Antasari Azhar Teguhkan Independensi KPK
Di bawah kepemimpinan jaksa karir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin menunjukkan kemampuan dan keteguhan independensinya memberantas korupsi. Sebagai Ketua KPK, Antasari Azhar, kelahiran Pangkal Pinang, Bangka 18 Maret 1953, menunjukkan kepemimpinan yang menempatkan KPK pada posisi seharusnya sebagai lembaga yang independen, bebsa dari campur tangan pemerintah dan lembaga lainnya.
KPK di bawah kepemimpin mantan Kepala bidang hubungan media massa Kejaksaan Agung (2000) dan Kepala kkejaksaan Negeri Jakarta Selatan, ini memperlihatkan keberanian, profesionalitas, integritas dan eksistensinya yang tidak berada di bawah kendali pemerintah (eksekutif). Ia tidak gemar menghadap dan melapor kepada Presiden seperti pendahulunya Taufiequrachman Ruki.
Pada awal kepemimpinnya, beberapa saat setelah ia dilantik bersama empat anggota KPK lainnya di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/12/2007), KPK membongkar kasus suap dalam tabuh Kejaksaan Agung, Juga menuntaskan kasus penympangan dana di Bank Indonesia yang melibatkan antara lain Aulia Pohan, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada saat baru dilantik, banyak pihak menduga Antasari sebagai seorang jaksa karir akan tunduk kepada Jaksa Agung dan Presiden sebagai atasannya, sebelum menjabat Ketua KPK.
Antasari Azhar, kala itu meminta masyarakat bersabar dan memberi waktu kepada anggota KPK yang baru dilantik untuk berkoordinasi. "Saya mohon bersabarlah. Keputusan KPK itu keputusan kolektif," ujarnya.
Setelah pelantikan, Presiden pun berbicang-bincang dengan anggota KPK. Yudhoyono meminta konsistensi penegakan hukum pemberantasan korupsi dilanjutkan. Presiden lantas memanggil mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. Dalam sorotan kamera televisi, Presiden kemudian memberi beberapa arahan.
Sementara itu, saat acara di Kantor KPK, suasana haru terjadi saat serah terima jabatan antara pimpinan KPK lama yang diketuai Taufiequrachman Ruki dan pimpinan KPK baru yang diketuai Antasari Azhar.
Saat tayangan video di layar besar menampilkan beberapa foto kegiatan pimpinan KPK lama, tepuk tangan meriah tak kunjung henti. Beberapa di antaranya terlihat menyeka air mata.
"Saya sungguh terharu dan terpanggil karena Pak Taufieq cs mendapat aplaus meriah. Kami berpikir, apakah kami empat tahun ke depan mendapat aplaus seperti ini. Empat hari lalu kami berkumpul, meskipun belum dilantik, kami sudah membangun komitmen untuk terus berjuang memberantas korupsi. Jangan ragukan itu dan kami siap," janji Antasari dalam pidatonya.
Lima Pimpinan KPK
Melalui pemungutan suara yang dilangsungkan pada Rabu malam, 5 Desember 2007, Komisi III DPR akhirnya memilih lima pimpinan KPK periode 2007-2011. Mereka adalah Chandra M. Hamzah, Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, Haryono, dan Mochammad. Jasin. Dari 49 anggota Komisi III DPR, Chandra mendapatkan 44 suara, disusul Antasari dengan 37 suara. Bibit dan Haryono mendapatkan jumlah suara yang sama, yaitu 30. Sedangkan Jasin mendulang 28 suara.
Setelah mendapatkan komposisi lima pimpinan KPK periode 2007-2011, Komisi III DPR yang diketuai Trimedya Panjaitan melakukan proses pengambilan suara tahap kedua mendapatkan sosok yang akan menjadi Ketua KPK.
Untuk tahap kedua ini, diambil dari dua calon yang mendapatkan suara tertinggi pada putaran pertama, yaitu Chandra dan Antasari. Akhirnya, terpilihlah Antasari sebagai Ketua KPK periode 2007-2011 setelah mendapatkan 41 suara. Sedangkan Chandra mendapatkan 9 suara.
Hasil Perolehan Suara Calon Pimpinan KPK 2007-2011: Chandra M. Hamzah 44; Antasari Azhar 37, Bibit Samad Rianto 30, Haryono 30, Mochammad Jasin 28, Marwan Effendi 27, Waluyo 19, Amien Sunaryadi 16, Surachmin 8, dan Iskandar Sonhaji 6 suara.
Antasari Azhar
Merasa Jadi Selebritis
Entah berkah entah pula musibah, yang jelas kasus Tommy Soeharto telah melambungkan nama Antasari Azhar, ketika menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tak heran, kalau setiap kali ia berada di tempat umum, orang-orang langsung menatapnya sambil berbisik-bisik. Sebenarnya, ia merasa risi juga. Namun apa mau dikata. "Saya merasa menjadi selebritis," guyon Antasari.
Namun di balik ketenaran, tidak bisa dipungkiri, Antasari menanggung beban yang cukup berat setelah gagal melakukan eksekusi terhadap Tommy, yang sejak sebulan lalu dinyatakan buron. Sampai-sampai, ia sendiri sempat "dicurigai" ikut menghalang-halangi eksekusi.
Memang, banyak orang yang bertanya-tanya terhadap cara eksekusi yang dilakukan oleh Antasari dan kawan-kawan. Misalnya, Antasari tidak langsung melakukan eksekusi begitu putusan MA turun. Selain itu, ketika grasi Tommy ditolak Presiden, Antasari juga tidak langsung melakukan eksekusi terhadap putra mantan orang kuat Orde Baru itu.
Yang lucunya, ketika hari H pemanggilan Tommy ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari juga belum bisa memastikan apakah Tommy sudah menerima salinan penolakan grasi atau tidak. Anehnya lagi, waktu itu (Jumat, 3 November), Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan "mengundang" Tommy ke kantornya pada siang hari, bukan paginya. Bila tidak memenuhi undangan itu, baru mereka akan melakukan upaya paksa. Tapi, ternyata, ketika eksekusi paksa hendak dilakukan, Tommy sudah tidak ada lagi di Cendana.
Tidak jelas, apakah kelemahan-kelemahan semacam itu semata-mata persoalan administratif saja atau memang kelambanan Antasari sendiri dalam bertindak. Kalau betul itu kelemahan administratif, mungkin bukan Antasari sendiri yang harus bertanggungjawab, meskipun ia tidak bisa begitu saja lepas tangan. Namun, jika itu karena kelambanan Antasari, tidak salah kalau kesan yang muncul ia sengaja mengulur-ulur waktu eksekusi. Yang terlihat, Antasari memang kurang memperhitungkan bahwa yang akan dieksekusi itu adalah manusia, bukan benda mati yang tidak bisa lari.
Selain itu, kelihatan sekali ia terlalu percaya pada pengacara Tommy. Simak saja jawabannya ketika ditanya TEMPO, mengapa saat permohonan grasi Tommy ditolak Presiden, pihaknya tidak segera melakukan eskekusi: "Pengacara Tommy bilang bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan karena mereka belum menerima petikan penolakan grasi." Apakah hal itu karena salah satu pengacara Tommy, Bob RE Nasution, adalah seniornya di kejaksaan? "Saat bertugas di Jakarta Pusat, saya memang menjadi anak buah Pak Bob. Sekarang, kalau bicara hukum, posisi kami berbeda," kilah Antasari. Ia juga membantah ada deal khusus antara dirinya dan Bob mengenai eksekusi Tommy.
Yang juga menjadi pertanyaan publik adalah cara kejaksaan melakukan penggeledahan terhadap kediaman Tommy dan keluarga besarnya di Cendana. Sebelum penggeledahan dilakukan, pihaknya sudah lebih dulu mengumumkan target-target penggeledahan itu. Ia lagi-lagi lupa bahwa yang akan dicari dengan penggeledahan itu bukan benda mati, yang tidak bisa lari atau bersembunyi. Tak heran kalau kemudian kisah pengejaran Tommy lebih mirip sandiwara belaka.
Mungkin hal itu juga yang membuat Jaksa Agung Marzuki Darusman, seperti dikutip Kompas, perlu melaporkan Antasari kepada polisi, meskipun kemudian Marzuki membantahnya. Namun Antasari tetap dalam posisi yang tidak enak, setidaknya publik memberi penilaian bahwa ia tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Padahal, sebelum Tommy lari, ia sudah terlihat sangat optimis bisa membawa Tommy ke Cipinang. Ia pun tampak tidak khawatir terhadap kemungkinan Tommy melarikan diri. Alasannya, Tommy telah dicekal.
Sementara orang-orang menyorotnya tidak becus, Antasari sendiri justru menganggap pengacara Tommy-lah yang berusaha menghalang-halangi eksekusi. Ia tidak yakin dengan alasan yang dikemukakan oleh sang pengacara bahwa Tommy mendapat teror akan dibunuh dan sebagainya. "Darimana saya tahu alasan itu dari Tommy? Tommy enggak pernah kontak saya," ujarnya. Ia menduga, alasan itu hanya bikinan pengacaranya. Namun begitu, seperti dituturkannya kepada TEMPO, ia optimis Tommy akan tertangkap, bahkan dalam hitungan hari. Benarkah?
Antasari sendiri, walau menanggung beban yang cukup berat, kelihatan santai-santai saja. Setidaknya, ia tidak terlihat tegang. Meskipun ada sebagian orang yang mencemoohnya, bahkan mencaci-maki. Hal yang juga terpaksa diterima anak-anaknya. "Saya kan jadi repot, tiap hari ditanyain terus sama temen-temen soal Tommy," ujar Andita, anak pertamanya yang duduk di bangku kelas III SMU. Meski begitu, mereka tetap mendukung sang ayah. "Tiap malam saya berdoa supaya Tommy tertangkap dan bapak jadi tenang," kata Ajeng, putri bungsunya yang baru kelas III SMP. Tentu saja, selain "celoteh kanan-kiri" yang harus diterima, ada pula yang menunjukan rasa simpati dengan mengirim bunga atau parsel.
Yang pasti, selama menangani kasus Tommy kesibukannya menjadi sangat meningkat. Sampai-sampai waktunya untuk keluarga nyaris tak ada. Pulang ke rumah kadang-kadang sudah sangat larut malam, bahkan dini hari, lalu berangkat lagi sekitar pukul enam pagi. Untungnya, isteri dan anak-anaknya bisa memahami hal tersebut. Walaupun demikian, Antasari merasa sedih juga telah "menerlantarkan" keluarganya, juga mengorbankan kegemarannya bermain tenis. Tidak jarang, ketika sedang berjalan bersama dua anaknya, ia mendapat telepon yang membuatnya harus meninggalkan acara keluarganya itu. "Biasanya anak-anak saya suruh pulang naik taksi saja," kisahnya.
Lahir di Pangkal Pinang, Bangka, 47 tahun lalu. Ia menamatkan sekolah dasar di Belitung. Sementara SMP dan SMA ditamatkannya di Jakarta. Selanjutnya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Jurusan Tata Negara. Di kampus itu, Antasari dikenal sebagai salah seorang yang aktif di organisasi. Ia sempat menjadi Ketua Senat Mahasiswa dan Kedua Badan Perwakilan Mahasiswa. "Saya kan bekas demonstran tahun 78," akunya bangga.
Lulus kuliah, ia kembali ke Jakarta. Awalnya, Antasari bercita-cita menjadi diplomat. Tetapi rupanya, perjalanan hidupnya berkata lain: ia diterima menjadi jaksa. Awal karirnya sebagai penegak hukum itu ia jalani saat menjadi jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (1985-1989). Pelan-pelan karirnya meningkat. Setelah bertugas di sejumlah daerah -- di Tanjung Pinang, Lampung, Jakarta Barat, dan Baturaja -- ia ditarik ke Kejaksaan Agung menjadi Kasubdit Upaya Hukum Pidana Khusus. Namanya pun mulai berkibar. Dari sana, ia dipindahkan menjadi Kepala Subdit Penyidikan Pidana Khusus. Terakhir, sebelum dipercayakan menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari menjabat Kepala Bidang Hubungan Masyarakat di lembaga yang kini dipimpin Marzuki Darusman itu.
Untuk mendukung tugas-tugasnya itu, ia tidak pernah berhenti belajar. Antasari tidak hanya membaca --dan mengoleksi berbagai buku, terutama buku-buku berbau hukum-- tetapi juga mengikuti kuliah formal untuk menambah ilmunya. Kini ia sedang mengambil gelar master bidang bussiness law di IBLAM, lembaga yang dikelola oleh mantan Hakim Agung Bismar Siregar. Semangat untuk menambah wawasan itu bisa terbaca begitu memasuki ruang kerjanya: deretan buku memenuhi lemari di sana.
Tidak jelas, apakah di sana juga ada buku-buku yang berisi soal bagaimana mempercepat tertangkapnya seorang terpidana yang sedang buron? *** (Tokoh Indonesia/Andari Karina Anom/Nurakhmayani/Tempo Interaktif)
► mti
Nama : Antasari Azhar
Lahir : Pangkal Pinang, Bangka 18 Maret 1953
Agama:Islam
Jabatan:Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, 2007-2011
Pendidikan :
• SD di Belitung, 1965
• SMP di Jakarta, 1968
• SMA di Jakarta, 1971
• Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 1981
• Kursus
• Commercial Law di New South Wales University Sydney
• Investigation for environment law, EPA, Melbourne
Karier :
• BPHN Departemen Kehakiman (1981-1985)
• Jaksa Fungsional di kejaksaan negeri jakarta pusat (1985-1989)
• Jaksa Fungsional di kejaksaan negeri tanjung pinang (1989-1992)
• Kasi Penyidikan Korupsi kejaksaan tinggi Lampung (1992-1994)
• Kasi Pidana Khusus kejaksaan negeri jakarta barat (1994-1996)
• Kepala kejaksaan negeri Baturaja (1997-1999)
• Kasubdit upaya hukum pidana khusus Kejaksaan Agung(1999)
• Kasubdit Penyidikan Pidana khusus Kejaksaan Agung(1999-2000)
• Kepala bidang hubungan media massa Kejaksaan Agung (2000)
• Kepala kejaksaan negeri jakarta selatan
- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, 2007-2011
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)