Matori Abdul Djalil (1942-2007) Politisi ‘Penurut’ yang Teguh Prinsip
Seorang politisi yang ‘penurut’ tapi teguh dalam prinsip. Dia tergolong politisi yang licin, akomodatif dan tenang tapi kadang-kala meledak. Jiwa kebangsaannya telah terpatri sejak masa belia. Keteguhan prinsip dan jiwa kebangsaan telah mengantarkannya ke jenjang karir politik sebagai Menteri Pertahanan.
Pada saat tertentu, dia terkesan sangat penurut kepada ‘Sang Guru’ yang disimbolkan sujud dan cium tangan setiap kali ketemu. Tapi dalam hal yang dianggapnya sangat prinsipil dan konstitusional dia pun mampu melepaskan diri dari bayang-bayang ‘Sang Guru”.
Itulah yang dilakoni dalam perjalanan hidup dari sejak masa mudanya. Ia seorang politisi yang menapaki karir plotik dari bawah, dari anggota DPRD Tingkat II, DPRD Tingkat I, DPR dan Wakil Ketua MPR sampai menjadi Menteri Pertahanan. Pria yang lahir di sebuah desa di luar kota Salatiga, Jawa Tengah 11 Juli 1942, ini sejak kecil sudah suka terlibat dalam organisasi dan mempunyai kepedulian kepada kepentingan masyarakat. Mungkin sudah bawaan dari garis keturunan. Kakek dan kakek buyutnya adalah kepala desa yang dikenal sebagai orang yang senantiasa punya kepedulian terhadap rakyat dan kepentingan umum.
Semasa anak-anak bersama teman-temannya, Matori sudah belajar berorganisasi dalam bentuk mendasar. Seperti, mengatur pelaksaan pertandingan sepak bola. Mulai dari mempersiapkan peralatan, pendanaan dengan iuran bersama, pembuatan kostum sederhana dengan kaos oblong yang kemudian diwarnai. Ini tertutama ketika musim-musim hari kemerdekaan 17 Agustus. Kegemaran berkumpul dan berorganisasi itu terus belanjut dari sejak SD hingga di bangku kuliah.
Pada usia belia, ia juga sudah memperhatikan semangat para pemuda bangsa yang dalam pengabdian mempertaruhkan nyawa demi kepentingan kemerdekaan bangsa. Saat itu bangsa kita dalam kondisi puncak perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI. Hal ini memberikan rangsangan dan inspirasi baginya untuk cinta tanah air dan memiliki sikap patriotik.
Maka awalnya ia bercita-cita menjadi tentara. Tetapi karena ia buta warna, ia tidak berani mendaftar jadi tentara. Akhirnya ia memilih terlibat dalam lembaga kemasiswaaan hingga partai politik, sebagai tempat pengabdian. Selain belajar dalam jenjang pendidikan formal, ia juga banyak belajar dan bertanya kepada orang yang lebih tua, terutama kepada eks tentara pelajar. Dari mereka Matori banyak belajar tentang bagaimana sebaiknya bangsa ini. Sehingga sejak remaja ia sudah memahami kemajemukan bangsanya, baik agama, suku, etnis dan golongan.
Ia menjadi paham mengapa pendiri bangsa ini memilih Pancasila sebagai dasar negara, bukan agama atau ideologi yang lain. Itu semata-mata karena sebuah kesadaran yang kuat betapa beragamnya bangsa ini. “Sebab kalau kita menganggap bangsa ini dalam ukuran suatu etnis, saya pikir kita tidak mungkin bersama dengan saudara-saudara kita dari Irian Jaya, yang memiliki perbedaan, warna kulit dan budaya,” kata Matori dalam percakapan dengan Tokoh Indonesia di Kantor Menhan, Jalan Merdeka Barat, Jakarta.
Juga kalau kita melihat bangsa ini dari ukuran sebuah agama, tidak mungkin misalnya masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu dapat bersatu dengan orang-orang yang ada di pulau Jawa. Terlebih jika dilihat satu pulau, contohnya di pulau Jawa, betapa beragamnya dari segi etnik dan agama. Kenyataan ini semakin meyakinkannya bahwa jikalau bangsa ini ingin eksis, harus melihat bentuk Negara Kesatuan berdasarkan Pancasila, sebagai bentuk dan dasar negara yang sudah final.
Tujuan bangsa ini yaitu ingin sederajat dengan bangsa lain dan mencerdaskan bangsa menuju cita-cita ke arah sebuah masyarakat yang “toto tentrem” dan “kerto raharjo” yaitu dengan cara setiap orang harus bersikap sebagai pejuang dalam bidangnya. Apakah ia di partai, pers, pegawai negeri, aktivis sosial. Hal-hal inilah yang senantiasa menjadi pemikirannya, ketika ia masuk berpolitik dari bawah hingga sekarang.
Dalam memandang bangsa ini dari sisi pertahanan dan keamanan, terlebih ia melihat dari kaca mata sebagai orang Jawa. Bukan menjadi primodial. Namun karena ia dibesarkan di Jawa, sehingga berbagai pengetahuan yang ia peroleh dari masyarakat adalah menjadi acuan pola berpikirnya, sebagai umumnya manusia.
Ia menganalogikannya dengan pergelaran wayang kulit. Pertama kali Ki Dalang menyanjung sebuah negara dengan istilah panjang, punjung, pasir, wukir gemah ripah loh jinawi. Ia melihat bangsa Indonesia seperti itu. Panjang dan punjung itu artinya panjang, luas lebar. Pasir itu berarti pantai, ini menunjuk kepada pantai sebagai tempat perdagangan. Kemudian perbukitan berarti pertanian, lalu gemah ripah loh jinawi berarti kaya sumber daya alam dan subur. Sumber alam kita begitu kaya dan subur sekali. Ini adalah sebuah fakta dan ini adalah anugerah bagi bangsa ini. Namun sesugguhnya ada dua hal yang menjadi tugas besar bangsa ini yaitu terciptanya “toto tentrem” dan “kerto raharjo”.
Toto tentrem itu adalah yang berhubungan dengan keamanan (security). Sedangkan kerto raharjo itu adalah kesejahteraan (prosperity). Sehingga kuncinya adalah bagimana kita menjadikan kondisi keamanan yang bagus, sehingga akhirnya kesejahteraan tercapai. Tidak pernah dikatakan kerto raharjo dan toto tentrem. Tapi toto tentrem terlebih dahulu, kemudian kerto raharjo. Seperti, sandang pangan bukan pangan sandang. Ini berarti bahwa yang pertama adalah yang utama bagi kita sebagai manusia berbudaya.
Contohnya, bayi saat dilahirkan. Pertama kali diselimuti dengan kain baru kemudian diberi ASI. Ini tanda manusia itu beradab dan berbudaya. Lebih baik kita tidak makan dulu daripada tampil telanjang. Karena jika kita tidak telanjang, kita dapat mencari makan. Demikian juga kalau kita bicara di dalam dunia ekonomi, bahwa antara stabilitas dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang bersifat absolut. Tidak mungkin ada investor jika tidak ada keamanan yang pasti. Setidaknya itulah yang menguat dalam benaknya, ketika dipercayakan memimpin Departemen Pertahanan. “Bagi saya ketika ditempatkan di dalam departemen ini merupakan sebuah amanah yang tidak ringan, bagaimana terciptanya keamanan yang bagus yang berlanjut dengan tumbuhnya kesejahteraan yang diharapkan,” ungkapnya.
Reformasi adalah tugas besar bagi bangsa Indonesia yaitu satu proses yang disengaja demi terciptanya suatu sistem nasional yang demokratik, sebagaimana yang diharapkan oleh pendiri republik ini. Namun, menurut Matori, kita perlu menyadari bahwa kematangan berdemokrasi Bangsa Indonesia itu belum cukup. Padahal jika ingin membangun suatu sistem bukan hanya sturkturnya saja yang dibangun, Tapi juga kulturnya harus dibangun. Lalu apakah sebenarnya demokrasi hanya merupakan kebebasan saja? Sejarah dalam Revolusi Prancis mencatat bahwa domokrasi mencakup tiga hal: kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Sehingga jika ingin membangun kultur demokrasi, tiga nilai tersebut harus dibangun secara bersama. Tiga nilai itu memiliki pengertian: ketika saya merasa bebas, pada saat itu juga saya harus begitu yakin kalau orang-orang di sekitar saya juga merasakan hal yang sama. Namun jika yang bebas hanya saya, itu bukan demokrasi namanya. Ketika kebebasan dirasakan bersama, maka yang muncul adalah kompetisi. Kompetisi yang sehat harus memiliki “rule of the game”.
Contohnya, dalam pertandinagn sepak bola, kedua tim diberikan kebebasan untuk menggolkan bola sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam aturan permainan. Nah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu disebut sebagai “rule of law”. Sehingga persaingan atau kompetisi itu didasari oleh hukum. Jika hukum sudah ada maka harus ada law inforcement (penegakan hukum). Ketika ada yang patut terkena “kartu kuning” diberikan “kartu kuning” dan jika patut terkena “kartu merah” harus diberi “kartu merah” juga.
Jadi siapa pemenangnya, setiap pihak menjadi puas. Seperti di saat akhir pertandingan sepak bola, mereka saling tukar-menukar kostum, bersalaman dan berpelukan. Muncul persaudaraan. Persaudaraan itu ada karena adanya fairplay. Sehingga jika kita berdemokrtasi itu adalah untuk bersatu.
Matori menuturkan kata-kata itu dalam penghayatan yang tulus. Sejak muda ia memang sudah aktif dalam kegiatan dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar dan moderat (kebangsaan). Keluarganya memang datang dari kalangan NU. Boleh disebut, karier politiknya dibangun dari organisasi massa Islam tradisonal tersebut, sejak ia mulai menjadi anggota Pandu Anshor pada tahun 1955-1957. Ketika di SMA ia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU) Cabang Salatiga. Waktu kuliah, Matori menjadi Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga, 1964-1968. Juga menjabat Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat Salatiga, 1966-1968. Tahun 1966-1973, menjadi Wakil Ketua DPC Partai NU Kabupaten Semarang/Kotamadya Salatiga.
Suami dari Ny Sri Indarini ini, pada tahun 1976-1981 menjabat Ketua II Anshor Wilayah Jawa Tengah tahun 1976-1981. Di saat yang hampir bersamaan, ia juga menjadi Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah dan kemudian naik menjadi Sekretaris PWNU Jawa Tengah, 1979-1982. Tahun 1973 sampai 1981 ia menjabat Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Semarang. Lalu, 1982-1987, menjadi Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah.
Di jalur legislatif, Matori benar-benar memulai karirnya dari bawah. Wakil Ketua DPRD II Salatiga, 1968-1971. Kemudian sebagai Wakil Ketua DPRD Semarang, 1971-1977. Lalu naik menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah, 1977-1987. Dan menembus Senayan sebagai anggota DPR-RI dari Fraksi PPP, 1987-1992 dan 1992-1997. Serta menjadi anggota DPR dan Wakil Ketua MPR (1999-2001).
Namanya sebagai politikus nasional mencuat ketika ayah delapan anak itu menjadi Sekjen DPP PPP, pada 1989-1994. Dia melakoninya sebagai Sekjen yang ‘patuh’ kepada Ketua Umumnya. Namun setelah periode itu selesai, ia pun bertarung dengan Ketua Umumnya sendiri, Ismail Hasan Metareum, untuk memperebutkan Ketua Umum DPP PPP periode berikutnya. Dia kalah. Buya Metareum terpilih kembali melanjutkan kepemimpinan PPP periode 1994-1997. Matori lalu terdepak.
Namanya sempat bagai menghilang dari percaturan politik. Baru terdengar lagi ketika aktif menjadi Sekretaris Umum Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan (YKPK), mendampingi mantan KSAD, Bambang Triantoro, yang tampil sebagai ketuanya. Lalu reformasi bergulir, orang pun dengan mudah mendirikan partai. NU, sebagai organisasi massa terbesar di Indonesia pun tak ketinggalan, mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di bawah prakarsa Abdurrahman Wahid. Matori pun ditunjuk untuk memimpin partai yang konon mewadahi aspirasi politik kaum Nadhliyin itu.
Setelah Pemilu 1999 usai, Matori menjagokan Megawati Sukarnoputri, selaku Ketua Umum PDIP pemenang Pemilu, sepantasnya jadi Presiden menggantikan BJ Habibie. Pendapatnya masih sejalan dengan Gus Dur – yang dianggapnya sebagai ‘Sang Guru’ – yang sebelum Pemilu sering mengemukakan dukungan pribadinya kepada “saudarinya’ Megawati.
Tapi ketika, Poros Tengah yang merupakan Poros Islam yang dimotori Amie Rais Cs mengumpan Gus Dur paling pantas jadi presiden, Gus Dur dengan cekatan manangkap peluang itu. Tapi Matori masih saja terlihat tetap pada pendirian menjagokan Megawati.
Hingga tiba saatnya pada Sidang Umum MPR Oktober 1999, Matori berada di antara dua pilihan sulit. Tetap mendukung Megawati sebagai calon presiden atau berbalik memihak mendukung Gus Dur, sang pelindungnya di PKB dan NU. Ia mencoba tetap bertahan dengan sikapnya yang menjagokan Megawati.
Dua minggu sebelum SU MPR itu, Matori yang saat kampanye Pemilu muncul sebagai bintang iklan bagi PKB ini masih menegaskan, PKB tetap mendukung Megawati. "Sekecil apa pun bagi Megawati akan saya upayakan untuk menjadi besar," imbuhnya. Lebih jauh, Matori menganggap kalau Megawati kalah, berarti pertarungan dimenangkan oleh status quo. Sebaliknya ia justru mencurigai upaya Poros Tengah itu. "Saya melihat, itu lebih sebagai upaya Amien Rais untuk mendapatkan posisi yang dia harapkan bagi dirinya sendiri. Jadi bukan untuk Gus Dur," kata Matori sebagaimana dikutip sebuah majalah. Ia juga sempat mempunyai penilaian bahwa Poros Tengah itu bukanlah sebuah kekuatan yang solid.
Tetapi sekalipun kekuatan Poros Tengah (yang semula diperkirakan hanya memperalat Gus Dur) tidak solid, terbukti menjadi kekuatan sangat dahsyat dalam Sidang Umum MPR 1999 oleh kepiawian politik Gus Dur memanfaatkan peluang yang dilempar Poros Tengah. Gus Dur dari partai pemenang keempat, berhasil merebut tampuk pemerintahan di Indonesia, menjadi Presiden.
Matori sendiri, yang sebelumnya berhasrat dan dijagokan PDIP dan PKB untuk menjadi Ketua MPR, dikalahkan pula oleh kekuatan yang dibangun Poros Tengah. Pasalnya, Gus Dur tidak mendukung Matori tapi mendukung Amien Rais. Amien Rais pun naik menjadi Ketua MPR, unggul dengan selisih 26 suara dari Matori . Sementara Matori sendiri, harus puas menjadi Wakil Ketua MPR.
Pembangkangan Matori kepada Gus Dur, sempat diperkirakan akan menimbulkan keretakan hubungannya dengan Sang Guru. Namun, dengan cekatan Matori melakukan suatu tindakan politik yang brilian. PKB yang dipimpinnya mencalonkan Megawati untuk jabatan Wakil Presiden. Gus Dur dan Matori akhirnya muncul sebagai pemenang sesungguhnya pada di akhir Sidang Umum MPR 1999 itu. Poros Tengah yang menjagokan Hamzah Haz kalah telak. Akhirnya, bagi Matori, yang datang dari keluarga NU ini, pemilihan presiden yang tadinya seperti buah simalakama berubah menjadi berkah.
Berkat kepiawian Matori itu, tak heran bila pada Muktamar PKB yang berlangsung beberapa bulan kemudian, Gus Dur bersikukuh mempertahankan Matori memimpin kembali Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tidak banyak perdebatan, apalagi saling bertegang urat leher. Adalah Abdurrahman Wahid, yang terpilih sebagai Ketua Dewan Syuro yang 'menunjuk' Matori untuk memimpin kembali PKB. Sementara Alwi Shihab, yang sebelumnya sempat kepincut untuk duduk di puncak kepengurusan, harus rela mengubur keinginannya.
Calon lainnya, KH Mustopa Bisri, pagi-pagi sudah menyatakan mundur dari pencalonan itu. Meskipun, menurut pengakuan Gus Dur, sejumlah kiai di Jawa dan Luar Jawa menghendaki kiai penyair itu. "Tadinya saya mau mengajak Pak Matori dalam Dewan Syuro. Tetapi Gus Mus tidak mau (jadi Ketua Umum PKB-red). Ya, sudah. Kita kembali ke bentuk asal," kata Gus Dur dalam pengantarnya sebagai Ketua Dewan Syuro di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya (26/7). Terkuburlah keinginan beberapa ulama dan kader PKB yang sebelumnya menghendaki penggantian Matori. Dia pun kembali berjalan seiring dengan Sang Guru.
Sampai pada akhirnya, ketika Gus Dur mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan MPR yang bermuara pada dipercepatnya Sidang Istimewa MPR yang memberhentikan Gus Dur dari kursi presiden, Matori benar-benar mengambil sikap berlawanan dengan kehendak Gus Dur. PKB yang sudah menyepakati melarang setiap anggotanya menghadiri Sidang Istimewa itu, dilanggar oleh Matori. Ia dengan gagah tampil pada prinsip yang diyakininya. Ia tidak menghiraukan larangan itu. Ia pun menghadiri Sidang Istimewa itu. Gus Dur pun berang. Dan selaku Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur memecat Matori dari jabatan Ketua Umum PKB.
Sekali lagi, Matori mananggapinya dingin. Ia menganggap pemecatan itu tidak sah. Apalagi, ia sedang berada dalam suasana sukacita ketika Megawati mempercayainya menjabat Menteri Pertahanan Kabinet Gotong Royong 2001-2004.
Beberapa bulan berikutnya, Matori pun menyelenggarakan Muktamar PKB yang menetapkannya tetap sebagai Ketua Umum PKB, yang kemudian dikenal sebagai PKB Batutulis. Sehari berikutnya, kubu Gus Dur menyelenggarakan Muktamar PKB yang memilih Alwi Sihab sebagai Ketua Umum. PKB pimpinan Alwi Sihab ini kemudian dikenal sebagai PKB Kuningan. Kedua PKB ini akhirnya harus bertemu di pengadilan untuk menentukan siapa yang berhak menamakan diri PKB yang sah. Matori, yang menghabiskan masa kecil dan remajanya serta mengenyam pendidikan dasar hingga perguruan tingginya di kota kelahirannya, Salatiga, tetap menegakkan kepala sebagai seorang politisi yang tidak bisa disepelekan.
Ia pun kemudian tetap membina hubungan pribadi dengan Gus Dur, sebagai seorang sahabat dan guru yang dihormatinya. Ia seorang yang percaya bahwa hidup dan perjuangan itu tidak dapat dilakukan sendiri. Makin banyak teman makin baik. Karena itu ia selalu berusaha membangun jaringan dengan siapa pun. Baik dengan tidak seagama atau satu daerah, namun dengan siapa saja yang memiliki satu idealisme yang sama, mari bersama-sama! Dengan itu dapat terlihat apakah orang itu mengabdi kepada idelisme atau kepada kepentingan pribadinya ketika sedang mengambil keputusan yang menyangkut bangsa.
Ia selalu berharap dalam setiap sikap dan usaha senantiasa Tuhan memberi kekuatan. Kekuatan itu dimilikinya setiap kali mengambil keputusan sesuai dengan prinsip dan komitmen yang diyakininya benar. “Jadi ketika prinsip berbeda, kita memang tidak boleh lagi bersama-sama, meskipun secara pribadi hubungan tidak putus. Tapi jika dalam satu hal berbeda, apalagi menyangkut bangsa dan negara, saya selalu berusaha apa yang saya lakukan itu konsisten dengan apa yang saya katakan atau ucapkan. Ketika memperjuangkan dermokrasi dengan konstitusi, saya harus turut di dalamnya. Karena di dalam Islam dikatakan bahwa “dosa besar dihadapan Allah itu adalah orang yang bisa bicara, tetapi tidak bisa melaksanakan yang diucapkan,” katanya.
Dalam hal ini ia bertekad menjadi orang yang memiliki rasa malu teradap diri sendiri, manakala tidak konsisten dengan apa yang ia katakan. Maka seberat apapun dalam mengambil keputusan, ia percaya kalau dilakukan dengan ihklas, meskipun semua orang memusuhi, Tuhan pasti menolong. Karena Al-quran mengatakan “kalau memang kamu membela Allah, membela kebenaran sesuai dengan kehendak-Nya, maka yang akan meneguhkan dirimu adalah Tuhan sendiri.
Hal inilah yang meneguhkannya menghadiri Sidang Istimewa MPR 2001, berseberangan dengan Gus Dur. Ia sejak semula mempunyai prinsip menegakan konstitusi bagaimana pun keadaanya. “Sebab kelemahan saya dalam politik, saya tidak dapat berkompromi terhadap hal-hal yang prinsipil dan konstitusional,” ungkap Matori. Lagi pula ia yakin segala sesuatu itu datang dari Tuhan. Jadi ia tak perlu takut lalu menjual prinsip.
Kesadaran ini mengental terlebih ketika ia hendak dibunuh, ternyata tidak mati. Dari hal itu ia makin yakin kematian itu bukan manusia yang mengira-ira. “Boleh saja orang mau membunuh saya, tapi kalau Tuhan tidak menakdirkan saya mati pada hari itu, ya saya tidak mungkin mati. Bukan karena saya sakti tapi karena Allah. Saat kita lahir dalam keadaan telanjang, tidak berdaya, tetapi Tuhan menanamkan kasih kepada kita masing-masing, sehingga ibu kita merawat dan membesarkan kita. Kasih yang ada dalam ibu ini adalah datang dari Tuhan,” kata Matori lalu mengungkap sebagian kisah masa kecilnya.
Ketia masih SD, ia harus berjalan jauh untuk sampai ke sekolah melewati pematang sawah dan tidak memakai alas kaki sendal atau sepatu. Sementara saat ini ia diberi amanah sampai menjadi menteri, anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik. Itu semuanya dari Tuhan. “Jadi dalam hidup ini tidak perlu takut, bukan berarti kita tidak perlu berikhtiar, beriktiarlah, namun tidak perlu sampai menjual prinsip.”
Itulah yang mendasari keyakinannya ketika mendukung Ibu Mega menjadi presiden. Sebuah prinsip yang dilandaskan pada komitmen untuk membangun demokrasi dan melaksanakan reformasi. Sebab menjadi lucu, kalau sebuah partai yang menang pemilu tetapi malah menjadi pihak oposisi. Semua harus kita kembalikan kepada niat kita. Kita melaksanakan rerformasi untuk mendapatkan posisi atau ingin membangun sistem nasional yang demokratis?
Prinsipnya tidak berubah ketita PKB mencalonkan Gus Dur menjadi presiden. Sikapnya tetap sama dan jelas bahwa ketua partai pemenang pemilu harus menjadi presiden. Walaupun kemudian banyak orang yang menghujatnya, tapi ia yakin apa yang ia lakukan itu benar. Maka kalaupun ia dihujat, ia lebih memilih diam saja. Karena ajaran orang-orang tua mengatakan kalau kita melakukan yang baik suatu ketika juga nanti akan muncul. Nasehat para orang tua ini diamalkannya dalam pengalaman hidupnya. Pengalaman hidup yang mengantarkannya ke jenjang karir politik sebagai Menteri Pertahanan.
Mantan Menteri Pertahanan Kabinet Gotong Royong (2001-2004) H Matori Abdul Djalil tutup usia, sekitar pukul 21.00 WIB Sabtu 12 Mei 2007 di kediamannya kawasan Tanjung Mas Raya, Jakarta Selatan. Tokoh kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 11 Juli 1942, itu mengalami stroke saat menjabat Menhan (2003) dan sempat menjalani perawatan intensif di Singapura.
► e-ti
Nama : H. Matori Abdul Djalil
Lahir : Salatiga, Jawa Tengah, 11 Juli 1942
Meninggal:Jakarta, 12 Mei 2007
Jabatan Terakhir:
- Ketua Umum PKB (1998 - 2004)
- Menteri Pertahanan Kabinet Gotong-Royong (2001-2004)
Pendidikan :
• MIN dan SR, 1956
- SMP Negeri Salatiga
- SMA Negeri Salatiga
- Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Organisasi :
• Anggota Pandu Anshor (1955-1957)
- Ketua Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU) Cabang Salatiga
- Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga (1964-1968)
- Wakil Ketua DPC Partai NU Kabupaten Semarang/Kodya Salatiga (1968-1971)
- Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat Salatiga (1966-1968)
- Ketua II PW Anshor Jawa Tengah
- Wakil Sekretaris PW NU Jawa Tengah
- Sekretaris PW NU Jawa Tengah (1979-1982)
- Ketua DPC PPP Kabupaten Semarang
- Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah (1982-1987)
- Sekretaris Jenderal DPP PPP (1989-1994)
- Ketua Umum PKB (1998 hingga sekarang)
Karir:
• Wakil Ketua DPRD II Salatiga (1968-1971)
- Wakil Ketua DPRD II Semarang (1971-1977)
- Anggota DPRD I Jawa Tengah (1977-1987)
- Anggota DPR RI (1987-1992, 1992-1997)
- Anggota DPR dan Wakil Ketua MPR (1999-2001)
- Menteri Pertahanan Kabinet Gotong-Royong (2001-2004)
Alamat Rumah :
Jalan Elang Emas Prima, Blok C-7 No. 12
Tanjung Mas, Tanjung Barat, Jakarta Selatan
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia),