BIOGRAFI SINGKAT GUBERNUR JAWA TIMUR
RMTA. SOERJO
1945-1948
Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo, biasa dikenal dengan nama Gubernur Soerjo, lahir di Magetan pada tanggal 9 Juli 1895. Soerjo merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara dari Raden Mas Wiryosumarto yang bertugas sebagai Ajun Jaksa di Magetan,dan Raden Ayu Kustiah.
Semasa kecil, Soerjo termasuk anak berwatak pemberani yang suka melakukan sesuatu bukan untuk kepentingan diri sendiri, melainkan untuk kepentingan bersama.
Di masa pendidikan, mula-mula Soerjo bersekolah di Tweede Inlandsche School (Sekolah ongko lara) di Magetan, kemudian pindah ke Hollandsch Inlandsche School (HIS). Setelah lulus dari HIS, ia pindah ke Madiun untuk mengikuti pendidikan di Opleidings School Voor Inlandsche Ambteraar (OSVIA). Selama di Madiun ia tinggal di rumah kakak ibunya yang menjadi Bupati Madiun, yaitu Raden Ronggo Kusnodiningrat. Selama pendidikan ia selalu memperlihatkan tanda-tanda kepemimpinannya, yaitu tegas, jujur, sportif dan ksatria.
Lulus OSVIA tahun 1918, ia ditugaskan di Ngawi sebagai Gediplomeerd Assistant nlandsch Bestuur Ambtenaar kantor Controleur Ngawi. Sebelum tamat OSVIA, ia pernah ditugaskan sebagai pangreh praja dalam residensi Madiun sesuai Besluit Kepala Departemen Derusan Bestuur tanggal 22 Agustus 1917 No. 1442/C11 dan Candidat prijaji Pangreh Praja Indonesia dan ditempatkan sebagai Controleuir di Ngawi berdasarkan Besluit Residen Madiun No. 7681/10 tanggal 27 Agustus 1917. Pasca kelulusan dari OSVIA ia berturut-turut sebagai Wedono Ngrambe (Ngawi) berdasarkan Besluit Residen Madiun No. 4058/10 tanggal 3 April 1919, Asisten Wedana Onderdistrik Karangredjo (Magetan) No. 11847/10 tanggal27 Oesember 1919.
Tahun 1920 ia dipindahkan ke Madiun sebagai Mantri Veld Politie hingga tahun 1922. Tahun 1923 ia mendapat tugas belajar di Politie School (Sekolah Polisi) di Sukabumi selama dua tahun. Selanjutnya is pindah ke Onderdistrik Kota Madiun tanggal 30 Maret 1925 berdasarkan besluit Residen Madiun No. 5064/10. Pada tahun 1926 ia pernah menduduki jabatan Asisten Wedana di Kota Madiun dan Ponorogo (Jetis) dan selanjutnya ia menjadi Wedana di Pacitan. Pada tahun yang sama ia menikah dengan Raden Ajoe Siti Moettopeni, yang lahir di Ponorogo tanggal 13 Mei 1898. Raden Ajoe Siti Moettopeni merupakan puteri dari Raden Adipati Aryo Hadiwinoto, Bupati Magetan. Buah pernikahan tersebut melahirkan seorang anak bernama Raden Adjeng Siti Soeprapti, lahir di Magetan, 12 Januari 1922.
Berdasarkan besluit Residen Madiun No. 1524/10 tanggal 21 Februari 1927, dipindahkan ke Onderdistrik Djetis distrik Ardjowinangun Kabupaten Ponorogo. Berdasarkan besluit Residen Madiun No. 4975/10 tanggal 30 Juni 1927 diangkat menjadi Asisten Wedono Klas I. Berdasarkan Besluit Goebernoer Djawa Timoer tanggal 25 September 1928 No. 1080/23a diangkat menjadi Wedono Distrik Kota Patjitan.
Pada tahun 1930 ,Soerjo, mengikuti pendidikan di Bestuuracademic di Batavia selama dua tahun. Selesai pendidikan ia ditugaskan di distrik Modjokasri (Modjokerto) sebagai Wedana di Mojokerto berdasarkan Besluit Goebernoer Djawa Timoer tanggal1 Desember 1930 No. 3171/23a
Selanjutnya berdasarkan Besluit Gubernur Jawa Timur tanggal 11 September 1935 No. 1716/23a diangkat menjadi Wedono Distrik Porong. Kabupaten Sidoarjo.
Tahun 1938 berdasarkan Besluit Gubernur tanggal 9 Agustus 1938 (2603) No. 39 diangkat menjadi Bupati di Magetan hingga tahun 1942. Setelah menjabat Bupati Magetan, beliau menjabat Su Cho Kan (Residen) Bojonegoro pada tahun 1943 hingga kemerdekaan Republik Indonesia.
Masa pendudukan Jepang maerupakan masa kehidupan yang sulit bagi Soerjo karena ia harus memenuhi permintaan Jepang sementara ia melihat rakyat nasibnya semakin parah.
Setelah Indonesia merdeka, Soerjo, diangkat sebagai Gubernur Propinsi Jawa Timur yang pertama pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dipublikasikan melalui pengumuman pemerintah tanggal 18 Agustus 1945.
Ia dilantik pada tanggal 5 September dan baru melaksanakan tugas sebagai Gubernur Jawa Timur tanggal12 Oktober 1945. Peristiwa penting yang dipimpin beliau antara lain ketika menghadapi pasukan tentara sekutu di Surabaya. Setelah terbunuhnya Mallaby di Surabaya tanggal 31 Oktober 1945 kemarahan Inggris semakin memuncak.
Pada 9 November 1945 tentara Inggris mengeluarkan ultimatum kepada segenap rakyat Surabaya agar menyerahkan senjata paling lambat tanggal 10 Nopember 1945 pukul 06.00 pagi. Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi mereka akan menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara.
Gubernur Soerjo menghadapi keadaan genting ini dengan kepala dingin. Ia mengadakan rapat dengan Tentara Keamanan Rakyat. Pada tanggal 9 Nopember 1945 pukul 23.00 ia berpidato melalui siaran radio dan membakar semangat rakyat untuk bangkit melawan pasukan Inggris. Pidato yang sama pun digelorakan oleh Bung Tomo yang mampu memicu semangat pemuda Surabaya untuk menahan gempuran Sekutu. Keesokan harinya, 10 Nopember 1945, meletus pertempuran dahsyat antara tentara Inggris dan para pejuang serta pemuda Indonesia di Surabaya yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Surabaya.
Paska pertempuran Surabaya, serangan Inggris di Surabaya semakin gencar dan memaksa Suryo dan stat pemerintahan menyingkir ke Sepanjang (1945), kemudian ke Mojokerto, Kediri, dan Malang (1947) Setelah aksi Militer Belanda I tanggal21 Juli 1947. Kedudukan Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang sebelumnya ada di Malang dipindahkan ke Blitar.
Daerah tersebut dianggap relatif lebih aman karena letak geografis yang strategis yang berada di lereng Gunung Kelud sehingga menjadi tempat yang baik untuk perang gerilya.
Pada tahun 1947 Soerjo digantikan oleh Dr. Moerdjani. Soerjo mendapat tugas baru sebagai Wakil Ketua DPA di Yogyakarta. la selanjutnya menjadi ketua DPA ketika ketua sebelumnya sakit.
Pada tanggal 10 Nopember 1948 setelah menghadiri peringatan hari Pahlawan di Yogyakarta, Soerjo pulang ke Madiun untuk menghadiri 40 hari wafatnya adiknya, Raden Mas Sarjuno yang menjadi korban keganasan Partai Komunis Indonesia. la bermalam di Solo dan menginap di rumah seorang Residen Solo, Pak Diro. Keesokan harinya, 11 Nopember 1948, ia ameneruskan perjalanan.
Di Desa Bago, Kedunggalar, Ngawi, pada tahun 1948, ia dicegat dan kemudian dibunuh gerombolan komunis yang dipimpin oleh Maladi Yusuf. Pada saat yang sama lewat mobil yang ditumpangi M. Duryat dan Suroko. Soerjo dan lainnya di bawa ke Hutan Sonde dan dibunuh secara kejam. Jenazahnya ditemukan empat hari kemudian di Kali Klakah, Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo Lor, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Jenazah Soerjo kemudian dimakamkan di makam Sasono Mulyo, Sawahan, Kabupaten Magetan.
Pemerintah mengangkatnya sebagai pahlawan Pembela Kemerdekaan pada tahun 1964 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 294, tanggal 17 Nopember 1964.
sumber http://www.arsipjatim.go.id