Siti Musdah Mulia Muslimah yang Berani Bersuara
Prof Dr Siti Musdah Mulia, MA, salah satu feminis Muslim terkemuka di Asia, menerima penghargaan Yap Thiam Hien 2008. Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958, itu dinilai sebagai sosok muslimah yang ”mau dan berani bersuara”, yang menjadikan Islam sebagai komunitas yang teduh, dialogis, dan inklusif.
***
Ketika penghargaan Yap Thiam Hien diserahkan pada Rabu (10/12/2008) malam, Prof Dr Siti Musdah Mulia, MA sebagai penerima masih berada di Tanah Suci untuk ibadah haji.
Penggagas penghargaan tersebut, Todung Mulya Lubis, dalam sambutannya mengatakan, Musdah adalah sosok yang ”mau dan berani bersuara”, yang menjadikan Islam sebagai komunitas yang teduh, dialogis, dan inklusif.
”Untuk saya, hakikat penghargaan ini adalah untuk semua yang selama ini telah membangun komitmen untuk orang-orang yang terdiskriminasi dan termarjinalkan. Ini sekaligus mengingatkan untuk selalu bekerja bersama,” kata Musdah, Rabu (17/12) siang di kantornya di Indonesian Conference on Religion and Peace di kawasan Cempaka Putih, Jakarta.
Sebagai pemikir Islam dan aktivis sosial, Musdah selalu menggunakan cara berpikir kritis dan rasional dalam melihat berbagai persoalan, terutama ancaman terhadap keberagaman Indonesia. Dia juga gigih memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender, membela hak-hak kelompok minoritas, dan melakukan dialog antaragama.
Akibat kelantangannya, dia kerap ditegur petinggi di Departemen Agama, dikecam rekannya sesama dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan beberapa tokoh masyarakat ”menasihati” supaya dia tidak terlalu lantang karena masih muda dan kariernya masih panjang.
Karena keberaniannya menyuarakan pendapat itu, dia sering mendapat pesan singkat SMS dan berbagai cap.
”Ketika membicarakan homoseksual dalam Islam, ada yang menyebut saya lesbian. Kalaupun lesbian, selama tidak melakukan kekejian, tidak mengotori, tidak menipu, kan tidak apa-apa. Orientasi seksual adalah terberi,” kata ibu dua putra dari pernikahannya dengan Prof Dr Ahmad Thib Raya, MA, pengajar di UIN Syarif Hidayatullah.
”Saya sudah tidak menginginkan apa-apa. Hidup saya hanya untuk kemanusiaan. Saya selalu minta kepada Tuhan supaya hidup saya tidak usah lama-lama, kalau bisa sampai 70 tahun saja, daripada hidup menderita,” papar Musdah yang baru Senin (15/12) malam lalu sampai di rumah kembali.
Karunia tersembunyi
Anda konsisten menyuarakan dan mempraktikkan pandangan Anda dalam kehidupan?
Tidak tahu ya.... Saya malah ingin menangis.... Soalnya beberapa tahun terakhir saya mengalami banyak sekali cobaan.
Saya diberhentikan dari posisi di Departemen Agama. Dikecam dosen-dosen di UIN Syarif Hidayatullah. Diteror dan diberi berbagai cap. Semua karena pemikiran saya. Termasuk penolakan saya kepada Undang-Undang Pornografi.
Meskipun saya kerap dicecar orang, tetapi tetap ada kesempatan di mana saya bisa muncul dan berbicara. Saya sering diundang dalam pertemuan di luar negeri. Saya punya kesempatan berbicara lagi, bersemangat lagi.
Melihat orang begitu menghargai saya, saya merasa masih ada orang yang tidak membenci saya. Saya sering tidak mengerti keadilan Tuhan.
Tentang counter legal draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam yang Anda susun bersama tim di Depag tahun 2004?
Sebetulnya itu adalah penugasan dari Departemen Agama. Posisi saya sebagai Koordinator Tim Pengarusutamaan Jender Departemen Agama yang punya surat pengangkatan dari Menteri Agama.
Ketika muncul reaksi keras dari sebagian anggota masyarakat terhadap draf itu, saya sendirian menghadapi kelompok-kelompok yang memprotes meskipun sebetulnya pengkajian itu tugas institusi.
Ternyata ada blessing in disguise (karunia tersembunyi). Saya menjadi dikenal luas, walaupun saya sama sekali tidak punya pikiran menjadi terkenal.
CLD itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. Dalam pertemuan para feminis sedunia di Barcelona, Spanyol, orang terperangah karena dalam draf itu banyak hal baru dan aspeknya luas.
Dari kejadian itu saya belajar orang harus bertanggung jawab, punya komitmen, pada yang dia lakukan. Tidak rugi punya prinsip dalam hidup. Tuhan tidak buta.
Dari mana keberanian Anda?
Saya sadar betul yang saya lakukan bukan untuk mendapatkan sesuatu.
Saya meyakini Islam sebagai nilai yang begitu luhur, tetapi mengapa tidak fungsional dalam kehidupan umatnya. Islam hanya berhenti sebagai ritual, simbolik. Sayang sekali karena seharusnya nilai-nilai yang begitu luhur dapat membangun kehidupan yang lebih adil, lebih egaliter, lebih demokratis.
Dukungan keluarga
Musdah menyebut, dukungan keluarga, dari suami dan anak-anaknya, dari ayah dan ibunya serta bapak dan ibu mertuanya, sangat penting.
Ibunya juga sering mendapat teror, seperti ketika Musdah membicarakan homoseksualitas serta menolak kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah.
”Ibu saya sampai mengatakan, dia mau bersaksi siapa saya yang dia kenal benar,” kata Musdah
Suaminya, Ahmad Thib Raya yang ahli tafsir, menurut Musdah, mengakui bahwa dia tidak setegar istrinya dalam menghadapi kecaman orang.
”Suami saya bilang, kalau saya dibilang orang seperti orang- orang itu menyebut tentang kamu, pasti saya tidak bisa tidur.”
Musdah tidak mau mengeluh apa pun kepada siapa pun. ”Saya khawatir kalau mengeluh nanti dibilang berhenti saja.”
Meskipun begitu, Musdah mengaku tidak kehilangan kekonservatifannya karena dia besar dalam tradisi pesantren dan Nahdlatul Ulama.
Dia tetap menghargai orang di pesantren yang konservatif karena, menurut Musdah, mereka tidak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan dan punya pengalaman luas seperti dia. Termasuk pengalamannya dengan jilbab ketika tahun 1994 terbang dari Madinah ke Kairo.
Di pesawat semua perempuan asli Madinah menutup rapat tubuhnya dengan burka. ”Waktu kami berhenti di Jeddah, sebagian dari burka dibuka. Begitu sampai Kairo semua penutup dibuka. Cara mereka berpakaian lebih dari orang Barat. Waktu saya tanya, mereka bilang, burka adalah bagian dari budaya yang tidak diperlukan di Kairo.”
Musdah juga pernah menjabat Ketua Divisi Pengkajian Majelis Ulama Indonesia (2000-2005). ”Sebelum dan sesudah saya belum ada lagi perempuan yang menduduki posisi itu.”
Setiap minggu divisinya selalu menerima surat laporan dari masyarakat tentang kelompok yang meresahkan. ”Kami turunkan tim ke lapangan untuk mengecek dan biasanya laporan itu hanya karena kecemburuan ketika ada kelompok yang tiba-tiba terkenal, punya banyak pengikut,” kata Musdah.
Menurut Musdah, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam agama apa pun selalu muncul aliran-aliran baru yang memperlihatkan orang tidak terpuaskan secara spiritual dengan keberagamaan yang formal.
”Buat saya, manusia secara spiritual sering merasa tidak puas. Kita masing-masing lalu menciptakan cara kita sendiri dalam beribadah menghadap Tuhan, dengan menambah bacaan, misalnya.
”Apa kita boleh marah kepada orang yang tidak puas secara spiritual? Kalau dia tidak mengurangi atau menambah ajaran yang ada, apa tidak boleh? Itu kan sama dengan kita meracik makanan kita memakai bumbu yang sesuai kebutuhan kita,” kata Musdah.
Tiga persoalan dan solusi
Konservatisme dalam beragama menjadi kecenderungan pada berbagai agama dan di mana-mana?
Tiga faktor penyebabnya. Pertama, kekuatan global di mana kebijakan Amerika sangat timpang terhadap negara-negara Muslim sehingga menimbulkan kebencian.
Kedua, kegagalan pemerintahan sekuler menyejahterakan rakyat sehingga muncul alasan menggantikan negara sekuler dengan negara teokrasi.
Ketiga, pengaruh demokrasi. Dulu kelompok seperti ini tidak punya suara di Indonesia. Sekarang, dengan memakai jalur demokrasi mereka punya cara legal mengutarakan pikiran. Mereka memakai istilah demokrasi prosedural yang sebetulnya melanggar konstitusi karena demokrasi digunakan sebagai mekanisme yang hakikat dan tujuan akhirnya bukan demokrasi itu sendiri, tetapi teokrasi.
Mengapa ingin memisahkan agama dan negara?
Setiap kita bicara agama pasti ujungnya adalah interpretasi. Kalau negara memakai ideologi agama, lalu interpretasi siapa yang akan kita pakai? Setiap orang akan mempertahankan interpretasinya. Tercabik-cabiklah negara kita. Padahal, negara kita amat beragam.
Bagaimana mempertahankan keberagaman Indonesia?
Kalau membaca buku pemikiran Haji Agus Salim mengenai pilihan Indonesia bukan sebagai negara agama, alasannya adalah problem seperti tadi. Lebih enak memakai Pancasila karena konkret sekali.
Saya tetap optimistis kalau kelompok cendekiawan, akademisi, mau berpikir kritis dan menghibahkan sedikit dari dirinya untuk menjaga keberagaman Indonesia, saya optimistis Indonesia yang kita pertahankan.
Membangun Jembatan
Siti Musdah Mulia (50) dikenal sebagai salah satu feminis Muslim terkemuka di Asia. Ahli Peneliti Utama itu terus mengkaji teks literatur Islam secara kritis untuk menghapuskan ketimpangan jender dalam ajaran pokok Islam. Itulah salah satu caranya memperjuangkan kesetaraan dan keadilan antarsesama manusia dan sesama ciptaan-Nya. Buku-buku karyanya terus bermunculan.
Musdah dikenal sebagai tokoh perdamaian dan nirkekerasan yang secara konsisten membangun jembatan antariman, keyakinan, dan budaya di Indonesia dan memiliki komitmen kuat pada kemanusiaan tak bersekat. Ia termasuk satu dari sedikit tokoh yang berani membela agama-agama lokal dan mereka yang dituduh menghina agama resmi.
Kerja besar itu bukan tak menuai kontroversi. Dia menjadi sasaran terdepan dari mereka yang memiliki motif politik tertentu. Namun, Musdah tak mau ditundukkan rasa takut. Bagi dia, membela keberagaman Indonesia seharusnya dilakukan oleh setiap warga negara yang memahami sejarah negeri ini.
Dia juga berani membela korban yang secara politik terus mengalami stigmatisasi karena pernah mengalami situasi yang sama ketika ayahnya menjadi anggota DI/TII. ”Dalam politik selalu ada yang harus dirugikan,” katanya.
Terus berproses
Dilahirkan sebagai anak kedua dari enam bersaudara, Musdah kecil bercita-cita menjadi dokter. ”Tetapi, mana mungkin karena sejak kecil saya harus belajar agama di madrasah,” kenangnya.
Kakek dan neneknya sangat tradisional. Ia sempat dilarang ikut MTQ setelah kelas IV SD, karena kata kakeknya, perempuan itu suaranya aurat. Ia dilarang ikut lomba baca puisi Arab waktu kuliah di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab dengan alasan sama. Setelah lulus kuliah, ia dilarang bekerja di BKKBN yang dikatakan kakeknya sebagai lembaga sekuler.
Neneknya melarangnya tertawa keras. ”Katanya, suara tawa perempuan mengundang setan,” kenang Musdah. ”Nenek juga melarang makan beberapa jenis ikan yang mengandung hormon tinggi supaya tidak genit,” kenang ibu dari dua anak itu.
Sejak berusia 14 tahun, setiap malam ia harus mengenakan setagen 2 meter supaya pinggangnya tetap kecil. Karena khawatir tingginya menjulang seperti tiang listrik, setiap Jumat malam sang nenek menyuruhnya menjinjing lesung mengelilingi rumah tujuh kali sambil membaca selawat. Neneknya menunggu di depan rumah.
Sang nenek ini mengirim ibunya ke pesantren tradisional di kota. ”Ibu saya adalah perempuan pertama yang keluar dari desa. Nenek tak peduli kata tetangga,” kenang Musdah.
”Mertua saya adalah Tuan Guru dari Bima yang tidak berpoligami. Beliau sangat bijak. Ucapan dan tindakannya seirama,” ujarnya tentang ayah dari sang suami, Prof Dr Ahmad Thib Raya, MA.
Hobinya berkebun dan mendengarkan Mozart serta instrumen piano dari Richard Clayderman di kala senggang tak pernah boleh dirusak oleh suasana di luar. Ia senantiasa melindungi diri dengan keyakinannya akan kebenaran, kebahagiaan, dan cinta karena dukungan yang terus mengalir dan menguatkan, khususnya dari keluarga. (Ninuk Mardiana Pambudy/ Maria Hartiningsih, Kompas, Minggu, 21 Desember 2008)
►TokohIndonesia.com
Prof Dr Siti Musdah Mulia, MA
Penjaga Nurani Hukum dan Politik
Tak Pernah Lupa Bersyukur
UNGKAPAN rasa syukur tak pernah lepas dari mulutnya. Ia bersyukur karena mendapat kesempatan indah untuk mereguk ilmu setinggi mungkin. Ia bersyukur karena mendapat kesempatan untuk melihat dari dekat dan merasakan kehidupan masyarakat negara lain, yang disebutnya pencerahan. Ia bersyukur karena keluarganya mendukung kegiatannya. Ia bersyukur karena mampu hidup berbagi dalam keberagaman.
Itulah penggalan percakapan dengan Prof Dr Siti Musdah Mulia, MA, Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (Sekjen ICRP) sejak 2001. Sebelumnya, ia dikenal sebagai Wakil Sekjen PPMuslimat NU (2000-2005), menjadi Dewan Ahli Koalisi Perempuan Indonesia (2001-2004), dan Ketua Panah Gender PKBI (2002-2005).
Aktivitas yang demikian banyak itu tak lepas dari pengalamannya berorganisasi selama kuliah di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Sejak mahasiswa ia dikenal sebagai aktivis organisasi pemuda dan ormas atau LSM. Ia jadi pengurus KNPI Wilayah Sulsel (1985-1990), Ketua Wilayah Ikatan Putri NU Sulsel (1982-1985), Ketua Wilayah Fatayat NU Sulsel (1986-1990), Sekjen PP Fatayat NU (1990-1995), Wakil Ketua WPI (1996-2001), dan Ketua Dewan Pakar KP-MDI (1999-2005).
Bidang Pendidikan
Musdah dilahirkan di Bone, 3 Maret 1958, di tengah keluarga yang memegang teguh adat dan ajaran agama. Setelah tamat SD di Surabaya, ia dimasukkan ke Pesantren As`adiyah, Sulsel, hingga tamat 1973. Lalu, setelah menyelesaikan program Sarjana Muda di Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar (1980) dan Program S1 Jurusan Bahasa dan Sastera Arab di Fakultas Adab, IAIN Alaudin, Makassar (1982), ia mengabdikan diri di lingkungan dinas agama.
''Itu sesuai arahan kakek, mengingat saya seorang perempuan. Padahal, saya saat itu hendak mendaftar kerja di kantor keluarga berencana,'' ujar Musdah yang mengaku pernah menjadi juara musabaqah tilawatil Quran, ketika masih duduk di bangku kelas tiga SD.
Ia mengawali kariernya di bidang pendidikan sebagai dosen tidak tetap di IAIN Alaudin dan di Universitas Muslim Indonesia di Makassar (1982-1989). Selanjutnya ditarik menjadi peneliti pada Balai Penelitian Lektur Agama, Makassar (1985-1989), lalu peneliti pada Balitbang Departemen Agama Pusat, Jakarta (1990 1999).
Di Jakarta, ia meneruskan kariernya sebagai dosen di Institut Ilmu- Ilmu Al-Qur'an (IIQ), Jakarta (1997-1999). Sejak 1995 ia bahkan menjadi Direktur Perguruan Al-Wathoniyah Pusat, sampai sekarang. Mulai 1997, ia juga menjadi dosen Pascasarjana UIN, Jakarta, sampai sekarang.
Pada 1999, Musdah diberi tanggung jawab menjadi Kepala Balai Penelitian Agama Jakarta. Selain sebagai peneliti dan dosen ia juga aktif menjadi trainer (instruktur) di berbagai pelatihan, khususnya dalam isu demokrasi, HAM, perempuan, dan civil society.
Perempuan Pertama
Ia tercatat sebagai perempuan pertama yang meraih doktor dalam bidang pemikiran politik Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997). Disertasinya, Negara Islam: Pemikiran Husain Haikal, diterbitkan oleh Paramadina tahun 2000. Ia melakukan penelitian bagi disertasinya di Kairo, Mesir.
Ia juga tercatat sebagai perempuan pertama yang dikukuhkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagai profesor riset bidang Lektur Keagamaan di Departemen Agama (1999). Dalam pengukuhannya, ia menyampaikan pidato, Potret Perempuan dalam Lektur Agama (Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Masyarakat Egaliter dan Demokratis).
Selain pendidikan formal, Musdah juga menjalani pendidikan nonformal. Di antaranya, kursus singkat mengenai Islam dan civil society di Universitas Melbourne, Australia (1998), kursus singkat pendidikan HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand (2000), kursus singkat advokasi penegakan HAM dan demokrasi (International Visitor Program) di Amerika Serikat (2000), kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan di Universitas George Mason, Virginia, Amerika Serikat (2001), kursus singkat Pelatih HAM di Universitas Lund, Swedia (2001), serta kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan Perempuan di Bangladesh Institute of Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh (2002).
Pengalaman-pengalaman seperti itu yang memperkaya wawasannya. Ia menceritakan pengalamannya berkeliling negara-negara Arab, yang ternyata beragam dalam menerapkan syariat Islam.
Di sela-sela kesibukan yang menggunung ia masih mampu menulis buku, membagi pengalaman dan ilmunya. Di antaranya, Mufradat Arab Populer (1980), Pangkal Penguasaan Bahasa Arab (1989), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (1995), Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (1995), Negara Islam: Pemikiran Politik Haikal, Paramadina (1997), Lektur Agama dalam Media Massa, Departemen Agama (1999), Anotasi Buku Islam Kontemporer, Departemen Agama (2000), Poligami dalam Pandangan Islam, LKAJ (2000), Kesetaraan dan Keadilan Gender (Perspektif Islam), LKAJ (2001), Pedoman Dakwah Muballighat, KP-MDI (2000), Analisis Kebijakan Publik, Muslimat NU (2002), Meretas Jalan Awal Hidup Manusia: Modul Pelatihan Konselor Hak-Hak Reproduksi, LKAJ (2002), Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam, As-Sakinah (2002), Muslimah Reformis, Mizan, Bandung (2005), dan Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta (2005).
Musdah juga masih sempat menulis puluhan entri dalam Ensiklopedi Islam (1993), Ensiklopedi Hukum Islam (1997), dan Ensiklopedi Al-Qur`an (2000), serta sejumlah artikel yang disajikan dalam berbagai forum ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri.
Sesibuk apa pun, Musdah tidak meninggalkan kewajibannya terhadap keluarga. Ia bersyukur mendapat pendamping hidup yang sangat memahaminya. Suaminyalah, yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, tempatnya berbagi selama ini.
Jika permasalahan berat menghampirinya, ia menyerahkan semuanya kepada Yang Di Atas. Memang tidak selalu mendapat jawaban seketika. Sesekali Musdah memutar musik klasik. ''Saya akhirnya belajar mendengarkan Mozart,'' katanya. (A-18)
Prof Dr Siti Musdah Mulia:Keterlibatan Perempuan pada Semua Sektor adalah Keniscayaan
TIDAK bisa dimungkiri, gerakan perempuan Indo- nesia mengalami banyak kemajuan. Semua lapangan kerja sudah bisa dimasuki perempuan. Namun persoalannya, akses itu sering terbatas oleh persoalan ekonomi dan patriarkhi yang dianut.
''Keterlibatan perempuan pada semua sektor itu adalah suatu keniscayaan,'' kata Siti Musdah Mulia, yang sejak lama berkecimpung dan meneliti soal perempuan dan hak asasi manusia (HAM).
Menurutnya, membiarkan perempuan menjadi beban juga menjadi masalah besar di masa ini. Akankah selamanya kaum bapak sanggup memikul beban itu?
''Kalau seorang suami mencari nafkah sendiri, apakah di masa depan juga akan tetap bisa seperti itu dalam kondisi kehidupan yang semakin sulit? Dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi, tidak bisa tidak, suami-istri, harus mencari nafkah,'' kata Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) itu.
Berkaitan dengan itu pula, sejak awal anak-anak harus dididik realistik. Tidak laki-laki, tidak perempuan, keduanya harus bisa bekerja dan harus berbagi peran. Itu tuntutan hidup di masa datang, suka tak suka kita harus menghadapinya.
Pembaruan berbincang dengan Musdah, panggilan akrabnya, di kantor ICRP di kawasan Cempaka Putih Barat, 13 Februari lalu. Berikut petikannya.
Anda bergerak dalam bidang pendidikan. Bagaimanakah harus menjembatani keberagaman yang demikian jauh berbeda?
Persoalannya, di dalam pendidikan agama, pandangan-pandangan yang kritis, yang rasional, itu baru disajikan pada level atas. Biasanya pada level S2 atau S3. Padahal, berapa banyak orang yang bisa akses pendidikan itu?
Karena itu ketika rapat di Departemen Agama, saya mengatakan seharusnya pendidikan agama yang kritis itu dimulai sejak SMU. Tetapi banyak yang menyangkal, dengan mengatakan kalau di SMU itu pemahaman agamanya belum kuat. Mereka takut akan goyah.
Maksud saya, pendidikan agama tidak semata-mata dogmatis, doktriner. Saya maunya, dalam agama, yang dogmatis itu tidak banyak. Tetapi, political will kita masih sebegitu.
Ada banyak gangguan dalam keberagaman kita, yang membuat keharmonisan hidup dalam keberagaman tercederai belakangan ini?
Pengaruh reformasi ini membuat semua orang muncul. Termasuk kalangan ekstrem, dari agama apa pun, turut mengambil bagian dalam reformasi ini. Hanya sayangnya, mereka ternyata lebih vokal bersuara. Kelompok-kelompok moderat atau kelompok liberal ini, lebih memilih menggunakan cara-cara yang biasa dilakukan kalangan terdidik, menggunakan ajang diskusi, menggunakan pena untuk menulis.
Saya hanya ingin mengatakan, kita sebagai bangsa kok hanya mengurusi pornografi, bukan mengurusi persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa ini. Saya sungguh sedih sekali.
Maksudnya perlu terus-menerus disuarakan bahwa ada yang lebih penting yang dihadapi bangsa ini, selain daripada pornografi dan pornoaksi?
Ya. Saya langsung katakan kepada para ulama, apa fatwa ulama tentang trafiking (perdagangan manusia, menjadi pekerja seks), yang sekarang terjadi di mana-mana. Siapa pula yang membela migrant worker kita yang diperlakukan sangat tidak manusiawi? Kapan mereka pernah mengeluarkan fatwa berkaitan dengan itu?
Bagaimana pula caranya kita mencegah busung lapar, yang masih terjadi di mana-mana? Kalau saya ajak ngomong tentang hal itu, mereka cuma bengong-bengong saja. Saya katakan itu di hadapan ulama.
Persoalan Ahmadiyah, contohnya, bukan persoalan internal umat Islam, tetapi ini persoalan eksistensi bangsa ini sendiri. Apa kita memilih menjadi bangsa yang homogen, yang bersatu dari ujung ke ujung dengan seluruh pluralitas yang kita miliki?
Nanti akan ada banyak kelompok yang lain, dan ini potensi konflik di mana-mana.
Kalau kita ini terlalu sibuk dengan masalah-masalah internal, akhirnya kita tidak akan melakukan apa-apa. Saya tidak tahu. Ini perlu menjadi perenungan kita bersama.
Dengan kata lain, kita terlalu sibuk dengan urusan-urusan kecil, sementara di depan kita mengadang banyak masalah seperti bencana alam, flu burung, busung lapar, dan sebagainya?
Ya. Busung lapar itu, misalnya, ketika pada suatu saat saya turun ke lapangan, pejabat desa itu malah berada di Jakarta. Entah mengurus apa.
Bagaimana soal perjuangan perempuan?
Ya. Soal pembelaan kepada kaum perempuan, misalnya, saya sering mendapat caci-maki, dengan mengatakan saya telah kebablasan. Bagi saya, itu karena sejak kecil kita sudah dicekoki pandangan-pandangan yang mengatakan, apa yang sudah pada tempatnya itulah yang benar. Mereka tidak punya alternatif lain.
Nah, berkaitan dengan pandangan-pandangan baru ini, saya bersama kawan-kawan memang tidak berharap pandangan baru ini akan berlaku sekarang. Itu jauh. Tetapi, setidaknya, buat saya, mereka pernah mendengar pandangan yang berbeda. Itu saja. Karena untuk mengubah sekarang, tidak mungkin.
Bagaimana Anda menyosialisasikan pandangan-pandangan baru?
Sebagai staf pengajar, saya mengajar. Yang kedua saya menulis. Yang ketiga, saya menyosialisasikan melalui banyak diskusi, seminar.
Saya pikir memang perlu ada jembatan. Namun, siapa yang menjembatani? Ada banyak orang tidak pernah punya akses. Dalam penelitian saya, rata-rata kita beragama itu hanya karena pendengaran sendiri, tidak pernah menggali sendiri kebenaran dari sumber aslinya.
Saya sangat bersyukur pernah kuliah di Sastra Arab, mengerti bahasa Arab.
Bagaimana Anda memetakan perempuan Indonesia?
Gerakan perempuan Indonesia memang tidak bisa dimungkiri banyak kemajuan. Dalam pendidikan, contohnya. Semua lapangan kerja sudah bisa dimasuki perempuan. Cuma, persoalannya, akses itu terbatas oleh persoalan ekonomi dan patriarkhi yang dianut. Begitu menikah, mereka terjebak lagi.
Saya mengenal banyak aktivis yang sebelum menikah itu luar biasa karyanya, tetapi sesudah menikah terjebak pada pola patriarkhi. Makanya pemberdayaan perempuan itu harus dilakukan di semua lini. Bagaimana membuat masyarakat kita, laki-laki maupun Perempuan, menyadari hal itu. Keterlibatan perempuan pada semua sektor itu suatu keniscayaan. Karena membiarkan perempuan menjadi beban juga masalah besar masa ini.
Kalau saya menyosialisasikan masalah ini di depan bapak-bapak, biasanya saya balik bertanya, kalau perempuan itu tidak berdaya, akan jadi beban. Akankah selamanya kaum bapak sanggup memikul beban itu?
Perjuangan seperti itu tidak bisa dilakukan dengan paham-paham feminis yang menuntut. Karena akan terlebih dulu ada resistensi. Jadi, harus ada strategi.
Kalau seorang suami mencari nafkah sendiri, apakah di masa depan juga akan tetap bisa seperti itu dalam kondisi kehidupan yang semakin sulit? Masa yang akan datang, kita tak akan bisa hidup dengan hanya seorang pencari nafkah. Dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi, tidak bisa tidak, dua-duanya, suami-istri, harus mencari nafkah.
Kita sejak awal harus mendidik anak-anak dalam dunia realistik. Tidak laki-laki, tidak perempuan, keduanya harus bisa, karena keduanya harus berbagi peran. Itu tuntutan hidup di masa datang, suka tak suka kita harus menghadapinya.
Pernikahan beda agama adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Apa yang Anda lakukan bersama ICRP?
Di Jakarta saja, ada 500-700 pernikahan pasangan beda agama. Itu contohnya. Makanya, harus ada solusi. Angka itu kami peroleh dari institusi resmi seperti imigrasi dan lain-lain. Kecenderungannya meningkat. Nah, kenapa sih keinginan masyarakat untuk menikah beda agama itu tidak diredam dengan peraturan, apa pun.
Itu hak masing-masing orang. Dan, kita tidak bisa mengubah keyakinan seseorang.
Kami di ICRP, pertama kali akan meyakinkan, bahwa keputusan pandangan beda agama itu bukan emosi sementara. Kami memberi gambaran akan masa depan mereka. Kami mengingatkan masih akan ada kemungkinan konflik di masa datang, risiko yang harus dihadapi. Kami paparkan logika, pernikahan agama yang sama saja banyak konflik, apalagi yang berbeda agama. Menikah satu kewarganegaraan saja ada banyak masalah, apalagi pernikahan antarkewarganegaraan.
Semua kemungkinan buruk itu kami sampaikan dulu. Kalau memang yakin, pasangan itu akan datang lagi. Pada tahap itu, yang kami minta adalah persetujuan orangtua. Kami tidak mau kalau tak ada persetujuan orangtua. Kalau memang sudah yakin, akan kami panggilkan ulama, lalu kami menguruskan ke pengadilan untuk mendapatkan akta. Jadi secara hukum sah.
Namun, harap dicatat, kami tidak mempromosikan perkawinan beda agama. Kami ingin merespons persoalan-persoalan yang muncul, karena menyangkut pluralitas masyarakat itu sendiri. Ingat, kalau ada persoalan yang muncul, itu harusnya ada solusi. PEWAWANCARA: SOTYATI ►e-ti/tsl
BIODATA
Nama :Prof Dr Siti Musdah Mulia, MA
Lahir:Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958
Agama:Islam
Suami:Prof Dr Ahmad Thib Raya MA
Anak :
- Albar
- Ilham
Pendidikan:
SD di Surabaya (tamat 1969)
- Pesantren As'adiyah, Sengkang (1973)
- SMA Datumuseng, Makassar (1974)
- S-1 Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab, IAIN Alaudin, Makassar (1982)
- S-2 bidang Sejarah Pemikiran Islam, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992)
- S-3 bidang Pemikiran Politik Islam IAIN Syarif Hidayatullah (1997)
Karir:
- Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah (1997-sekarang)
- "Visiting professor” di EHESS Paris, Perancis (2006)
- Staf ahli Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas (2000-2001)
- Tim ahli Menteri Tenaga Kerja (2000-2001)
- Staf ahli Menteri Agama Bidang Pembinaan Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional (2001-2007)
- Sekretaris Jenderal Indonesian Conference on Religion and Peace (Sekjen ICRP) sejak 2001
- Wakil Sekjen PPMuslimat NU (2000-2005)
- Dewan Ahli Koalisi Perempuan Indonesia (2001-2004)
- Ketua Panah Gender PKBI (2002-2005)
Buku:
- Mufradat Arab Populer (1980)
- Pangkal Penguasaan Bahasa Arab (1989)
- Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (1995)
- Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (1995)
- Negara Islam: Pemikiran Politik Haikal, Paramadina (1997)
- Lektur Agama dalam Media Massa, Departemen Agama (1999)
- Anotasi Buku Islam Kontemporer, Departemen Agama (2000)
- Poligami dalam Pandangan Islam, LKAJ (2000)
- Kesetaraan dan Keadilan Gender (Perspektif Islam), LKAJ (2001)
- Pedoman Dakwah Muballighat, KP-MDI (2000)
- Analisis Kebijakan Publik, Muslimat NU (2002)
- Meretas Jalan Awal Hidup Manusia: Modul Pelatihan Konselor Hak-Hak Reproduksi, LKAJ (2002)
- Seluk-Beluk Ibadah dalam Islam, As-Sakinah (2002)
- ”Perempuan dan Politik” (Gramedia, 2005)
- ”Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan” (Mizan, 2005)
- ”Islam and Violence Against Women” (LKAJ, 2006)
- ”Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender” (Kibar, 2007)
- ”Poligami: Budaya Bisu yang Merendahkan Martabat Perempuan” (Kibar, 2007).
Penghargaan:
- Yap Thiam Hie Award 2008
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)