Maria Ulfah Anshor - Pejuang Kesetaraan Jender
Ketua Umum PP Fatayat NU, organisasi perempuan di bawah Nahdlatul Ulama (NU), periode 2000-2005, dengan jumlah anggota empat juta, ini berjuang dalam perspektif keadilan dan kesetaraan jender. Perjuangannya penuh tantangan, yang membuatnya terkadang merasa frustrasi. Namun dia tetap kuat dan terus berjuang.
Dia merasakan tantangan paling berat pada akhir tahun 1997 ketika berupaya mencari sponsor untuk kegiatan memperkenalkan perspektif kesetaraan jender tetapi memakai frame NU. Pada suatu lokakarya, dia ditanyai oleh seorang kiai, apa maunya? Karena menurut kiai tersebut, teks keagamaan sudah menghargai perempuan.
Lalu dia menjelaskan soal implementasinya. Di lokakarya itu dia sampai disebut mengada-ada. Tetapi, ketika itu dia mendapat dukungan dari Masdar F Mas’udi dan Gus Dur sehingga diskusi bisa terus berjalan.
Upayanya membuahkan hasil. Musyawarah nasional (munas) ulama NU, November 1997 di Lombok, akhirnya memutuskan membolehkan perempuan berperan di ruang publik, yang diterjemahkan termasuk menjadi pemimpin negara. Kemudian, peluang untuk menggunakan perspektif jender itu diwujudkan menjadi visi dan misi Fatayat dalam kongresnya tahun 2000.
Namun, dia menjelaskan, hal itu bukan hasil kerjanya sendiri melainkan hasil kerja bersama teman-temannya di Fatayat, di antaranya Aisyah Hamid Baidlowi.
Setelah gagasan kesetaraan jender secara formal diterima, ternyata implementasi di lapangan tidak mudah. Dalam Muktamar NU di Kediri (1999), Fatayat ingin hasil penelitian mereka mengenai pemahaman nusyuz (penolakan istri untuk melayani suami) yang bias jender di masyarakat berperan dalam kekerasan dalam rumah tangga, masuk menjadi agenda bahsul masail (forum yang membicarakan masalah aktual), hanya boleh dipresentasikan saja di forum.
Pada munas di Pondok Gede, Jakarta Timur, 2002, Fatayat mencoba agar aborsi masuk ke dalam bahsul masail, ternyata ada penolakan kuat dari peserta. Begitu juga dalam Muktamar NU bulan Desember 2004, Fatayat ingin mendesak agar pemimpin NU lebih punya perspektif jender dan lebih berpihak pada permasalahan perempuan, juga menghadapi tantangan.
Akibat terlalu banyak menghadapi tantangan, Maria mengaku tidak jarang merasa frustrasi. "Sudah berbicara berbusa-busa, kok belum terasa banyak hasilnya," keluhnya.
Lahir di Indramayu pada tanggal 15 Oktober 1960, Maria dibesarkan di dalam keluarga yang membedakan dengan tegas peran ibu dan ayah.
Isteri dari Abdullah Ghalib dan ibu dari dua anak, Nida dan Syahid, ini setelah menikah, di rumah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga sendiri karena tidak punya pekerja rumah tangga. Ketika anak pertama lahir dan ibunya berkunjung, ibunya protes kepadanya karena suaminya mencuci pakaian sendiri.
Tapi dia sangat berterima kasih kepada ayah-ibunya yang mendidik dengan keras dalam hal pendidikan, namun membolehkannya memilih jalan hidup sendiri. Hal mana, Maria bisa aktif dalam kegiatan organisasi NU. Tahun 1989-1996 dia bergabung dengan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU di bagian dokumentasi dan informasi, lalu di kelompok asistensi teknis. ketika itu, dia lebih banyak melayani perempuan, dalam pemberdayaan ekonomi.
Pada tahun 1990 dia juga bergabung di litbang Fatayat. Kemudian dalam Kongres Fatayat tahun 1995, ia terpilih menjadi Ketua IV yang membidangi ekonomi dan litbang. Lima tahun berikutnya, dalam Kongres Fatayat tahun 2000, dia terpilih menjadi Ketua Umum Fatayat.
Seharusnya bulan Agustus lalu sudah kongres, tetapi karena ada pemilu kemudian diundur. Rencananya, kongres diadakan Februari 2005," tutur Maria.
Keinginan memperdalam masalah perempuan dengan perspektif jender, telah pula mendorongnya menyelesaikan S2 di Program Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Atas dedikasi tinggi dan aktivitasnya di Fatayat dan dalam penelitian, dia pun mendapat Anugerah Saparinah Sadli, yang diserahkan langsung oleh tokoh perempuan Prof Dr Saparinah Sadli bulan Agustus 2004. Maria orang pertama kali menerima anugerah tersebut atas penelitiannya berjudul Fiqih Aborsi Alternatif untuk Penguatan Hak-hak Reproduksi Perempuan.
Maria melihat, ke depan persoalan yang dihadapi terasa semakin menantang, antara lain karena munculnya usaha memformalkan syariat Islam di daerah-daerah yang cenderung kembali ke pandangan tekstual dan lebih menekankan kepatuhan fisik daripada melihat substansi di dalam teks keagamaan.
Menghadapi kecenderungan itu, Maria, yang kini juga dipercaya menjadi staf khusus (setingkat staf ahli) di Kantor Menko Kesra, melakukan sosialisasi di antara anggotanya mengenai nilai-nilai Islam yang menghargai keberagaman. Meskipun demikian, dia mengakui upaya itu baru bisa menjangkau separuh anggotanya.
Perihal perkawinan beda agama, Maria Ulfah mengakui, di kalangan Islam selama ini ada perbedaan tafsir soal boleh tidaknya pernikahan beda agama. Menurutnya, hal ini bagian yang sifatnya khilafiyah, bagian yang pemaknaan, sehingga orang menafsirkannya bermacam-macam. Karena ini bersifat khilafiyah, ini dikembalikan kepada yang bersangkutan, dia mau memilih yang mana. "Kalau risiko-risikonya ada menjadi konsekuensi dari pilihan," katanya sabaimana dikutip Rado Nederland hasil Laporan Tim Liputan 68H, Jakarta, 14 Oktober 2004. ►mlp
Nama:Dra. Maria Ulfah Anshor
Lahir:Indramayu, 15 Oktober 1960
Suami:Abdullah Ghalib
Anak:Nida dan Syahid
Pendidikan:Kuliah S2 Program Kajian Wanita, Pascasarjana Universitas Indonesia
Karier/Organisasi:
- 1989-1996 Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU
- 1990-1995 Litbang PP Fatayat NU
- 1995-2000, Ketua IV PP Fatayat NU membidangi ekonomi dan litbang
- 2000-2005 Ketua Umum PP Fatayat NU
Penghargaan:
Anugerah Saparinah Sadli 2004 atas penelitiannya berjudul Fiqih Aborsi Alternatif untuk Penguatan Hak-hak Reproduksi Perempuan.
Sumber:
Ninuk M Pambudy, Kerja Panjang untuk Perempuan, Kompas 12 November 2004
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)