoh peristiwa Malari 1974, Hariman Siregar menggalang massa turun ke jalan. Aksi yang bertajuk Pawai Rakyat Cabut Mandat ini merupakan simbol ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah. Aksi tersebut diikuti sejumlah tokoh yang tergabung dalam Indonesian Democracy Monitor (Indemo) (organisasi yang ia dirikan bersama kawan-kawannya) serta 52 elemen antara lain aktivis tahun 1974, aktivis mahasiswa, buruh, nelayan, etnis Tionghoa. 124 Mobil pick up ikut dalam pawai tersebut. Hariman Siregar dalam jumpa pers di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat, 12/1/2007, mengatakan, "Kita sengaja gelar dialog jalanan karena kami tetap memegang tradisi bahwa kalau saluran resmi kita anggap tidak berfungsi, masyarakat harus berani menyatakan keinginannya." Menurutnya, pemerintah tidak bisa menjalankan mandat yang diberikan rakyat. "Kita merasa tidak puas dan kecewa. Maka mandat itu harus dicabut," tegas dia. Hariman menjelaskan, "Poin yang paling penting pada Senin kita akan menambah kemacetan di Jakarta. Jika ada kekacauan saya yang bertanggung jawab," tandas Hariman. "Kalau kita tidak begini keadaan kita tidak akan berubah hingga 2009," jelas Hariman.

Gerakan Cabut Mandat ini didasari atas Kinerja pemerintahan SBY-JK yang dinilai kian memburuk. Jalannya pemerintahan pun dinilai sekadar menjadi prosedural belaka. Kondisi ini juga membuat gelisah sejumlah tokoh nasional. Mereka mendesak DPR memberi peringatan keras kepada pemerintahan SBY-JK. Mereka yang terlibat antara lain, budayawan WS Rendra, Try Sutrisno, Hariman Siregar, Adnan Buyung Nasution, KH Ali Yafie, Fadli Zon, Cholil Badawi, Lily Wahid, Muslim Abdurrahman, Bambang Wiwoho, dan Monang S. Mereka tergabung dalam gerakan yang diberi nama Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR). Gerakan ini tidak berorientasi pada kekuasaan. Demikian menurut Hariman Siregar. Hariman berpendapat, keadaan bangsa ini sejak berjalannya pemerintahan SBY tak kunjung membaik. Dalam beberapa hal, bahkan, semakin memburuk. "Kita bicara situasinya memburuk terus sejak SBY-JK dipilih. Kinerja nggak berkembang. Masalah itu apakah kita pertahankan seperti ini terus," tegas dia.

Gerakan ini, timpal Hariman, tidak ingin berjalan seperti partai politik yang melulu berorientasi kekuasaan. Belajar dari terpilihnya Irwandi Yusuf sebagai gubernur di Aceh, membuktikan turunnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik. "Ini gerakan rakyat. Kalau partai ini kan sudah jelas nggak bisa dipercaya, punya riwayat panjang. Tapi sekarang trennya bukan partai. Ini rakyat. Kita individu-individu," pungkas dia.

Pangkal Pikiran Gerakan Cabut Mandat
Terkait pencabutan mandat rakyat kepada SBY-JK, Hariman mengatakan, hal tersebut sebagai sarana mengingatkan presiden bahwa kekuasaannya saat ini ada karena dukungan masyarakat. "Kami ingin memperingatkan presiden, bahwa mandat Anda itu dari rakyat dan kami berhak mengatakan untuk mencabut mandat itu," tegasnya. Sebab, kita tahu perbaikan khususnya di bidang ekonomi dalam dua tahun jabatan pemerintahan SBY-JK hanya menyentuh sisi makro yakni pasar modal dan keuangan yang dampaknya kecil bagi masyarakat. Sementara, kemiskinan dan pengangguran yang berdampak besar di masyarakat malah semakin besar. Maksud Hariman adalah kinerja jajaran perekonomian pemerintah hanya memikirkan stabilitas ekonomi makro tanpa memikirkan sektor riil. Stabilnya indikasi makro ekonomi tidak diikuti dengan menurunnya angka kemiskinan, pengangguran, harga beras, atau minimnya lapangan kerja. "Kita khawatir akan meledak seperti 1997, perekonomian kita kolaps," tandasnya. Meski sebagian besar masyarakat masih percaya duet kepemimpinan SBY-JK sejauh ini akan memberikan penghidupan yang lebih baik. Seharusnya, dukungan yang besar dari masyarakat itu hendaknya ditindaklanjuti pemerintahan dengan melakukan aksi nyata mengurangi pengangguran dan kemiskinan," ujarnya.

Gerakan Mahasiswa Sebagai Pilar Demokrasi Keempat
Benar, kita tidak akan lari dari demokrasi. Walau bagaiman pun, hanya pemerintahan demokratislah yang memungkinkan terjadinya partisipasi. Adanya pembatasan kekuasaan sehingga mungkin mencegah adanya praktik korupsi dan penyelahgunaan kekuasaan. Tapi proses demokrasi beserta segenap perangkatnya sudah dibajak Warlord yang terus melakukan patgulipat melindungi hak-hak istimewanya sebagai warga terhormat.
Oleh karenanya, demokrasi hanya sampai pada tingkat prosedural dan sebatas alat legitimasi pengusa untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Demokrasi prosedural hanya menciptakan sirkulasi elit di level kekuasaan, tanpa adanya partisipasi nyata dari rakyat. Akhirnya saluran komunikasi rakyat jadi tersumbat, karena tidak dapat berpartisipasi secara langsung di luar pemilu.
Maka pilar demokrasi ke empat bagi Hariman adalah gerakan mahasiswa. Menurutnya ada empat pilar demokrasi yaitu, partai politik, media massa, penyelenggara pemilu yang netral, dan mahasiswa. Sebagai middle class dan bagian dari civil society, mahasiswa memiliki ikatan emosional yang erat dengan masyarakat. Ia akan mampu membangun kesadaran kritis-transformatif di tengah masyarakatnya. Hariman percaya sekali kalau kekuatan gerakan mahasiswa akan sanggup mendobrak kekuasaan yang dzalim. Oleh karena kesadarannya sebagai makhluk intelektual organik, dengan nalar kritis dan keberanian melawan regim. Dengan pola pikir dan pola gerak yang jauh melampaui alam pikir masyarakat biasa, mahasiswa mampu membangun dan mendorong suatu gerakan perubahan bersama rakyat. Itulah mengapa sebabnya Hariman menaruh perhatian yang sangat besar terhadap gerakan mahasiswa. Selain karena mahasiswa selalu menempatkan dirinya sebagai benteng moral force, dan selalu hadir di kala negara sedang mengalami dekadensi moral para penguasanya. Hariman juga sudah tidak terlalu banyak berharap dari pilar demokrasi lainnya.

Sang Legenda Hidup Yang Menyempal
Sebagai tokoh aktivis yang sangat terkenal dan disegani baik oleh kalangan aktivis pergerakan maupun di kalangan penguasa, di masa lalu maupun masa sekarang, Hariman tidak cepat bangga hati. Apalagi sampai lupa diri dan melupakan perjuangannya. Di kala banyak aktivis mulai surut semangat perlawanannya, ketika perjuangan dianggap usai. Ketika godaan kekuaasaan menyeringai mereka, lalu masuk ke dalam labirin lingkaran sistem kekuasaan, maka tokoh aktivis satu ini tidak tergoda. Ia tetap mimilih konsisten menegakkan demokrasi yang ”terbajak” itu. Meski harus berjuang di luar kekuasaan.
Meski usianya sudah tidak lagi muda, namun semangatnya tetap membara dan menyala. Gerakan Cabut Mandat adalah salah satu buktinya. Ketika orang-orang seusianya sudah banyak yang duduk di kursi pemerintahan baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, Hariman masih terus saja berjuang. Pilihannya berjuang meski tanpa harus masuk lingkaran sistem kekuasaan. Itu dilakukan bukan karena ia tidak pantas duduk di situ. Sebab, ia sempat mendapat tawaran untuk duduk di lingkaran kekuasaan. Banyak tawaran untuk masuk ke situ, mulai dari posisi menteri sampai menjadi orang yang bebas ”mondar-mandir” istana tanpa harus disulitkan urusan protokoler. Namun, ia menolaknya. Itulah yang membuat saya merasa bingung sekaligus kagum. Mengapa? Sebab, di bangsa-bangsa yang pernah dijajah (postkolonial), sikap Hariman adalah ”penyimpangan.” Ia menyempal keluar dari vicious circle kekuasaan. Ia muak dengan itu!
Secara psiko-politik, problem bangsa-bangsa yang pernah dijajah adalah melahirkan tabiat orang-orang yang bersikap ambtenar dan pro status quo. Tapi itu tidak terjadi pada Hariman. Kecintaannya terhadap rakyat kecil tertindas adalah jawaban dari pilihannya. Saya berharap, keteguhan bang Hariman tidak tergoyahkan. Sebab, sangat sedikit sekali orang-orang yang menyempal dan memiliki nurani sekaligus pemberani sepertinya. Telurkanlah terus generasi-generasi selanjutnya dengan semangat perjuanganmu. Hanya orang-orang pemberani dan berbudi nurani serta mau menyempallah yang akan terkena ”virus” mu![]
Last Updated ( Tuesday, 16 February 2010 )
sumber http://nusantaracentre.co.id