Laksamana Sukardi Manajer Profesional yang Jadi Politisi
Seorang insinyur sipil yang menjadi banker. Dan, saat karirnya sebagai banker begitu cemerlang -- mendapat penghargaan sebagai Banker of the Year dari Majalah SWA (1993) – dia malah beralih menjadi politisi di PDI pimpinan Megawati yang ketika itu masih berada di bawah tekanan pemerintah orde baru. Banyak orang menganggapnya keliru.
Ternyata enam tahun berikutnya, pilihan ini telah mengantarnya menjabat Menteri Negara BUMN pada pemerintahan Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Ia pun berupaya melakukan privatisasi beberapa BUMN. Sehingga ia banyak mendapat kritik, salah satu dari Amien Rais. Ia pun diadukan anggota Fraksi Reformasi ke polisi. Sebaliknya, ia melayangkan somasi ke Amien Rais.
Saat menjabat Menteri Negara BUMN, Laksama Sukardi, yang biasa dipanggil Laks, menghadapi berbagai tantangan, di antaranya tentang tuduhan KKN. Presiden Abdurrahman Wahid tiba-tiba memberhentikannya sebagai Meneg BUMN (Rabu 26/4/2000) dengan tuduhan KKN dalam pengangkatan deputinya serta pengangkatan komisaris dan direksi BUMN. Dia diberhentikan bersama Menperindag Jusuf Kalla. Pemberhentian ini sama sekali tidak pernah dibicarakan dengan Megawati Soekarnoputri selaku Wakil Presiden saat itu.
Laksamana mengadakan konperensi pers membantah tuduhan KKN terhadap dirinya. Megawati pun -- yang tampaknya merasa dilecehkan Gus Dur -- sejak saat itu, mulai mengambil sikap tidak sejalan dengan Gus Dur. Seiring dengan itu, PDIP juga mengadakan perlawanan terhadap kebijakan Gus Dur yang memecat Laksamana secara sewenang-wenang dengan tuduhan KKN yang tidak berdasar.
Kemudian, Gus Dur jatuh dari singgasana presiden, digantikan oleh Megawati Soekarnoputri dalam Sidang Istimewa MPR Juli 2001. Megawati mengangkat kembali Laksamana Sukardi sebagai Meneg BUMN dalam Kabinet Gotong Royong (2001-2004) dengan kewenangan yang lebih luas.
Tak lama kemudian, Laksamana Sukardi diterpa tuduhan KKN, saat abang kandungnya, Samudra Sukardi dijagokan sebagai kandidat Dirut Garuda Indonesia. Padahal Samudra adalah seorang manajer profesional yang sudah lama mengabdi di Garuda Indonesia. Laksamana dihadapkan pilihan yang sulit. Akhirnya dia mengorbankan karir abang kandungnya itu, untuk menghindari tuduhan terjadinya KKN.
Saat baru diangkat kembali menjabat Meneg BUMN, Laksamana mengatakan untuk memanfaatkan BUMN diperlukan waktu. "Buahnya baru bisa dipetik dua tahun. Privatisasi BUMN yang dilakukan bukan untuk menutup defisit anggaran saja. Akan tetapi, juga sekaligus untuk meningkatkan manfaat BUMN, yaitu pendapatan bagi negara dan manajemennya. Kita menginginkan ditingkatkannya profesionalisme. Selain dapat meningkatkan capital in flow, juga harus meningkatkan transparansi.”
Selama dua tahun ini, kata Laksamana, kepercayaan pasar terhadap Indonesia sampai ke titik nadir. Jadi, meskipun BUMN-nya bagus, namun tidak ada yang mau membeli. Jadi, ini sangat ironis. Ibaratnya kita menjual barang bagus, namun tidak bakal laku. Kita jual diamond di hutan belantara. Siapa yang mau beli diamond di situ. Dengan susunan kabinet, mudah-mudahan sentimen pasar itu mulai pulih kembali sehingga asas manfaat itu bisa dikedepankan.
Siapa Laksamana yang kini menjadi pengendali BUMN itu? Dia putera Gandi Samudra, seorang wartawan Antara. Tumbuh dewasa tanpa ibu di sampingnya. Sebab Sang Ibu sudah terlebih dahulu dipanggil Sang Maha Pencipta. Ketika itu, Laks pun sempat terguncang. Aktivitas membacanya turun drastis. Namun dia masih bisa menyelesaikan SMA-nya dan masuk Teknik Sipil ITB, di Bandung.
Lulus dari ITB pada tahun 1979, ia bergerilya mencari kerja. Harapannya bahwa insinyur teknik sipil selalu dibutuhkan, ternyata tidak tepat. Lamarannya ke beberapa perusahaan tidak mendapat jawaban. Itu sebabnya ia tak menyia-nyiakan tawaran mengikuti program training dari Citibank. Ternyata ia juga ditawari mengikuti program lanjutan, Executive Development Program, yang dirampungkannya pada tahun 1981. Sejak itu, Laksamana resmi menjadi bankir muda pada Citibank.
Pada usia yang sangat muda dan baru menginjak 29 tahun, Laks dipercaya menduduki jabatan Vice President Bidang Operasional Citibank. Tapi, tiga tahun kemudian, akhir 1987, ia memilih mundur. Laks tidak puas dengan prestasi kerjanya. Di samping itu, ia memang ditawari Mochtar Riyadi, waktu itu pemilik Bank Umum Asia. Maka Laks pun ikut membidani lahirnya Lippobank. Ia ikut mempersiapkan merger Bank Umum Asia dengan Bank Perniagaan Indonesia menjadi Lippobank. Kemudian, Laks dipercaya menjadi Managing Director bank baru tersebut.
Tapi, beberapa tahun kemudian, persisinya Mei 1993, tak lama setelah Laks mendapat penghargaan sebagai Banker of the Year dari Majalah SWA, ia mundur dari Lippobank. Banyak orang heran, sebab prestasi Laks jelas, misalnya, mengantarkan Bank Lippo listing di pasar modal.
Agaknya bapak tiga anak ini ingin mandiri. Setahun kemudian ia mendirikan sebuah perusahaan konsultan, Reform, bergerak di bidang perbankan dan keuangan. Di Lembaga Konsultan Reform itu ia menjadi Chief Executive Officer. Selain itu, bersama rekan-rekannya sesama ekonom, Rizal Ramli dan Arief Arryman, Laks turut menyumbangkan pemikiran kritis tentang persoalan-persoalan ekonomi di Econit, sebuah lembaga independen yang menganalisa ekonomi, industri, perbankan, dan keuangan.
Pada tahun 1993 ia bergabung dengan PDI sebagai bendahara umum. "Yang namanya demokrasi harus ada perimbangan kekuatan. Dan untuk itulah saya memilih PDI karena ingin membesarkannya," ujar suami Rethy Aleksanadra Wulur ini. Ia menjadi anggota DPR periode 1999-2004, mewakili PDI-P untuk daerah pemilihan Jawa Barat. Pilihan masuk partai politik ini telah mengantarkannya menjabat Menteri Negara Investasi dan Pembinaan BUMN pada Kabinet Persatuan dan Kebinet Gotong Royong.
Laksamana Sukardi
Seolah Saya Ini Orang Paling Jahat
Menteri anggota kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri yang paling banyak dipergunjingkan adalah Laksamana Sukardi. Di "tangan" menteri ini terdapat 160 badan usaha milik negara dengan ekuitas (2003) senilai Rp 270 triliun. Reformasi BUMN yang dijalankannya menuai kontroversi, nyaris tiada henti dengan bumbu cerita yang kurang sedap. Berikut wawancara Kompas dengan Laksamana beberapa waktu lalu.
Bagaimana menanggapi omongan miring itu?
Kalau semua pengamat melihat secara akademis dan independen, mungkin itu tidak terjadi. Saya lihat hikmahnya. Sebelum bergerak, orang ribut, ya peringatan dan kita jadi hati- hati. Masalahnya, banyak orang yang hanya melihat satu cukilan. Ibarat menonton film, kalau lihat satu adegan saja lalu mengambil kesimpulan, kan beda kalau lihat dari awal sampai akhir.
Katanya, BUMN tidak ada kemajuan?
Mereka punya haklah untuk lihat seperti itu, tetapi saya juga punya hak untuk menjelaskan apa yang sebenarnya menurut visi kami. Hasilnya, BUMN mulai efisiensi, pajak, dividen, privatisasi, pengembalian Rekening Dana Investasi meningkat. Kontribusi kita ke APBN lebih dari Rp 50 triliun tahun lalu. Privatisasi cuma sekitar Rp 7 triliun. Itu lho, jangan gedebuk-gedebuk.
Mengapa reformasi BUMN identik dengan jual?
Bayangkan kalau Anda pemerintah dan harus membiayai anggaran dengan utang begitu besar, dari mana, pinjam uang lagi? Tidak mungkin, akhirnya divestasi aset. Perusahaan bangkrut tidak apa-apa asal jangan bank. Makanya divestasi bank itu diutamakan, kita putuskan institusi kuat yang harus masuk menjadi pemegang saham. Modal dan risiko mereka tanggung, pemerintah pajakin saja. Mereka bawa kultur manajemen yang baik. Supaya mereka masuk, strategic sale (jual gelondongan) dulu. Membangun pasar modal kan begitu. Pasarnya dulu yang dibangun, bukan modalnya di dalam negeri. Itu yang namanya strategis. Pasar modal mulai bangkit, baru kita public offering (tawarkan ke publik).
Ada desakan tunda sementara divestasi?
Yang penting alasannya dulu. Bersikap sih semua bisa. Pertanyaannya, apakah kita mau cepat menyelesaikan, membasmi four in one (pemerintah sebagai pemilik, pengelola, pengawas dan regulator bank dan BUMN) yang merusak kita dulu? Apalagi kan multipartai gawat lagi. Direksinya nyantol lagi ke partai-partai. Itu akan membuat BUMN menjadi breeding ground korupsi lagi seperti dulu. Yang kritik itu tidak konsisten. Di satu pihak dibilang BUMN kita sakit, gawat, busuk. Di pihak lain kami mau beresin, eh disuruh tunda. Mereka suka bilang jual-jual negara. Memang lebih mudah memprovokasi rakyat yang kurang mengerti ketimbang mendidik dan menjelaskannya.
Upaya mempercepat privatisasi tahun ini memunculkan kecurigaan demi komisi untuk partai Anda?
Ini kan mau pemilu, APBN harus dibuat. Kalau pemerintah baru nanti masuk Oktober, mana sempat ngurusin. Masalah ketepatan waktu (timing) juga kan tergantung pasar. Saya juga fleksibel, yang namanya timing kan bukan berarti mumpung kita masih berkuasa. Tetapi saya punya kesimpulan. Ada dua kategori orang vokal, ribut terus. Ada orang yang memang percaya terhadap idealismenya dan berani mati memperjuangkan idealismenya. Kedua, yang tidak kebagian dan belum kebagian. Mayoritas yang kedua, Pak…!
Restrukturisasi yang membuat BUMN untung tak terdengar....
Saya kasih contoh. Bank Mandiri rencananya sudah tiga tahun. Penasihat keuangan kita bilang jual sahamnya pada harga 0,6 nilai buku. Saya bilang, aduh, enggak deh, bisa digorok kepala saya. Kita perbaiki kondisi keuangannya, setahun baru masuk bursa.
Indosat dan Satelindo itu kita restrukturisasi, tidak sembarang jual. Indosat yang bisnisnya IDD itu, orang semua ribut ketika saya bilang kedaluwarsa. Setelah itu lihat Satelindo. Potensinya besar, tetapi karena persyaratan kreditor tidak bisa berkembang, makanya utangnya kita restrukturisasi. Sahamnya yang dimiliki perusahaan lain, yang dulu beli 650 juta dollar AS, kita beli 200 juta dollar AS lebih sehingga kita miliki semua. Satelindo ditaruh di bawah Indosat. Di DPR saya dibilang menterinya bego karena yang dijual induknya, katanya. Saya bilang, kalau Satelindo-nya dijual, induknya mati karena bisnisnya kedaluwarsa. Saya ketawa saja, kadang-kadang ada gap, kesenjangan.
Mengapa menjelang pemilu, gencar ganti pengurus BUMN?
Tidak ada niat khusus. Ada yang sudah waktunya, ada yang bermasalah, tidak bisa kita buka di luar. Tapi memang kelemahannya karena dianggap strategis untuk menempatkan orang. Koinsiden dengan pemilu. Ada yang bilang yang diangkat teman-teman Pak Laks sendiri. Emang saya mau angkat musuh saya? Teman juga yang profesional. Kalau bego tidak diangkat.
Anda dinilai memanfaatkan betul BUMN untuk kepentingan PDI-P?
Manajemen BUMN harus nonpartisan. Tidak boleh ada bantuan kepada partai. Kalau dicek, mungkin justru partai lain yang merongrong BUMN. Terlalu kasatmata kalau saya melakukan itu. Kalau saya punya niat seperti itu, enggak mau saya privatisasi. Itu kan kekuasaan saya untuk memanggil, meminta segala macam tanpa ada kontrol. Sekarang saya privatisasi, buat transparan supaya tidak terjadi seperti dulu lagi. Logikanya jangan dibalik-balik dong!
Orang PDI-P sendiri tak kurang tajam mengkritik?
Itulah, wawasan! Seolah-olah saya ini manusia paling jahat di republik ini. Tidak apa-apa, ada hikmah tersembunyi, sebelum saya bergerak orang sudah ribut, saya juga lihat langkah saya ini, benar enggak?
Yakin langkah Anda benar?
Katakan benar! Karena sebelum mengambil keputusan, kita godok dulu, enggak asal jalan. Semuanya kan ada aturannya. Dulu mereka bilang jangan privatisasi sebelum ada UU, sekarang ada UU, toh masih ribut lagi. Sekarang, enggak gampang jadi menteri dibanding zamannya Pak Harto.
Kapok jadi menteri?
Pengalaman paling berharga selama dua tahun ini memberesi ekonomi, BUMN, BPPN, capek sih capek, tapi namanya kerjaan itu amanah. Bukannya tanpa kelemahan, ada juga. Saya kan bukan superman. (dis, Kompas 15 Maret 2004)
Nama : Laksamana Sukardi
Lahir : Jakarta,1 Oktober 1956
Agama : Islam
Isteri: Rethy Aleksanadra Wulur
Anak : Noorani Handra, Indraprajna Wardhani, dan Galuh Swarna
Pendidikan :
- Fakultas Teknik, Institut Teknologi Bandung (1979); - EDP Citibank di Athena, Yunani (1981)
Karier :
- Citibank (1981- 1987); Assistant Manager Bagian Audit (1981), Vice President Bidang Operasional (1985-1987); Direktur Bank Umum Asia (1987); Wakil Managing Director Lippobank, Mengepalai Bidang Consumer Banking Marketing, dan Promotion (1988); Managing Director Lippobank (1988-1993); Chief Erecutive Officer (I 994-1999) Menteri Negara Investasi dan Pemberdayaan BUMN Kabinet Persatuan & Kabinet Gotong Toyong (1999-2001 & 2001-2004)
Kegiatan lain:
Anggota MPR-RI dari Fraksi PDI (1992-1997);
Bendahara DPP PDI (1993)
Ketua Umum IA-ITB (2002-2007)
Alamat rumah: Jl. Birah IV No. 1, Blok S, Kebayoran Baru, Jakarta
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari Kompas, Tempo dan berbagai sumber)