Herawati Sudoyo Peletak Dasar Pemeriksaan DNA Forensik
Bercita-cita jadi arsitek, tapi jalan hidupnya menjadi dokter dan peneliti. Dosen FK-UI ini pun justru bersyukur karena bertemu banyak persoalan kemanusiaan. dr Herawati Sudoyo, MS, PhD kelahiran Pare, 2 November 1951, ini pun telah membuat terobosan dalam ilmu pengetahuan dengan meletakkan dasar pemeriksaan DNA forensik untuk identifikasi pelaku bom bunuh diri. Atas prestasi itu ia menjadi salah satu dari empat penerima Habibie Award 2008.
***
Barangkali inilah jalan hidup. Dari kecil bercita-cita menjadi arsitek, Herawati tersandung kelengkapan administrasi ketika mau mendaftar ke Institut Teknologi Bandung. Mepetnya batas waktu pendaftaran dengan urusan legalisasi ijazah SD membuat ia banting setir mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hasilnya, pekan lalu dr Herawati Sudoyo, MS, PhD menjadi salah satu dari empat penerima Habibie Award 2008, penghargaan bagi para tokoh yang membuat terobosan dalam ilmu pengetahuan. Ia dinilai telah meletakkan dasar pemeriksaan DNA forensik untuk identifikasi pelaku bom bunuh diri.
”Saya tidak pernah menyesal menjadi dokter. Justru saya bersyukur karena bertemu banyak persoalan kemanusiaan,” katanya suatu siang di kantornya, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Kecintaannya menata interior masih terasa di ruang kerjanya. Kecuali komputer, satu-satunya perabot masa kini adalah rak yang dipenuhi buku di salah satu dinding. Selebihnya mebel tua, dari kursi tamu sampai meja kerja. Semua berpadu dengan tanaman anggrek dan berbagai kerajinan dari pelosok Tanah Air. Beragam tas anyaman sampai tenun tradisional yang dipajang membuat ruangannya lebih mirip galeri.
Benda-benda koleksinya yang lain tersebar di rumah. ”Kalau sempat bertandang, jangan heran jika kursi makannya tak sama. Memang dibelinya dari tempat yang berbeda-beda,” tuturnya.
Bisa dibilang, Hera, panggilannya, mendapatkan keduanya. Sentuhannya membuat Lembaga Eijkman seperti oase di lingkungan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang hiruk pikuk. Kecuali laboratorium yang steril, dari ruang presentasi, perpustakaan, tempat makan, hingga selasar di gedung tua peninggalan Belanda itu, hangat diterangi Matahari dan penuh aksen. Ada tanaman, akuarium, lukisan, atau cendera mata.
Sementara di laboratorium, ia menikmati setiap tahapan riset yang menjadi database penanganan berbagai kasus di Indonesia, dari kesehatan sampai kejahatan.
Menguak terorisme
Metode Hera berawal dari ledakan bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia, 9 September 2004. Saat itu pihak kepolisian ditantang untuk segera mengidentifikasi pelaku dan mengungkap kelompok di baliknya.
”Ini karena di Asia Tenggara umumnya pelaku teror menyembunyikan keterkaitannya, tidak seperti di Timur Tengah yang selalu ada kelompok mengaku bertanggung jawab,” urainya saat presentasi di acara Paparan Penerima Habibie Award 2008, Selasa (25/11).
Kejadian itu menewaskan 10 korban dan mencederai lebih dari 180 orang. Mobil boks yang mengangkut bom hancur total dan tak ada bagian tubuh yang memungkinkan untuk diidentifikasi dengan metode konvensional, seperti sidik jari, profil gigi, apalagi pengenalan wajah. Persoalan berikutnya, bagaimana menentukan mana pelaku dan mana korban?
Solusi persoalan pertama adalah identifikasi DNA. Singkatan dari deoxyribonucleic acid, DNA adalah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti mengandung informasi dari orangtua: ayah dan ibu.
Persoalan kedua diatasi dengan mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan serpihan tubuh berbasis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi pelaku. Sebagai orang yang paling dekat dengan bom, serpihan pelaku akan terlontar lebih jauh dibanding serpihan korban.
Teori yang dikembangkan tim Hera bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri ternyata betul. Jaringan tubuh yang berasal dari tempat-tempat terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan profil DNA keluarga dekat yang dicurigai. Kurang dari dua minggu, tim gabungan Eijkman-Polri berhasil mengidentifikasi pelakunya.
Disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), teknik ini melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) yang biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana massal. ”Kejadian itu juga menunjukkan perlunya suatu database DNA populasi,” paparnya.
Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman genetik terkait dengan penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan Lembaga Eijkman. Demikianlah, suatu penelitian dasar telah menunjukkan fungsinya sebagai penunjang kepentingan terapan.
Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga penyakitnya. ”Hal ini sangat berguna untuk membuat strategi diagnostik, manajemen penyakit, serta kebijakan kesehatan,” katanya.
Kerja keras peneliti
Menikah dan punya anak saat kuliah tak menyurutkan tekad Hera untuk belajar. Namun, setelah lulus muncul kesadaran bahwa ternyata ia tidak ingin praktik. ”Saya ingin meneliti,” katanya.
Maka, jadilah ia staf pengajar biologi kedokteran di almamaternya. Ketika mendapat kesempatan menjadi doktor, pilihan hidupnya kembali diuji. Memenuhi persyaratan Universitas Monash di Melbourne, Australia, ia berangkat tanpa suami dan anak.
Akan tetapi, setelah tiga bulan di Australia, ia tahu tak akan sanggup bertahan sendirian. Setelah meyakinkan para profesornya, ia pulang untuk mengajak anak-anaknya. Sang suami tetap tinggal, karena saat itu juga tengah mengambil spesialisasi penyakit dalam.
Lima tahun di Australia dengan jadwal penelitian yang padat, dua anak yang waktu itu masih kelas satu SMP dan tiga SD, menempanya jadi perempuan perkasa. Setiap pagi, seusai mengantar anak-anak ke sekolah, ia berangkat ke laboratorium. Sore hari, ia pulang menjemput anak-anak, memasak, lalu kembali ke laboratorium.
Menyadari kerepotannya, Hera memilih kos di rumah seorang ibu asal Skotlandia. ”Dialah yang membantu menemani anak-anak,” katanya.
Lima tahun perjuangan itu dikenangnya sebagai masa pembentukan dirinya. ”Saya jadi disiplin, percaya diri, dan tegas memisahkan persoalan kantor dan rumah. Percobaan yang gagal misalnya, tidak boleh merusak mood dan terbawa pulang, karena anak-anak butuh saya.”
Anak-anaknya pun mengenang Melbourne sebagai bagian hidup yang indah. ”Mereka bilang, kalau tidak tinggal di Australia, mungkin tidak jadi seperti sekarang,” ujar Hera.
Setelah semua didapat, adakah yang masih ingin dikejarnya? ”Bukan untuk saya, tetapi lebih pada bagaimana menerapkan DNA forensik untuk mengatasi masalah kemanusiaan, dari mengidentifikasi pelaku perkosaan sampai perdagangan anak,” katanya.
Inikah misteri jalan hidup? Karya-karya Hera mungkin menjadi jawabnya. (Agnes Aristiarini, Kompas, Rabu, 3 Desember 2008) ►
BIODATA
Nama :dr Herawati Sudoyo, MS, PhD
Lahir:Pare, 2 November 1951
Suami:Dr dr Aru Sudoyo, SpPD KHOM
Anak:
- Ruby Gautama Sudoyo
- Panji Nindyaputra Sudoyo
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1977
- S-2 Fakultas Pascasarjana UI, 1985
- S-3 Departemen Biochemistry Monash University, 1990
Karir:
- Staf Pengajar Bagian Biologi FK-UI, 1978-kini
- Pendiri Lembaga Biologi Molekuler Eljikman, 1993
- Ketua Tim Unit Identifikasi DNA Forensik Lembaga Eljikman, 2004-kini
- Staf Pengajar PTIK, program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan Universitas diponegoro, 2005, 2006, 2007-kini
Penghargaan:
- Habibie Award, 2008
- Australian Alumni Award of Scientific and Research Inovation, 2008
- Wing Kehormatan Kedokteran Kepolisian, 2007
- Penerima Riset Unggulan Terpadu, 1993-1996
- Thrid Word Academy of Science Award, 1992
- Toray Foundation Research Award, 1991-1992
TokohIndonesia.com