Halaman

Ghea Panggabean, Bintang pun Menari di atas Pelangi


Hati adalah mata air inspirasi yang terus meletupkan bara kreativitas pada dirinya

2010

Sejarah mode Indonesia mencatat kehadiran Ghea Panggabean tiga puluh tahun lalu. Kala masyarakat Indonesia tertarik pada hembusan angin Barat, perempuan indo yang baru saja menyelesaikan sekolah mode di London ini malah mengulik inspirasi dari tradisi Indonesia – sesuatu yang justru dianggap jadul dan tak menarik. Namun siapa sangka, gaya “bule”-nya itu justru mampu memberikan ruh pada kain tradisi yang hampir mati, menjadi karya-karya yang cantik, dinamis, sekaligus klasik.

Hingga kini, namanya terus berkibar secara konsisten dengan gaya etnik. Sekiranya ada hal yang berbeda saat ini, barangkali hanyalah gaya desain yang kian matang, sebagaimana diri dan kehidupannya.

***

Rotterdam 1955

“Dia gadis kecil yang menyenangkan,” Sutadi Sukarya mengenangkan masa-masa bahagia ketika berada di Rotterdam, sebuah kota ketika anak sulung yang dibanggakan itu lahir, dan diberi nama Siti Giskaeni. Menurut tradisi Belanda, putri pertama dinamakan sama dengan nama depan neneknya. Seharusnya, ia pun diperlakukan sama, dipanggil dengan nama Gea. Namun karena sang ibu memiliki 14 saudara, bisa dibayangkan betapa banyaknya nama tersebut. Maka menyisiplah huruf h di tengah-tengah nama Gea. “Supaya bisa membedakan dengan nama anak lainnya,” limapuluh lima tahun kemudian, Sutadi mengisahkan awal perjalanan kehidupan Ghea. Di ruang kerja milik sang anak, nada kebanggaan tersirat dalam kata-katanya.

“Kamu akan memahami Ghea bila mengerti sejarah hidupnya.” Sutadi mengambil sebuah buku dari rak yang terletak di ruangan itu. Judulnya Dari Desa Menjelajah Dunia, karangan Sutadi, yang masih terbungkus rapi dalam sebuah plastik. Halaman 32 diperlihatkan. Satu sub judul bercerita mengenainya.

Ghea lahir tahun 1955 di klinik “Carmenta”, Heemraad-singel, Rotterdam, justru menjelang saya menghadapi ujian akhir RBA (Rijksbelasting-academie) ….. Beberapa hal yang saya ingat betul mengenai Ghea. Waktu kecil ia senang sekali menyanyi, di rumah, dalam mobil, di mana saja. Kalau ia berada di dalam mobil, jendela harus selalu terbuka. Kepandaian bahasanya menonjol.

“Ia anak yang mudah berteman dan tak memiliki rasa takut. Kami sering terkaget-kaget oleh ulahnya yang memikat hati banyak orang. Karena Ghea, kami jadi mengenal Charlie Caplin,” ia menceritakan peristiwa yang terjadi pada tahun 1960 di Yogyakarta. Kala itu, Ghea kecil memikat hari Chaplin yang tengah hadir dalam acara pembukaan Sendratari Ramayana. Gadis cilik blasteran Sunda Belanda berwajah unik itu tak malu-malu, memperkenalkan diri, kendati dia tak pernah mengenal aktor film bisu ternama tersebut. Dan sepanjang pergelaran.. Ghea memilih dipangku Chaplin.

Jerman 1960-an

Masa kecil Ghea dilalui di berbagai negara. Ia mengikuti tugas sang ayah, seorang pegawai pajak yang diangkat hingga menjadi diplomat. Ia berkeliling dari Rotterdam, Yogyakarta, Jakarta, Bremen, Amsterdam, dan kembali ke Jakarta. Ayahnya seorang muslim, ibunya Kristen, keduanya saling menghormati. “Kami merayakan natal bersama, kami juga merayakan lebaran. Buat saya kecil, hal itu sangat normal dan biasa saja,” katanya. Muara dari kultur keberagaman ini, ia mudah beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang dimasuki, sekaligus bisa menghormati perbedaan.

Sang ayah yang banyak hidup prihatin di masa penjajahan Belanda dan Jepang menekankan padanya tentang arti pendidikan. Setiap liburan tiba, ia “dipaksa” untuk mengeksplorasi keragaman budaya yang ada di setiap negara yang dikunjunginya. “Dulu kadang merasa bosan, Bapak selalu saja bercerita tentang sejarah, seni, arsitektur. Kata Bapak, budaya adalah identitas bangsa yang harus dibanggakan, tidak boleh luntur oleh apapun,” katanya. Ia juga ditanamkan untuk terus membaca. “Buku adalah investasi terbaik yang kamu raih selain dari pendidikan,”ia mengutip pendapat ayahnya.

Salah satu hal yang terkenang dari masa kecilnya adalah soal kreativitas. Setiap ada keluarga yang berulang tahun, ia dibiasakan untuk membuat kartu ulang tahun sendiri diikuti dengan kata-kata yang indah. Soal ini ia belajar dari ayahnya yang pernah becita-cita menjadi penyair, yang gemar menuliskan kata-kata indah semacam puisi untuknya. “Saya tidak boleh membeli (kartu ucapan). Harus membuat sendiri. Mengarang kata-katanya sendiri. Kita dianjurkan untuk orisinil, makanya saya harus kreatif.”

Kreativitas ini dipadukan dengan kesukaannya menggambar – termasuk coret-coret di dinding. “Ibu saya masih menyimpan coretan-coretan saya di masa kecil. Waktu itu saya berpikir kelak akan menjadi seniman.” Ia memberikan senyuman.

Amsterdam 1969

Kota ini masih menyisakan kejayaan flower power dan paham hidup bohemian – yang dibawa oleh Yoko Ono dan John Lennon tahun 1964- ketika Ghea memasuki masa remajanya. Usianya yang masih labil dengan begitu cepat terkesima dengan gaya hidup yang menawarkan kebebasan berpenampilan ala India. Pergilah ia ke Sunday Market dan membeli vintage baju-baju militer, kalung-kalung India, beli tas-tas tentara yang kemudian dicoret-coret dengan pernyataan: love and peace.

“Sejak itu saya tak mau diatur. Saya memang ingin berontak. Ingin hippies. Ingin mix and match” katanya, menolak gaya pakaian yang diajarkan ibunya selama ini: paduan twinset dan rok kota-kotak ala anak sekolahan di Inggris dengan sepatu Lack. “Saya tahu ibu saya sedih sekali melihat penampilan baru saya. Tapi mau apa lagi, anak-anak remaja masa itu kalau tidak berdandan bohemian dianggap tidak ‘in’,”katanya. Ia lalu memanjangkan rambutnya. Berdandan layaknya Cher Bono dari kelompok musik suami-istri Sonny and Cher. Hobinya: mengumpulkan plaat The Beatles dan Led Zeppelin.

Pertemuan kultur di masa remajanya ini rupanya mengasah kreativitas dalam hal “creating a look”, alias menciptakan gaya dan penampilan. Bagaimana tidak, bila setiap hari ia harus menciptakan penampilan dari padu padan koleksi yang dimiliki menjadi satu penampilan baru yang berubah setiap kalinya – demi mengejar sesuatu yang hip di masa itu. Saat pulang ke Indonesia, ia meneruskan kegemarannya dengan membantu teman-teman sekolahnya di SMA Tarakanita Jakarta, menyiapkan kostum-kostum pentas. “Saya memang hobi mengatur orang,” ia tertawa, menyadari kelebihannya.

“Sejak itu, saya bercita-cita menjadi seorang desainer. Profesi ini bisa memadukan kesukaan menggambar dan busana.” Pada konteks tahun 1960-an, di mana infrastruktur mode belum terbentuk di Indonesia, pernyataan ini cukup langka. Masyarakat masih belum mengenal desainer – kecuali tukang jahit pakaian. Tapi Ghea kukuh dengan pendiriannya.

Jakarta 1970-an

Jalanan terasa berliku saat sang ayah berkeberatan memberinya ijin sekolah mode. Kondisi itu bisa dipahami mengingat profesi desainer belum ada pakemnya di masa itu. Sang ayah menginginkan puterinya harus menyelesaikan pendidikan formal sebelum ia mengikuti sekolah mode. Ghea setuju. Ia lantas mengambil pendidikan di Teknik Seni Rupa Trisakti, dibanding dengan jurusan Sastra Perancis di Universitas Indonesia. “Saya pikir, seni rupa dekat dengan dunia desain,”ia memberi alasan.

Sayang, bayangannya jauh dari kenyataan. Jurusan yang diambil Ghea ternyata mengajarkan menggambar teknis secara matematis. Ia tak sanggup, kendati sudah habis-habisan ingin menyelesaikan kuliah demi mengejar sekolah mode. Pada titik tertentu ia pasrah dan menghadap ayahnya. Tapi sang ayah tetap tegas dengan pendiriannya: harus menyelesaikan pendidikan formal dan mendapat pekerjaan. “Kamu seorang perempuan, harus bisa bekerja. Tidak boleh tergantung laki-laki atau suami. Kamu harus punya pegangan,” lagi-lagi ia mengutip pendapat sang ayah.

Ia menurut pada ayahnya. Ia lalu memilih kuliah Stamford Secretary and Management di Singapore hingga lulus. Setelah itu, ia bekerja sebagai sekretaris Prof. Dr. Priyatna Abdurrayid, SH, PhD, seorang ahli hukum aeronatika di Jakarta. Semua kerja keras ini dilakukannya benar-benar demi meyakinkan sang ayah. Namun, ia justru mendapat bonusnya. “Ternyata pendidikan ini sangat berguna untuk saya, baik untuk membuat surat untuk klien, presentasi, maupun dalam managemen,” katanya tersenyum.

Akhirnya cita-citanya terkabul. Ia melanjutkan pendidikan di Lucie Clayton College of Dress Making dan Chelsea Academy of Fashion, London, hingga lulus. Di sana, ia menikah dengan Doddy Sukasah, yang memberikannya dua putri kembar: Amanda dan Janna. Sayang pernikahan ini tandas 15 tahun kemudian.

1979

Enam bulan setelah kelahiran putri kembar, ia kembali ke Indonesia. “Waktu itu Ibu saya bilang, supaya saya istirahat dulu. Tapi saya tak bisa, saya harus bekerja sebelum hilang ilmu yang sudah saya pelajari tentang fashion. Akhirnya saya bekerja dengan satu mesin jahit,”katanya mengenang.

“Ada dua hal dalam pikiran saya. Pertama, saya seorang desainer Indonesia, harus mengangkat sesuatu dari Indonesia. Saya tak malu kendati tak banyak orang berpikiran seperti itu. Kedua, saya ingin karya saya tidak sekadar seni (art), tapi harus memenuhi unsur seni dan klasik. Seperti lukisan, meski sudah 10 tahun, ia masih bisa dinikmati,” ucapnya berapi-api, sebelum akhirnya menyadari bahwa infrastruktur mode belum ada di sini. Akibatnya, ia harus melakukan segala sesuatunya sendiri, tanpa sponsor.

Ia memilih kain Lurik Jawa sebagai lahan kreativitas pertamanya. Waktu itu, ia merasa belum punya modal, kecuali uang sebanyak Rp.500 ribu, yang didapat dari hasil pernikahannya. Lurik adalah bahan termurah. Dicobalah kain itu dengan gaya yang lebih progresif, tanpa berpikir apa-apa kecuali membuat sesuatu yang baru dengan “bekal” pendidikan yang diterima. Namun betapa girangnya ia ketika busana itu terjual dengan harga Rp.18 ribu rupiah untuk pertama kalinya!

Keberhasilan pertama memicu adrenalinnya. Sejak itu, ia terus menggali dan mengeksplorasi karya dari kain-kain tradisi dari berbagai tempat di Indonesia. Di antaranya: batik Lasem, Ulos Tapanuli, kain Aceh, motif Sumba, Gringsing Bali, Peranakan, Songket Limar, dan masih banyak lagi. “Walau saya suka etnik, penampilan tidak berarti harus kuno. Saya selalu menerjemahkan inspirasi yang sudah dari leluhur begitu cantiknya itu dalam sebuah lay out baru.”

Dalam perjalanan ini, banyak rintangan yang menghalangi. Salah satunya adalah memperjuangkan keyakinannya dalam mengolah inspirasi tradisi. Ia pernah mendapat banyak penentangan karena mencetak motif-motif tradisi – sesuatu perilaku yang dianggap mematikan kain tradisi itu sendiri. Tapi ia punya pendapat taktis. Ungkapnya,” Apakah saya harus menunggu berminggu-minggu untuk menunggu satu kain jadi? Lalu bagaimana saya harus mengisi satu toko dengan beberapa rak yang harus diisi? Tak apa saya bikin ready to wear untuk tradisi. Kadang kita harus berpikir secara industri.”

Hal lainnya yang pernah membuatnya kesal dalam dunia kreatif adalah pembajakan, yang bahkan dilakukan oleh orang yang berpendidikan. Karya yang dibuat dengan keringat dan kerja keras selama berbulan-bulan hingga akhirnya dianggap sukses, tiba-tiba saja ada di pasaran dengan harga sangat murah. Awalnya ia ingin marah, tapi akhirnya berusaha berpikir positif. “Bila sampai karya saya ditiru, ini artinya barang bagus. Saya percaya, orang juga ingin produk asli, sehingga pasar saya masih ada. Ini juga tantangan supaya kita berkarya lebih baik lagi. Saya yakin, hidup terus berjalan, kreativitas saya akan terus berkembang.”

“Fashion itu bukan saling mencontek, tapi saling memberikan inspirasi. Kita harus mengikuti tren, tapi harus ada unsur-unsur orisinil yang lahir dari karakter desainer tersebut,” ucapnya. “Kini, saya sangat bahagia masih tetap eksis di dunia mode. Etnik kini ada di mana-mana, dan ini bagus sekali. Semoga mode Indonesia lebih bisa go international,” harapnya.

***

Ia merasa bahwa separuh jiwanya adalah seorang seniman. Ia berkreasi didasarkan pada kata hati. Bila pada suatu malam ia terbangun, ini artinya inspirasi itu tiba, dan itulah saatnya “ia bekerja”.

“Saya mencintai sepenuh jiwa apa yang saya lakukan. Saya tak pernah merasa capai fisik walau tak tidur karena terlalu senang berkreasi. Bila ada ide datang mendadak, saya pasti tak bisa berhenti (bekerja),” kata Ghea yang sangat bergairah dalam bekerja. Ia menikmati dan resapi setiap “anak” yang dilahirkan. “Semakin usia bertambah, saya merasa semakin kreatif. Saya selalu merasa muda, bahkan tak pernah berpikir tentang jumlah usia. Mungkin karena saya punya kelemahan dalam soal angka!,” ia tertawa.

“Hidup kadang hitam kadang putih. Kadang pagi kadang petang. Saya percaya, habis kesedihan muncul kebahagiaan. Bila saya ingin sesuatu, dan sepertinya sulit, saya langsung lawan dan berusaha berpikir mengenai keseimbangan. Kalau lagi sedih, atau ada masalah, saya selalu menghibur diri. Inilah kehidupan, berfikir yang indah-indah saja,” ucapnya dewasa. “Saya menikmati kehidupan sepanjang 55 tahun ini. Saya rasa hidup saya seperti pelangi. Biar ada naik, ada turun, tapi selalu penuh warna,” ia mengingatkan pada tema 30 tahun berkarya: Pelangi Jumputan.

Hal yang acap membuatnya tertekan datang dari persoalan bisnis. Meski demikian, ia sudah punya strategi ampuh menanggulangi semua. Namanya terapi bersyukur, yakni menerima segala sesuatu dengan penuh rasa syukur. Ia percaya inilah jalan yang kudu ditempuh olehnya. “Saya menjaga keseimbangan hidup juga dengan menjaga badan. Body Language, minum Noni Juice, belajar Reiki, Meditasi, dan Yoga,”tuturnya. Selain itu, mendengarkan musik (sambil bergoyang-goyang mengikuti irama) adalah kegemaran yang membuatnya selalu merasa muda dan bahagia. Musiklah yang selalu menemaninya berkarya, khususnya musik-musik tahun 1970-an. “Kecuali untuk membuat baju muslim, saya mencari inspirasi dari lagu-lagu Arab.”

Bila dianggap sebagai kerikil atau kegagalan dalam kehidupan, ia hanya menuliskan satu hal: kegagalan pernikahannya dulu. Mungkin karena keduanya masih sangat muda, baik secara emosi maupun usia. Kini ia sudah menemukan pelabuhan hati: Baringin Panggabean. “Mungkin sudah jalan Tuhan. Saya melihat Baringin dewasa, pendiam, rendah hati, dan memiliki pengetahuan bisnis yang baik,” ungkap Ghea, yang kemudian melahirkan putra ketiganya, Igor Panggabean (11).

Jakarta 1990

Melihat sang ibu begitu sibuk luar biasa, si kembar pernah merasakan perasaan bahwa kelak mereka dewasa tak akan mengikuti jejak sang Ibu menjadi wanita karier. Saat kecil, mereka sering dititipkan pada neneknya. Ghea, melanglang ke berbagai negara untuk mempromosikan kreasinya. Meski tak pernah merasa kesepian, suatu kali mereka bertanya,“Mama, mengapa mama sibuk sekali? Kenapa Mama tidak seperti mama-mama temanku yang lain?” Kala itu, Ghea menjawab dengan penuh kasih sayang, “Karena mama ingin kamu bisa memiliki apa-apa yang juga dimiliki oleh anak lainnya.”

Ghea memang tidak hanya berjanji. Ia menepati. Hal inilah yang membuat kedua putri kembarnya merasakan bahwa ibunya selalu memperhatikan mereka. “Mama selalu punya cara untuk mewujudkan keinginan kami, Kolam renang, misalnya, mama buatkan dengan caranya sendiri. Atau ketika kami ingin ke Disneyland, kami benar-benar menikmati liburan bertiga dengan sangat menyenangkan,” Janna dan Manda, kini sesekali membantu sang ibu menjalankan bisnis, membagi pengalamannya. Wajah keduanya tampak begitu mirip dengan ibunya saat muda.

Salah satu pengalaman yang paling berkesan bagi putri kembarnya terjadi di Paris, tahun 2001. Ketika itu, aktor kesayangan kedua putrinya, Mark Wahlberg, berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Melihat raut muka kedua putrinya memerah karena kegirangan, Ghea mendatangi Mark, yang sedang dalam proses syuting film The Truth About Charlie. Ia memperkenalkan diri, lalu berkata, “Hi Mark, anak-anakku sangat mengagumimu. Maukah kamu bertemu dan berkenalan dengan mereka?”

Bagi Ghea, anak-anak adalah prioritas pertamanya. Mantan suami Ghea, Doddy, menyebut Ghea adalah ibu yang baik untuk anak-anaknya. Ia dianggap memiliki kepedulian yang lebih terhadap anak-anaknya. Upaya ini dilakukan Ghea, seperti yang dikatakannya, untuk menebus rasa bersalah.“Kadang-kadang saya diliputi rasa bersalah pada anak-anak. Saya jarang di rumah. Apalagi juga single parent. Jadi saya belajar dari orang tua saya. Mereka selalu ada ketika saya membutuhkannya.”

2010

Apa yang dilakukan Ghea, kelak ketika dewasa putri kembarnya berkata, bahwa ibunya adalah sosok yang berdaya.“Apabila dia punya keinginan, keinginan itu pasti akan terjadi. Selain itu, Mama selalu bekerja sepenuh hati. Tak pernah setengah-setengah. Show 4 baju dan 100 baju diperlakukan sama. Ia juga perfeksionis,” kata Janna.

Sifat perfeksionis ini kadang membuat Ghea terlihat emosional. “Ia spontan marah bila menghadapi masalah. Tapi keesokan harinya, ia sudah memaafkan, dan bahkan melupakan kesalahan tersebut. “Kemarahan” ini dilakukan karena ia ingin mendapatkan hasil terbaik dari setiap hal yang dilakukan. Ia juga mudah bangkit dari kesulitan atau masalah. Misalnya soal bajak membajak atau banyak persoalan. Mungkin hari ini sedih, marah, dan kecewa, esok harinya ia sudah seperti biasa lagi. Bahkan sudah tertawa-tawa dengan orang yang mengkhianatinya itu,”ujar keduanya bergantian. Mengenai hal ini, sahabatnya yang juga seorang desainer Chossy Latu, menyebutnya sebagai perempuan berhati besar.

“Mama juga punya “luck” yang besar,” Janna memberikan penegasan. “Misalnya ketika kami ikut show di Eropa, eh dia ketemu Prince Albert. Pernah dalam sebuah pesta, tiba-tiba ada kiriman Champagne. Tak tahunya dari Raja Arab! Sebuah toko perhiasan di Eropa yang sudah tutup, mama bisa meminta supaya dibuka supaya dia bisa melihat koleksinya. Ia selalu bisa lolos overweight pesawat. Ia pernah dijamu petinju Muhammad Ali pada tahun 1973 karena sarung tangan yang dilempar Ali jatuh di tangannya. Ketika Lady Diana datang tahun 1988, ia lah yang mendapat kesempatan duduk di dekatnya. Mama juga sering bisa masuk ke privat party,” Manda dan Janna bergantian.

***

Ghea hanya tersenyum mendengarkan “cerita” keberuntungan pada dirinya. Lalu menambahkan suatu cerita di tahun 1984. “Saya melewati lokasi pesta Orcars de Mode di Paris. Saya lihat yang datang keren-keren sekali, saya ingin masuk dalam pesta itu. Lalu saya pura-pura berdiri di sana, dan dianggap sebagai fashion editor. Kebetulan saya juga berpakaian rapi seusai pesta. Eh, tiba-tiba saya mendengar seseorang memanggil nama saya keras-keras. Ternyata di Janice Dickinson, yang kebetulan hadir sebagai bintang tamu. Akhirnya, saya ikut pesta di dalam dan berkenalan dengan tokoh-tokoh fashion dan Grace Jones.” Ia dekat dengan Janice karena pernah menjadi model tamu untuk kreasinya – saat itu disponsori oleh kawan kecilnya: Setiawan Djodi.

Apa yang ia katakan sesungguhnya adalah betapa keberuntungan itu hadir tidak tanpa upaya. Penampilan dan wawasannya yang luas adalah salah satu modal utamanya. Selain menguasai 5 bahasa secara aktif, yakni Belanda, Jerman, Inggris, Indonesia, dan Perancis, ia dikenal memiliki pendekatan persuasif yang baik. Tanpa kepandaian ini, tentu sebuah armada Eropa tidak akan memindahkan tiket kelas ekonomi ke kelas eksekutif dengan cuma-cuma, seperti pengalaman yang dirasakan oleh Chossy Latu bersama Ghea sepulang dari show di Kopenhagen. Atau sebuah gedung mau menyalakan lagi lampu-lampunya dan air mancurnya pada pukul 2 dini hari demi melayani keinginan Ghea berpose di depan gedung bersejarah di Stockholm itu.

“Mungkin tak banyak orang yang mengerti. Di balik seluruh keberuntungan yang selalu menaungi, ada kerja keras di sana. I really really really work hard, tidak pernah berhenti, berdedikasi, dan perfeksionis. Follow your heart, do the best.” Ia lalu diam, seolah merenungi setiap kata yang baru saja diucapkan.

Jarum jam menunjukkan waktu angka 10 malam. Ia sudah sendirian di butiknya. Kenangan cita-cita di masa kecil kembali menggenang: “Aku ingin menjadi bintang. Aku ingin menjadi orang terkenal.” Ghea tersenyum di keheningan. “Gadis cilik” itu kini sudah benar-benar menjadi bintang yang terang, dan selalu dikelilingi bintang-bintang. Di gelap malam, sinarnya memberi terang. (Rustika Herlambang)
sumber http://rustikaherlambang.wordpress.com