Jussabella Sahea, Tersihir Layar dan Lautan
Ia menyadari bahwa laut tidak selamanya tenang. Namun pengalaman sejak kecil telah membiasakannya dari guncangan yang biasa terjadi di atas kapal.
Seraut sosok feminin muncul di ruang meeting PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Sikapnya begitu hangat dan terbuka. Wajahnya menampakkan senyuman cerah. Segala hal tentang dunia pelayaran – yang selama ini dimitoskan sebagai dunia kaum lelaki tangguh dan berdaya menaklukkan lautan – seolah dipatahkan begitu saja ketika perempuan bernama Jussabella Sahea memperkenalkan dirinya. Ia lah Direktur Utama PT Pelni – perusahaan pelayaran terbesar di Indonesia – dan membawahi 5000 karyawan.
Padahal namanya baru saja menorehkan sejarah baru dalam dunia pelayaran. Di bawah kepemimpinannya ia berhasil mengangkat keterpurukan kondisi pelayaran paska masuknya pesawat berbujet rendah melalui berbagai inovasi pemasaran dan pelayanan. “Selama ini kapal Pelni sering diidentikan dengan kapal feri untuk kalangan menengah rendah, padahal tidak demikian. Ada kelas mulai dari VIP hingga kelas 4. Kapal kami bahkan baru saja dipakai untuk seminar para dokter ahli syaraf Indonesia, yakni sepanjang perjalanan Jakarta-Batam dan seminar internasional Cruise Operator dalam pelayaran Jakarta -Surabaya.” Bulan ini, ia juga akan meluncurkan kapal angkut terbaru hasil modifikasi dari kapal angkut penumpang menjadi kapal yang dapat mengangkut penumpang, barang, container dan kendaraan.
“Pelayaran memang bukan dunia baru buat saya,” ungkapnya kemudian sebelum meluncurkan segala peristiwa dalam hidupnya yang semakin menegaskan bahwa dunia layar ibarat sudah mendarah daging dalam diri dan keluarganya. Ia dilahirkan dari buah cinta sang ayah yang berasal dari Sangir Talaud dan sang ibu dari Bugis. Sangir Talaud dikelilingi oleh lautan, menggiring sang ayah menjadi nahkoda kapal di Pelni. Meski sang ibu berdiri sebagai ibu rumah tangga, darah Bugisnya, pelaut, dan pedagang ulung, kelak diharapkan memberikan talenta dalam dunia perdagangan. Jussabella, adalah anak sulung dari 9 bersaudara, dilahirkan dan besar di Jakarta.
Sebagai nahkoda kapal, kehadiran sang ayah jelas sangat langka di rumah. Tak jarang waktu sepanjang satu tahun dilalui tanpa kehadiran ayahnya. Begitulah risiko sebagai keluarga pelaut bila kapal yang dinahkodai tak masuk ke Jakarta. Keluarganya memahami betul kondisi ini. Beruntunglah masih ada kontak melalui telepon ketika kapal ayahnya sandar. Setiap liburan panjang, ia selalu diajak berlayar oleh ayahnya. Saat inilah ia menikmati kebersamaan yang menyenangkan. “Saya terbiasa dengan kegiatan bongkar muat barang di pelabuhan. Lucunya, saya malah lebih tahan terhadap hantaman gelombang di kapal dibandingkan dengan naik pesawat terbang yang membuat saya sering mual-mual.” Ia tertawa-tawa senang mengenang semua momen di atas kapal.
Namun kemudian terdiam sejenak. Ia merasa hubungan dengan sang ayah di masa kecil terasa mendua. “Ayah sangat memanjakan saya. Apapun yang saya inginkan selalu diusahakannya. Tapi di sisi lain, beliau sangat keras. Tidak boleh ada kata tidak bisa yang terucap dari mulut saya. Waktu kecil bahkan saya pernah berpikir kok ada ayah yang sejahat ini,”ia tersenyum mengenangkan ketika suatu saat harus bisa mendapatkan 9 tiket pesawat pada saat peak season. “Waktu itu sepertinya tidak mungkin. Saya hampir menangis. Setiap hari harus mencari dan antri ke berbagai agen penerbangan. Tapi ternyata saya bisa juga dapatkan.”
“Untunglah ada Ibu yang sudah seperti kawan buat saya, atau sebaliknya. Tentu beliau banyak masalah keluarga, sementara Ibu tidak serta merta bisa mengontak ayah kalau sedang di laut. Biasanya kami berdua yang menyelesaikan permasalahan tersebut,” ungkapnya. Situasi itu yang membuat ia terbiasa mendengarkan – suatu hal yang sepele namun agak langka di masa kini. “Saya juga terbiasa ikut memberi saran,”katanya. Dengan kondisi seperti itu, ia dipaksa untuk dewasa dengan cepat. Kadang, ia juga harus menekan banyak keinginannya.
Dulu ia ingin menjadi dokter, sebuah profesi mapan yang diharapkan bisa kelak membantu keluarganya. Tapi ia memilih mengalah untuk kelangsungan pendidikan kedelapan adik-adiknya. Maka Fakultas Ekonomi jurusan akuntansi di Universitas Trisakti pun diambil olehnya. “Cita-cita saya waktu itu ingin bekerja di sebuah perusahaan akuntan publik,” ujarnya. Sayang, harapan ini dipatahkan oleh sang ayah yang memintanya untuk melamar pekerjaan di Pelni, ketika ia masih duduk di bangku kuliah. “Saya bilang saya sudah akan diterima di sebuah perusahaan akuntan publik, tapi ayah mendesak saya masuk ke Pelni karena dianggap bagus prospeknya.”
Demikianlah awal kariernya dimulai di Pelni pada tahun 1981. Ia menjadi karyawan di Divisi Keagenan yang mengurusi kebutuhan kapal-kapal asing yang akan memasuki wilayah perairan Indonesia. Pekerjaan ini memberikannya kesempatan bagus karena ia harus memahami seluruh kegiatan pelayaran. Suasana kerja sangat disiplin, memiliki kemampuan berbahasa asing karena berhubungan dengan pihak-pihak luar (bayangkan kondisi ini di tahun 1980-an), bernegosiasi dengan berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta, membuat kemampuannya terus berkembang.
“Saya melihat perempuan amat sulit berkembang di sini pada masa itu. Mungkin karena mitos pelaut lelaki. Saya lalu menjadikan hal ini sebagai motivasi bekerja. Saya harus lebih baik dari mereka, baik dari sisi pendidikan maupun manajerial, meski untuk itu saya bersedia lebih lama bekerja di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan,” lanjutnya. Ketika bekerja di keagenan inilah ia merasakan didikan ayahnya agar pantang menyerah sangat berguna. “Kadang teman-teman saya pasrah dengan kondisi bagaimana sulitnya mendapat surat ijin dari pemerintah. Tapi saya, bila perlu “nongkrongi” pejabat tersebut sampai dia mengeluarkan ijin,” Ia tertawa lalu menceritakan berbagai pengalamannya saat door to door ke Amerika yang merupakan belantara buatnya untuk menggandeng klien baru.
“Saya all out dalam bekerja. Prinsipnya terima pekerjaannya, jangan hanya jabatannya,” lanjutnya. Ia tidak pernah merasa takut terhadap apapun bila memang hal itu sudah menjadi risiko pekerjaan. Pengalaman berkesan terjadi ketika ia menjabat sebagai Kepala Bagian Kapal Wisata. “Ada kapal masuk Gunung Sitoli, mereka minta ada orang Pelni menjemput. Sebelumnya ada tim checking yang terbawa ombak hingga ke Afrika. Karena tak ada kapal boat besar, saya naik perahu kayu. Saat itu ayah datang ke kantor dan marah-marah ketika mengetahui saya pergi. Beliau bilang, ‘memang tidak ada lelaki di kantor ini?’ ha ha ha,” peristiwa itu hanya sebagian kecil jika dibandingkan dengan kepergiannya ke Ambon pada masa kerusuhan dan mengurus salah satu kapal yang dibajak di Philipina. “Saya sampai nggak jujur bilang ke mana sama keluarga. Karena mereka pasti khawatir akan keselamatan saya. Saya pun sebenarnya takut, tapi saya jalanin saja. Pasrah.”
“Kalau pekerjaan kita buat seperti hobi, kita akan enjoy dalam melakukan pekerjaan. Dulu saya pikir puncak karier saya terjadi ketika menjadi kepala divisi keagenan, tak tahunya Tuhan bicara lain,” Jussabella diangkat menjadi Dirut pada Februari 2009 setelah menjalani fit and proper test. “Lagi-lagi kemampuan bahasa Inggris menyelamatkan saya,” katanya. Sepanjang bekerja, ia terus mengasah kemampuan dengan melanjutkan pendidikan master di bidang Pemasaran Universitas Trisakti di luar jam kerja. Ia juga dikirim ke Korea, Amerika Serikat, Inggris, untuk mengikuti berbagai pelatihan pelayaran.
Kini, tujuan terbesarnya adalah membawa Pelni keluar dari kerugian. “Memang berat. Saya berpikir apakah mungkin dengan segala kondisi ini. Tapi manusia tak boleh menyerah,” ujar Jussabella yang pernah didemo ketika baru satu minggu menjabat. Kala itu, ia malah menemui para pendemo. “Bagaimana kalian melakukan demontrasi sementara saya belum bekerja. Tapi saya tahu kejadian ini terjadi karena ada kegagalan komunikasi. Saya mencoba menjembatani,” ia berkata. “Menurut saya, kendala terberat bukan soal pekerjaan. Kini, kita bekerja seperti di dalam kaca sehingga semua orang bisa melihat. Transparan. Padahal kadang ada juga rahasia perusahaan. Akhirnya kebebasan berbicara membuat berita tidak benar menjadi bahan publikasi. Hal ini sering menghabiskan energi.”
Sepanjang karier ia habiskan di Pelni. Tak pernah terbersit sekalipun untuk pindah ke tempat lain. “Sihir layar karena suasananya menarik. Setiap hari masalahnya selalu berbeda. Akhirnya saya tak ingin pindah ke bidang lain karena semua kebutuhan karier saya terpenuhi. Saya merasa sudah on the track,” apa yang dicapai Jussabella selalu menapak dari satu posisi ke posisi lain yang lebih tinggi secara teratur. “Seandainya nanti saya tidak lagi di dunia pelayaran, saya ingin tetap jadi dosen. Saya suka belajar dan mempelajari sesuatu yang baru.” Di luar jam kerja, ia adalah seorang pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti.
Dengan segenap kesibukan selama ini ia tentu membutuhkan sosok lelaki yang mengerti keinginannya. “Saya memang tidak ingin bersuamikan pelaut karena belajar dari pengalaman Ibu. Saya hanya berharap bahwa dia adalah pria yang baik, bisa menerima keluarga saya yang begitu besar, dan dia harus terbiasa hidup dengan keluarga besar. Saya percaya bila dia benar mencintai kita, maka dia akan membahagiakan kita. Ini prinsip saya,” ia pun telah mendapatkan segalanya dari seorang pria yang namanya minta dirahasiakan. “Tolong tuliskan nama anak saya ya…,”pintanya, sambil menuliskan dua nama: dr. Cut Indira Malahayati dan Teuku Muhammad Iqbal. “Anak saya yang pertama seorang dokter, tapi ia sudah almarhum baru-baru ini karena kecelakaan,”suaranya menggantung.
“Saya kadang berpikir mengapa Tuhan begitu baik pada saya sehingga kehidupan saya tak pernah disusah-susahkan. Apakah nantinya akan ada sesuatu yang membuat saya susah? Kondisi ini rasanya masih menjadi misteri dalam hidup saya hingga kini,” sebuah pernyataan yang seolah mengaitkan dengan kisah putri kesayangannya itu. “Saya mendidik anak-anak selalu dibantu oleh Ibu.Ketika saya tugas atau pendidikan di luar daerah atau di luar negeri, anak-anak dirawat oleh ibu. Saya pikir semua keberhasilan ini ada peran ibu di dalamnya.” Ia lalu terdiam. “Ibu, ternyata selalu menjadi orang yang selalu ada ketika saya butuh. Saya selalu berdoa, semoga saya bisa menjadi ibu seperti itu untuk anak-anak saya.” Kalimat pamungkas ini sepertinya menjadi jawaban pasti mengapa ia berhasil mengelola Pelni menjadi lebih bersinar seperti sekarang. (Rustika Herlambang)
Busana: Oscar Lawalata Stylist: Karin Wijaya Lokasi: Kantor Pelni
“Saya selalu all out dalam bekerja. Saya selalu mengerjakan sesuatu dengan baik dan tuntas karena saya percaya kelak pasti ada hadiahnya. Entah untuk saya, maupun anak-anak saya.”
sumber http://rustikaherlambang.wordpress.com