Tahi Bonar Simatupang (1920-1990)
Sang Jenderal yang Berutang
Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI (1948-1949) dan Kepala Staf Angkatan Perang RI (1950-1954), ini pensiun dini dari dinas militer karena prinsip yang berbeda dengan Presiden Soekarno. Lalu orang yang selalu merasa berutang ini pun mengisi hari-harinya menjadi aktivis gereja. Sampai kemudian menjadi Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (1959-1984), Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia dan Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia
Yogya, 19 Desember 1948, dinihari. ''Saya tengah rebahan di dipan dan belum melepas pakaian, ketika menjelang matahari terbit itu terdengar suara pesawat berdesingan di udara,'' tutur Simatupang, yang di belakangan hari menjadi sesepuh Dewan Gereja Indonesia. ''Saya menoleh ke atas dari jendela, saya lihat pesawat terbang dengan tanda-tanda Belanda. Ngayogyakarta Hadiningrat, ibu kota Republik pujaan kita, telah diserang.''
Renungan Simatupang tentang serangan mendadak Belanda atas Yogya di pagi hari itu kemudian ia tuturkan kembali dalam bukunya, Laporan dari Banaran: ''Apakah pagi ini lonceng matinya Republik sedang dibunyikan? Atau apakah Republik kita akan lulus dalam ujian ini?'' Pada saat yang sama, pertanyaan- pertanyaan itu ia jawab sendiri: ''Itu bergantung pada diri kita sendiri, kita yang menyebut diri kaum Republiken. Hari ujian bagi kita telah tiba. Apakah kita loyang? Apakah kita emas?''
Pagi itu juga, tanpa mandi atau sekadar cuci muka, Simatupang -- yang beberapa hari sebelumnya sibuk sebagai penasihat militer delegasi RI dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville dan lantas aktif pula dalam perundingan lanjutannya di Kaliurang, 24 kilometer di utara Yogya -- dengan sigap menghubungi kawan-kawan seperjuangannya untuk menentukan langkah. Keadaan memang gawat. Yogya jatuh. Presiden, wakil presiden, dan para pemimpin lainnya telah ditawan Belanda. Seperti prajurit-prajurit yang lain, Simatupang kemudian bergerilya.
Selama beberapa minggu perang rakyat, sebelum keadaan teratur, Pak Sim -- panggilan akrab Simatupang -- sering diolok-olok sebagai ''diplomat kesasar''. Habis, selama itu ia hampir tidak lepas dari setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri. Bukannya apa-apa, ''Tapi pakaian itulah yang menempel di tubuh saya ketika berangkat bergerilya,'' katanya. Pakaian itu memang ''seragam'' Pak Sim yang khusus ia kenakan selama mengikuti perundingan dengan pihak Belanda, di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara.
Di masa Kemerdekaan ia sempat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang RI. Sebelum pensiun, 1959, pangkat terakhirnya letnan jenderal. ''Saya pensiun oleh karena tidak dapat lagi bekerja sama dengan Presiden Soekarno,'' tutur Pak Sim dalam bukunya, Iman Kristen dan Pancasila (BPK Gunung Mulai, 1984).
Pensiun ternyata bukan berarti istirahat baginya. Pak Sim aktif dalam lembaga pedidikan (sempat menjadi Ketua Yayasan dan Pembinaan Manajemen, misalnya) dan dalam organisasi keagamaan. Ia menjalani kehidupan reflektif di DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) -- sekarang PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia). ''. di DGI ., mungkin saya akan bisa memberikan sumbangan yang kecil dalam pengembangan landasan-landasan etik teologi bagi tanggung jawab Kristen di suatu masa .,'' kata Pak Sim.
Oleh Th. Sumartana, intelektual muda dari kalangan Kristen, Pak Sim disebut, ''Teoretikus oikumenis pertama yang lahir dari lingkungan gereja-gereja di Indonesia setelah Kemerdekaan.
Pak Sim lahir sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara, di tengah keluarga dengan tradisi Gereja Lutheran yang saleh dan tetap kuat memegang adat Batak. Ayahnya, Simon Mangaraja Soaduan Simatupang, terakhir bekerja sebagai pegawai PTT. Pak Sim betah berlama-lama membaca, atau menulis sesuatu, dan selalu tidak lepas dari kaca mata. Ia ayah empat orang anak, satu di antaranya telah meninggal. Istrinya, Sumarti Budiardjo, kebetulan adik kawan seperjuangannya, Ali Budiardjo. Pak Sim dan Bu Sumarti sudah mulai akrab sewaktu berlangsung Konperensi Meja Bundar.
Pak Sim masih setia melakukan lari pagi, dan selalu minum air putih sesudahnya. ► mlp
Tahi Bonar Simatupang (1920-1990)
Teguh pada Prinsip dan Iman
Pria kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920 ini adalah seorang perwira tinggi militer ahli strategi perang sekaligus diplomat ulung. Ia ‘dilahirkan’ sejarah menjadi perwira, awalnya hanya untuk mematahkan mitos yang ditebar gurunya ketika sedang menempuh studi setingkat SLTA di AMS, Jakarta. Sang guru, seorang keturunan Belanda selalu berkata kepada Simatupang dan siswa pribumi lain bahwa Indonesia tidak mungkin bersatu dan memiliki angkatan perang untuk merdeka.
Mitos dimunculkan sang guru dengan mengedepankan bukti keanekaragaman penduduk dan berhasilnya setiap perlawanan lokal ditumpas Belanda.
Peristiwa pendudukan Belanda oleh Jerman di tahun 1940 pada awal-awal Perang Dunia II akhirnya memaksa Belanda membuka kesempatan pendidikan Akademi Militer Kerajaan Belada di Hindia Belanda, sebagai kepanjangan KMA Breda berlokasi di Bandung, Jawa Barat. KMA Breda Bandung didirikan sebagai persiapan rencana pembebasan Negeri Kincir Angin itu dari Nazi Jerman kelak, dengan memberi kesempatan kepada penduduk pribumi menjadi perwira dengan sejumlah persyaratan masuk yang sudah diperingan tentang kesetiaan kepada Kerajaan Belanda.
Hari itu, 10 Mei 1940 Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenburg melalui pidato radio memberitahukan bahwa Jerman telah menyerang Negeri Belanda. Di akhir pidatonya ia menyerukan agar semua golongan di Hindia Belanda berdiri di belakang Pemerintah Belanda dalam keadaan yang sangat sulit secara bersatu dan setia.
Demikian pula pidato radio dari Panglima Eskader Angkatan Laut Belanda di Hindia Belanda, Laksamana Helfrich, yang menyerukan kepada para pendengar agar mempersiapkan diri mengambil bagian dalam upaya pembebasan Negeri Belanda di waktu yang akan datang. Dalam pidato Helfrich, yang tetap terpaku dalam ingatan Simatupang hingga akhir hayat, disebutkan, “Uw naam zal blijven voortleven onder de bevrijders van Nederland”. Yang artinya, “Nama Anda akan hidup terus di antara para pembebas Negeri Belanda.” Kalimat itu serta merta “diterjemahkan” Simatupang menjadi heroik berbunyi, “Nama Anda akan hidup terus di antara para PEMBEBAS INDONESIA”.
Catatan pidato radio kedua petinggi Pemerintahan Hindia Belanda itu dituangkan TB Simatupang dalam buku memoar pribadinya, “Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos: Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa dan Negara,” diterbitkan bersama oleh harian umum “Suara Pembaruan” dan Pustaka Sinar Harapan, di Jakarta, tahun 1991.
Setelah melewati berbagai tahapan seleksi ketat secara berjenjang selama berbulan-bulan Simatupang akhirnya diterima sebagai kadet taruna, bersama sedikit saja warga pribumi lain yang lulus untuk menggenap total 150 kadet taruna yang diterima LMA Bandung. Ratusan taruna lain adalah warga Belanda totok dan Belanda keturunan. Sesuai kebutuhan perang, semua perwira KMA Breda Bandung diproyeksikan siap dimobilisasi ke daratan Eropa. Karena itu latihan praktek-praktek kemiliteran sangat dominan diajarkan pada tahun-tahun pertama dan kedua, padahal Simatupang sudah sangat menunggu-nunggu tibanya pelajaran teoritis tentang strategi militer dan taktik perang.
Keahlian berpikir tentang strategi militer dan taktik perang lebih dibutuhkan Simatupang mengingat tujuan orisinilnya sesungguhnya adalah untuk membuktikan ketidakbenaran mitos ketidakmampuan Indonesia memerdekakan diri dan membangun angkatan perang yang tangguh.
Masuk Lembaga Gereja
Simatupang pada akhirnya bukan hanya berhasil mematahkan mitos sang penjajah. Bahkan, ia sendiri berkesempatan menduduki jabatan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), antara tahun 1950-1954, berpangkat Letnan Jenderal TNI dalam usia relatif masih sangat muda, 30 tahun.
Sayangnya Simatupang harus pensiun dini pada usia 39 tahun dari dinas kemiliteran, di tahun 1959, dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI, menyandang jabatan terakhir Penasehat Militer Departemen Pertahanan (tahun 1954-1959). Alasannya karena sudah tidak dapat lagi bekerja sama dengan Presiden Soekarno. Hal itu diakui Simatupang sebagaimana tertuang dalam buku karangannya, “Iman Kristen dan Pancasila” terbitan BPK Gunung Mulia, tahun 1984.
Usai membuktikan keteguhan prinsipnya di bidang kemiliteran dengan cara mundur, Simatupang lantas menunjukkan keteguhan hati yang lain yakni kekuatan iman. Ia mengabdikan diri di lembaga Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI, sekarang PGI atau Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia). Di DGI penganut agama Kristen dengan tradisi Gereja Lutheran yang saleh sekaligus pemegang kuat adat Batak, ini mengimani mungkin akan bisa memberikan sumbangan yang kecil dalam pengembangan landasan-landasan etik teologi bagi tanggungjawab Kristen di suatu masa.
Keterlibatan Simatupang di lembaga dan organisasi gereja agaknya adalah jalan pilihan terbaik sekaligus kehendak Tuhan. Itu bukan pelarian dari seorang jenderal ahli strategi perang, yang walau menjabat sebagai penasehat menteri pertahanan namun nasehatnya tak pernah dimintakan. Simatupang yang memiliki kesempatan bermukim di tanah Batak hanya pada 17 tahun pertama usianya, dari 70 tahun masa kehidupannya sebelum meninggal dunia 1 Januari 1990 di Jakarta, telah merasakan dan menyaksikan sendiri betapa pekabaran injil yang terjadi di tanah Batak telah membawa banyak kemajuan. Khususnya pada era Dr. Ingwer Ludwig Nommensen seorang misionaris warga Jerman yang lalu dijuluki sebagai Rasul Bangsa Batak. Kemajuan yang dialami bangsa Batak terjadi terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
Simatupang menyebutkan, dua peristiwa penting Perang Paderi sebagai bentuk perlawanan Tuanku Imam Bonjol dari Padang melawan Belanda, serta wafatnya Raja Sisingamangaraja XII sebagai lambang penolakan bangsa Batak atas penjajahan Belanda, ia meninggal di Sionomhudon Dairi tahun 1907, telah membuka jalan bagi terbukanya sikap bangsa Batak menerima perubahan. Tuanku Imam Bonjol telah sempat menanamkan pengaruh agama Islam bagi sebagian bangsa Batak, itu adalah bukti awal bangsa Batak telah mau terbuka menerima perubahan dari kehidupan yang sebelumnya animisme atau memuja dewa. Sebab jauh sebelum itu telah datang pertamakali dua misionaris dari Amerika Serikat yakni Munson dan Lyman, yang sayang keduanya mengalami kehidupan martir mati terbunuh di Lobupining.
Sumatupang duduk di berbagai lembaga kekristenan antara lain sebagai Ketua DGI sepanjang tahun 1959-1984, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia, Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia (UKI), dan terakhir Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MP-PGI) sejak tahun 1984 hingga akhir hayat. Simatupang sempat pula menjadi Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM).
“Anak Siantar”
Tahi Bonar (TB) Simatupang adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Abang tertua bernama Sahala Hamonangan, lalu dia Tahi Bonar, adik Frieda Theodora, Pinta Pasu, Maruli Humala Diasi, Tapi Omas, Batara Ningrat, dan Riaraja. Ayahnya bernama Simon Mangaraja Soaduan Simatupang, bekerja sebagai pegawai PTT, itu meninggal dunia di Siantar Februari 1946. Sang ayah meninggal tanpa pernah bertemu kembali dengan TB Simatupang, yang meninggalkan kota Siantar sejak tahun 1937 dan menjadi perwira militer di Pulau Jawa. Ibunya boru Sibuea, setelah menjanda selama 40 tahun akhirnya pada Februari 1986 meninggal dunia dalam usia 94 di Jakarta tahun tatkala sedang mengunjungi sejumlah keturunan anak dan cucu.
Sesudah tahun 1946 begitu menjanda Sang Ibunda yang sesungguhnya adalah orang rumahan, itu terpaksa terjun berdagang antar kota Siantar-Medan demi membiayai sekolah anak-anak, terutama Sahala Hamonangan dan Tahi Bonar di Pulau Jawa. Perjuangan Sang Ibunda atau Inang yang tak kenal lelah dan pantang menyerah, itu selalu diingat TB Simatupang di setiap saat terlebih jika mendengar ungkapan inang-inang, sebuah stereotipe berkonotasi buruk yang dilekatkan kepada para ibu-ibu Batak yang berprofesi sebagai pedagang antar daerah. Simatupang sangat menghargai dan membanggakan perjuangan Ibunda, seorang ibu yang patuh kepada suami dan menomorsatukan kepentingan anak dalam segala hal.
Simatupang bersama keluarga ketika berusia enam tahun hijrah dari Sidikalang ke Siborong-borong. Mereka menaiki kapal motor “Maju” dari danau Silalahi menuju Balige, setelah sebelumnya melintasi sebuah terusan di dekat Pangururan yang digali Belanda untuk mempercepat perjalanan antara Silalahi dengan Balige. Pembuatan terusan telah menjadikan jazirah Samosir tampak menjadi semacam pulau dalam pulau. Dari Balige mereka melanjutkan perjalanan dengan mobil, yang harus diengkol oleh kenek untuk menghidupkan mesin motornya. Dan setiap kali mobil berhenti si kenek tadi segera berlari-lari mencari air untuk dituangkan ke karburator mendinginkan mesin. Mereka harus melewati jalanan terjal dengan banyak tikungan di atas lembah yang dalam di Sipintu-pintu.
Di Siborong-borong Simatupang dimasukkan di sekolah zending tiga tahun sambil menunggu ia dapat memegang telinga kiri dengan tangan kanan, dan sebaliknya sebelum ia akhirnya bisa diterima di HIS Pematang Siantar. Di sekolah zending itu Simatupang untuk pertamakali sekaligus untuk terakhir kali pernah bolos sebab terbawa oleh kawan-kawan. Keluarga Simatupang bermukim di Siborong-borong hanya sembilan bulan. Mereka lalu hijrah lagi ke Pematang Siantar, menempati sebuah rumah di Jalan Tarutung Nomor 1. Ia masuk pendidikan HIS di Pematang Siantar tahun 1927 hingga tamat 1934. Tujuh tahun tinggal di Siantar dirasakan Simatupang sebagai masa yang mempunyai pengaruh sangat besar atas perjalanan hidupnya selanjutnya. Ia bangga menganggap dan mengidentifikasi diri sebagai “Anak Siantar”.
Usai menyelesaikan pendidikan HIS Simatupang melanjutkan pendidikan MULO ke Tarutung, hingga tamat 1937. Dari Tarutung tahun 1937 kemudian hijrah ke Batavia (Jkarta), menyusul abangnya Sahala Hamonangan yang sudah berangkat dua tahun sebelumnya. Tahi Bonar memasuki pendidikan AMS Jakarta dan tamat tahun 1940. Ia kemudian memasuki pendidikan kemiliteran Koninklije Militaire Academie (KMA), di Bandung hingga tahun 1942. Simatupang pensiun dari dinas kemiliteran tahun 1959, lalu ia meraih gelar doktor kehormatan (honoris causa) dari Universitas Tulsa, AS, di tahun 1969.
Simatupang adalah ayah empat orang anak dari istrinya Sumiarti Budiardjo, adik kawan seperjuangan Ali Budiarjo yang pernah menjabat Menteri Penerangan. Simatupang dan Sumiarti mulai tampak bersahabat sangat akrab sewaktu berlangsung Konperensi Meja Bundar (KMB). Mereka menikah pada 12 Desember 1948, persis tujuh hari sebelum Agresi Militer II Belanda terjadi pada 19 Desember 1948 yang membuat Simatupang harus mengenakan ‘seragam’ tak resmi berupa setelan celana bahan warna abu-abu dan kemeja bermerek buatan luar negeri. Semasa hidup Simatupang betah berlama-lama membaca, atau menulis sesuatu, dan selalu tidak lepas dari kaca mata. Hingga sebelum ajal menjemput Simatupang tetap setia melakukan lari pagi dan sesudahnya selalu meminum air putih secukupnya.
“Diplomat Kesasar”
Tahi Bonar Simatupang, yang akrab dipanggil Pak Sim, suatu ketika sedang berada di Kota Perjuangan Jogyakarta pada pagi hari, 19 Desember 1948. Ia sedang dalam posisi rebahan di dipan belum sempat melepas pakaian. Menjelang matahari terbit terdengar suara pesawat Belanda berdesingan di udara. Setelah menoleh sebentar ke atas dari jendela, Simatupang lalu tersadar bahwa Ngayogyakarta Hadiningrat ibukota Republik pujaannya telah diserang.
Saat itu juga tanpa terlebih dahulu mandi atau sekadar cuci muka sekalipun, Simatupang yang beberapa hari sebelumnya sibuk sebagai penasihat militer delegasi RI dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville, diikuti lagi aktivitas perundingan lanjutannya di Kaliurang yang berjarak 24 kilometer ke utara Yogyayakarta, dengan sigap menghubungi kawan-kawan seperjuangan untuk menentukan langkah.
Gawatnya keadaan ditandai dengan kejatuhan kota Yogya ke tangan Belanda, ditawannya Presiden, Wakil Presiden, dan para pemimpin lainnya oleh Belanda. Usai mengetahui persis kegawatan situasi Simatupang bersama prajurit-prajurit lain melakukan taktik perang gerilya.
Namun selama beberapa minggu perang rakyat itu berlangsung, hingga sebelum keadaan kembali menjadi teratur, Simatupang selalu diolok-olok prajurit-prajurit lain disebut sebagai “diplomat kesasar”. Pasalnya, selama perang gerilya berlangsung Simatupang hampir tak pernah lepas dari ‘seragam’ tak resmi tadi, setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri.
Mengapa demikian karena hanya pakaian itulah yang menempel di tubuh Simatupang ketika pagi-pagi menjelang matahari terbit ia memutuskan berangkat bergerilya tanpa melepas pakaian, apalagi mandi, termasuk cuci muka sekalipun. ’Seragam’ tak resmi itulah serta merta menjadi pakaian kebesaran yang dikenakan secara khusus oleh Pak Sim selama melakukan perundingan dengan pihak Belanda, di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara.
Pemikir, tokoh militer, ahli strategi dan taktik perang, diplomat, dan aktivis berbagai lembaga gereja, ini oleh Th Sumartana seorang intelektual dari kalangan Kristen disebut pula sebagai seorang “Teoritikus oikumenis pertama yang lahir dari lingkungan gereja-gereja di Indonesia setelah kemerdekaan.” Bukti untuk itu adalah Simatupang rajin menuliskan hasil olah pikirannya tentang kemiliteran dan kehidupan keimanan kristiani.
Simatupang adalah penulis beberapa judul buku seperti, Soal-Soal Politik Militer di Indonesia (1956), Pengantar Ilmu Perang di Indonesia (1969), Laporan dari Banaran (diterbitkan Sinar Harapan, 1980), Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pancasila yang Membangun (Yayasan Idayu, 1980), Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai, Sinar Harapan (1981), Iman Kristen dan Pancasila (BPK Gunung Mulia, 19840, Harapan, Keprihatinan dan Tekad: Angkatan 45 Merampungkan Tugas -Sejarahnya (Inti Idayu Press, 1985), dan terakhir buku Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos: Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa, dan Negara, diterbitkan oleh harian umum “Suara Pembaruan” dan Pustaka Sinar Harapan.
Dalam bukunya “Laporan dari Banaran” Simatupang banyak bertutur tentang serangan mendadak Belanda atas Yogyakarta di pagi hari 18 Desenber 1948 itu. Dikisahkannya di situ, ia mempertanyakan apakah pagi itu lonceng matinya Republik sedang dibunyikan, ataukah Republik akan lulus dalam ujian. Pertanyaan retorika itu dijawabnya sendiri pada saat itu pula, bahwa itu bergantung kepada setiap orang yang menyebutkan diri sebagai kaum Republiken. Hari itu adalah hari ujian bagi kaum Republiken apakah mereka loyang atau emas.
Institut TB Simatupang
Letnan Jenderal TNI Tahi Bonar Simatupang selalu sangat concern dengan masa depan. Salah satu kata kunci bagi setiap orang yang pernah mengenal Simatupang adalah masa depan.
Kepeloporan Simatupang membangun masa depan oleh para ahli waris dan pemerhati perjuangan dari peraih penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana (dianugerahkan setelah wafat pada tanggal 9 November 1995) ini diabadikan dalam bentuk pendirian institut. Sejak 25 November 2003 dideklarasikan pendirian Perhimpunan Institut TB Simatupang. Deklarasi dibacakan sendiri oleh istri almarhum, Ny Sumarti Simatupang Budiarjo di Gedung PPM Kawasan Menteng, Jakarta. Tujuan utama Perhimpunan, yang menempatkan nama Anugerah Pakerti sebagai Ketua Dewan Penyantun, disebutkan Ny Sumarti adalah untuk bersama-sama dengan semua komponen bangsa membangun masa depan bersama masyarakat dan bangsa Indonesia.
Kehadiran Perhimpunan Institut TB Simatupang telah membuka wacana baru tentang perlunya terus digali ketokohan para tokoh-tokoh besar yang pernah dilahirkan bangsa Indonesia, di luar dua nama besar Sang Proklamator Bung Karno dan Bung Hatta. ► ht
Nama:
Tahi Bonar Simatupang
Lahir:
Sidikalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920
Meninggal:
Jakarta, 1 Januari 1990
Agama :
Kristen
Isteri:
Sumarti Simatupang Budiardjo
Pendidikan:
-HIS, Pematangsiantar (1934)
-MULO, Tarutung (1937)
-AMS, Jakarta (1940)
-Koninklije Militaire Academie (KMA), Bandung (1942)
-Universitas Tulsa, AS (Doctor Honoris Causa, 1969)
Karir :
-Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI (1948-1949)
-Kepala Staf Angkatan Perang RI (1950-1954)
-Penasihat Militer di Departemen Pertahanan (1954-1959)
-Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) (1959-1984)
-Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia
-Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia
-Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM)
-Ketua Yayasan UKI (Universitas Kristen Indonesia)
-Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MP-PGI) (1984-sekarang)
Karya :
Karya tulis penting:
Antara Lain: -Soal-soal Politik Militer di Indonesia, 1956
-Pengantar Ilmu Perang di Indonesia, 1969
-Laporan dari Banaran, Sinar Harapan, 1980
-Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pancasila yang Membangun, -Yayasan Idayu, 1980
-Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai, Sinar Harapan, 1981
-Iman Kristen dan Pancasila, BPK Gunung Mulia, 1984
-Harapan, Keprihatinan dan Tekad: Angkatan 45 Merampungkan Tugas -Sejarahnya, Inti Idayu Press, 1985
Penghargaan:
Bintang Mahaputera Adipradana (9 November 1995)
Alamat Rumah :
Jalan Diponegoro 55, Jakarta Pusat
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)