Halaman

Mohammad Noer (1918-2010)




Sang Pamong Abdi Rakyat




Gubernur Jawa Timur (1967-1976) H Raden Panji Mohammad Noer, seorang pamong abdi rakyat. Pencetus gagasan pembangunan Jembatan Suramadu (1950), itu, hingga usia 90-an tahun, tak pernah berhenti berpikir dan berkarya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, membuat wong cilik biso minggo kemuyu (orang kecil bisa sejahtera).


Pria kelahiran Sampang,13 Januari 1918, baru berhenti setelah Yang Maha Kuasa memanggilnya pulang (wafat) dalam usia 92 tahun di Surabaya, Jumat 16 April 2010, pukul 08.50 Wib. Dalam tujuh bulan terakhir sebelum wafat, tepatnya sejak 21 September 2009, mantan Duta Besar Repulik Indonesia untuk Perancis, itu telah dirawat di RS Darmo, Surabaya. Menurut puteranya Prof dr Sjaifuddin Noer, selama dirawat kondisi kesehatannya turun-naik dan dalam empat hari sebelum wafat kondisinya memburuk.


M Noer meninggalkan seorang istri (Mas Ayoe Sid Rachma), 8 anak (4 Pria & 4 Wanita) , 21 cucu, dan 6 cicit. Jenazah disemayamkan di rumah duka di rumah duka Jalan Anwari 11, Surabaya dan dikebumikan di pemakaman keluarga di Desa Somor Kompah, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Sabtu, 17 pril 2010, setelah dishalatkan di Masjid Al Falah Surabaya, Masjid Agung Bangkalan, dan Masjid Agung Sampang, sesuai wasiatnya.



Abdi Rakyat

Pada usia hampir 90-an tahun, M. Noer tak pernah berhenti berpikir dan berkarya. Tujuan utamanya meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pendidikan sumber daya manusia. Sebab, tujuan kemerdekaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, membuat wong cilik biso minggo kemuyu (orang kecil bisa sejahtera).

Bencana datang silih berganti. Rakyat menjerit lantaran tertindih kesulitan demi kesulitan ekonomi. Kenyataan pahit ini mengingatkan H. Muhammad Noer yang bergelar bangsawan Raden Panji pada kemiskinan masyarakat Madura tahun 1926. Kemarau panjang di P. Madura berlangsung setiap tahun dari Juli sampai Oktober, kekeringan yang menggoreskan paceklik berpuluh-puluh tahun.

Saat itu, M. Noer masih duduk di kelas III HIS, Sampang. Pria yang dilahirkan di Kampung Beler, Desa Rong Tengah, pinggiran kota Sampang, tanggal 13 Januari 1918 ini, dalam usia yang sangat belia (8 tahun), terpana melihat iring-iringan pria dan wanita berobor dengan beban berat di pundak dan punggung. Mereka berjalan kaki berkilo-kilometer, menembus gelap malam, menuju pantai selatan. Kenyataan yang terjadi berulang-ulang tersebut, baginya menjadi misteri selama lima tahun.

Pada suatu malam, rasa ingin tahu M. Nur kecil tak terbendung lagi. Dalam gelap malam, ia diam-diam menguntit iring-iringan yang berhenti di pelabuhan Sungai Sampang itu. Di bawah penerangan obor yang meliuk-liuk diterpa angin, mereka menaiki perahu berkelompok-kelompok. Kemudian iring-iringan perahu melempar sauh, mengembangkan layar. Perahu-perahu itu berlayar semakin jauh, sampai tak terlihat lagi. Ia memendam misteri itu sendirian, dan ingin menemukan sendiri jawabannya.

M. Noer menemukan jawabannya lima tahun kemudian, setelah ia berusia 13 tahun. “Deraan kemiskinan dan ancaman kelaparan setiap musim kemarau mendorong mereka mencari sesuap nasi di tanah seberang.” Eksodus masyarakat Madura saat itu: dari Sampang ke Probolinggo atau Pasuruan, dari Bangkalan ke Surabaya sampai Malang, dari Pamekasan ke Probolinggo, Jember dan Lumajang, dari Sumenep ke Situbondo, Panarukan dan Bondowoso, sedangkan yang ke Kalimantan dari Madura bagian Tengah.



Kenangan di masa kecil ini melekat erat dalam kehidupan M. Noer. Dari sini timbul obsesinya untuk memakmurkan Madura. Ia ingin mendalami bidang pertanian untuk memperbaiki nasib masyarakat Madura yang daerahnya gersang. (Mohammad Noer: Pamong Mengabdi Desa).

M. Noer putra ketujuh dari 12 anak pasangan Raden Aria Condropratikto dan Raden Ayu Siti Nursiah, dua-duanya keturunan bangsawan Madura. M. Noer menikahi Mas Ayu Siti Rachma, tahun 1941. Mereka dikaruniai empat putri dan empat putra. Putra Madura ini memulai karir pangreh prajanya tahun 1939, magang di Kantor Kabupaten Sumenep, begitu tamat dari MOSVIA Magelang. Sejak itu sampai menjadi gubernur, M. Noer mengabdikan dirinya sebagai pamong praja. Ia pernah menjadi anggota MPR dan DPA. Tahun 1976-1980, M. Noer mendapat tugas menjadi Duta Besar RI di Prancsis.

Hingga usia senja, M. Noer tak pernah berhenti berpikir dan berbuat untuk memakmurkan, tidak hanya masyarakat Madura, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. Sebab, tujuan kemerdekaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selaku Ketua Penguasa Daerah, M. Noer, dalam sebuah forum resmi di tahun 1970, dengan lantang mengatakan bahwa tujuan kemerdekaan: membuat wong cilik biso minggo kemuyu (orang kecil bisa sejahtera).

M. Noer, dari 1939 sampai 1980, menjadi abdi rakyat. Ia telah berkeliling dunia, kecuali Rusia dan Afrika Selatan, membandingkan negara-negara lain dengan Indonesia. Negara ini kaya dan besar. Di tanahnya, lautnya, semuanya ada. Tetapi, kenapa rakyatnya miskin? “Inilah yang betul-betul tidak kita pahami,” kata M. Noer di dalam sebuah pidato menyambut rombongan Al-Zaytun pimpinan Syaykh AS Panji Gumilang, di Surabaya, Sabtu (17/9/2005).


Pada kesempatan itu, Syaykh Panji Gumilang mengangkat M. Noer sebagai anggota Dewan Kurator Universitas Al-Zaytun yang diresmikan bulan Agustus, 2005. M. Noer juga menjadi anggota Dewan Kurator pelbagai perguruan tinggi di Surabaya, seperti Airlangga, ITS, Muhammadiyah, Bayangkara dan UBN. Padahal pendidikannya hanya setingkat SMA.

Meskipun melihat kenyataan yang sangat bertolak belakang, M. Noer tetap berdoa bagi keselamatan para pemimpin bangsa, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat dan ulama agar mereka terus berbuat untuk mensejahterakan rakyat. Inilah cita-citanya, mulai dari Kepala Desa di Sampang sampai menjadi Gubernur Jawa Timur dan Duta Besar RI di Prancis. Empat tahun bertugas di sana, ia berupaya keras meningkatkan hubungan Indonesia dan Perancis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

M. Noer bertekad untuk bisa mengamalkan ilmunya, bersyukur karena dikaruniai umur panjang dan kesehatan. "Sebab umur panjang, tapi tidak sehat tidak ada artinya. Yang penting umur panjang, sehat dan berguna. Untuk apa? Ya, untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara," kata M. Noer kepada TokohIndonesia.com.


Selalu Dekat Rakyat
Ketika menjabat Gubernur Jawa Timur (1967-1976), M. Noer selama 20 hari berada di desa-desa, hanya 10 hari dikantornya, untuk melihat keadaan rakyat. “Saya berorientasi ke desa karena saya abdi rakyat,” kata M. Noer kepada Berita Indonesia.

Ia selalu dekat dengan rakyat karena ingin tahu apa yang mereka rasakan, dan apa kekurangan, kebutuhan, keluhan dan keinginan mereka. Mungkin mereka masih ada yang buta huruf, tapi tidak buta hati. M. Noer sadar bahwa sebagai gubernur atau kepala daerah yang meniti karir sebagai pamong praja, tetap menjadi abdi rakyat.



Ia tidak bisa hanya memerintah dari kantornya, tetapi selama 20 hari berada di desa-desa, berkeliling dari satu ke lain kabupaten. “Saya perioritaskan desa-desa miskin,” kata M. Noer dalam percakapan dengan Wartawan TokohIndonesia.com di Surabaya, Sabtu (17/9/2005).

Apa yang ia lihat, dilaksanakan dengan mekanisme yang benar melalui cara-cara administrasi dan birokrasi. Ia memberitahu para pejabat di lingkungannya mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan.



Bilamana ada laporan, ia langsung melakukan cek dan ricek, apakah perintah atau petunjuknya, dilaksanakan atau tidak, oleh para pelaksana di bawah. M. Noer punya tim khusus yang akan melakukan pengecekan. Karena itu, ia menekankan sikap jujur kepada para bawahannya, tidak mengecoh dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Tanpa Perbedaan Desa-Kota
Ketika duduk di kursi gubernur, M. Noer melaksanakan tugas-tugasnya dengan jujur, sungguh-sungguh dan disiplin. Ia bahkan memperhatikan pagar rumah setiap warganya. Dengan demikian setiap orang tahu batas-batasnya. Kebijaksanaan membuat pagar rumah itu dilaksanakan dengan konsekuen. Warga yang tidak mampu dibantu. Kala itu, jika orang Jakarta datang ke Jawa Timur, sesudah memasuki Ngawi menemukan rumah berpagar, berarti ia sudah masuk Jatim.

Kata M. Noer, pembangunan mesti mencegah perbedaan antara desa dan kota. Masyarakat harus sama-sama diajak berpartispasi, baik di dalam membangun desa maupun kota. Jikaa ada SD sampai kelas empat tapi hanya punya ruangan tiga kelas, maka masyarakat harus diajak berpartisipasi untuk membangun kelas tambahan, bahkan untuk pengadaan guru.

M. Noer membanggakan provinsinya karena pertama kali mendapatkan penghargaan Prasamya Karya Nugraha. Daerah ini dinilai berhasil memajukan ekonomi, bukan semata-mata hasil prestasi sang gubernur, tetapi juga rakyatnya.



Ia membandingkan dengan keadaan semenjak reformasi 1998. Para pemimpin saling mengejek. Korupsi malah makin meluas. Kata M. Noer, di Surabaya ada 30 anggota DPRD, ada yang memperoleh ganti sewa Rp 5 juta per bulan per orang. Lantas uang itu dari mana, “kan dari pajak rakyat. Kenapa demikian. Kita harus kembali ke moral.”

“Saya tidak akan bilang harus begini dan begitu. Mohonlah pada Allah, semoga ada kejujuran di tingkat pimpinan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” kata M. Noer. Ini masalah moral, dan untuk memperbaikinya harus lewat doa dan dakwah untuk menyadarkan para pemimpin.


Selalu Menomorsatukan Pendidikan
M. Noer selalu menomorsatukan pendidikan. Ketika menjadi Bupati, ia melaksanakan program Tiga-P. Pendidikan menuju tauhid. Percaya kepada Allah, dan perhubungan. Dengan pendidikan, masyarakat menjadi melek huruf agar bisa membaca dan pintar. Jika seseorang sudah percaya kepada Allah diharapkan hatinya bersih. Dan perhubungan bermaksud agar tidak ada lagi daerah terpencil, makanya harus dibikin jalan.

Menurut M. Noer yang kini menjadi anggota Dewan Pendidikan Nasional, pendidikan tanggung jawab tiga elemen; pemerintah, masyarakat dan orangtua. Jangan selamanya bergantung pada pemerintah. Masyarakat dan orang tua mesti berpartisipasi.



Ia melihat di Indonesia, pendidikan sudah berjalan bagus, mengharapkannya benar-benar menjadi modal di masa datang. Katanya, secara internasional arahnya ke sana. M. Noer setiap datang ke desa selalu memperhatikan masalah pendidikan, mendengarkan keluhan masyarakat dan pemerintah setempat.



Ia memberi contoh sekaligus menyatakan kekaguman pada lembaga pendidikan Islam Ma’had Al-Zaytun yang dipimpin Syaykh AS Panji Gumilang. Al-Zaytun mencakup begitu luas, mulai dari kebutuhan pendidikan sampai pangan, semuanya tersedia di situ. “Ini harus jadi contoh. Dan mereka tidak menggunakan uang negara,” kata M. Noer.



M. Nur sendiri memiliki yayasan pendidikan, mengirim 30 anak dengan beasiswa dua semester untuk pendidikan di Politeknik (D-4) ITS. Dalam dua semester, beasiswanya Rp 150 juta. Itu dibayar oleh yayasan milik M. Noer, dan para pengurusnya setuju. Setelah dua semester tidak mendapat tanggapan, baik dari gubernur maupun para bupati. Tetapi temannya dari Bali memberi bantuan untuk satu semester. Dan gubernur akan memberi bantuan pada semesetr keempat. “Ini maksudnya agar masyarakat Madura tidak hanya jadi penonton,” kata M. Noer.

M. Noer menghendaki Indonesia tidak menggantungkan diri pada pihak lain. Karena itu sumber daya manusianya (SDM) harus ditingkatkan. Indonesia sangat kaya. Gas, minyak dan batu baranya dieksploitasi dan dikerjakan oleh orang asing. Kata M. Noer, bilamana SDMnya sudah berkemampuan, maka semua kekayaan alam Indonesia digali dan dikerjakan sendiri. Sekarang, pengeboran minyak dilakukan orang-orang Filipina yang bergaji USD 2.000 dolar sebulan. Kata M. Noer, Indonesia mestinya bisa mendidik dan mempekerjakan orangnya sendiri.


Gagasan Jembatan Suramadu

Tahun 1950, Patih (Wakil Bupati) Bangkalan, M. Noer mencetuskan gagasan pembangunan Jembatan Suramadu. Pada masa itu, gagasan itu dianggap banyak orang sangat obsesif. Dia memang sangat terobsesi dengan pembangunan jembatan Suramadu. Latar belakangnya, ketika menjabat Patih (Wakil Bupati) Bangkalan tahun 1950, ada kerja sama antara Bupati Bangkalan dan Walikota Surabaya. M. Noer menjadi sekretaris. Kemudian setelah menjabat gubernur, M. Noer jadi ketua. Saat itu, M. Noer sudah membayangkan akan terjadinya kemacetan di Surabaya.



Ia punya gagasan agar Kamal di ujung Bangkalan menjadi kota satelitnya Surabaya. Tetapi hubungan Surabaya-Kamal saat itu dimonopoli oleh PJKA. Angkutan lautnya dikuasai PJKA. Dari Kamal Ujung ada bis dan kapal ferry. Waktu itu pelabuhan Ujung Kamal hanya diizinkan oleh Angkatan Laut boleh dipakai dari pukul 6.00 sampai 18.00.

Ketika jadi gubernur, M. Noer mengubah pelabuhannya, tidak di Ujung, tetapi di Perak agar bisa terbuka 24 jam. Monopoli PJKA-pun dihapus, terbuka untuk semua pengusaha angkutan. Tetapi hal itu belum memuaskan. Karena itu ia punya ide membangun sebuah jembatan yang menghubungkan Surabaya dengan Madura. Dia pernah menyatakan akan merenangi Selat Madura jika jembatan tidak kunjung dibangun.



Kemudian, ide ini diwujudkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 2003 tentang Pembangunan Jembatan Surabaya-Madura. Megawati menancapkan tiang pancang pada 20 Agustus 2003.
Jembatan sepanjang 5,4 kilometer itu diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 Juni 2009.



Sebelumnya, M. Noer kepada TokohIndonesia.com bercerita tentang rencana pembangunan jembatan Surabaya-Madura, yang pernah disampaikannnya kepada Gubernur Jatim dan para Bupati. Ia melihat ada dua soal. (1) Pelaksana pekerjaan pembangunan harus ditender secara internasional dan terbuka. Konsultannya mesti mengetahui masalah teknis dan keuangan. (2) Kalau jembatan Suramadu sudah selesai, nanti akan dibikin jalan tol. Di Madura akan ada kawasan industri dan bandar udara yang sudah tentu memerlukan tenaga-tenaga terdidik.


M. Noer ingin melihat kekayaan Indonesia diimbangi oleh SDM yang berkemampuan, lewat pendidikan. Dengan demikian sumber daya alam (SDA) tidak dikeruk oleh orang asing, tetapi oleh tenaga sendiri. Ia ingin pembangunan tidak hanya bertumpu di darat, tetapi laut juga harus diutamakan. Berapa ton ikan, dan berapa triliun rupiah yang dikeruk orang lain dari laut Indonesia. “Pokoknya, negara kita kaya raya,” kata M. Noer dengan nada yang selalu optimis. ►e-ti/sh,ri,sub

Nama:
Raden Panji Mohammad Noer
Lahir:
Sampang,13 Januari 1918
Wafat:
Surabaya, 16 April 2010
Agama:
Islam
Isteri:
Mas Ayoe Sid Rachma
Anak:
8 orang (4 Pria & 4 Wanita)

Pendidikan:
1. HLS lulus tahun 1932
2. MULO lulus tahun 1936
3. MOSVLA. lulus tahun 1939

Jabatan:
- Mantan Gubernur Kdh Tingkat I Jawa Timur
- Mantan Duta Besar RepuUlik Indonesia untuk Perands

Riwayat Pekerjaan:
1. Juli 1939 -Agustus 1949, Pamong Praja
2. Agustus 1949-Maret 1950, Kapten TNI
3. Maret 1950-Januari 1976, Pamong Praja terakhir Gubemur Kdh Tingkat I Jawa Timur mulai Desember 1967-Januari 1976
4. 1973 -1978, Anggota MPR RI
5. Oktober 1976-Oktober 1980, Duta Besar R.I untuk Perancis
6. Agustus 1981-1983, Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
7.1983-11 Maret 1988, Anggota DPA Periode II
8. 1987, Anggota MPR RI
9. 1989-1997, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN)
10. 1989-Sekarang, Ketua Dewan Penyantun seluruh Univ Negeri di SuraUaya dan beberapa Univ Swasta di Surabaya, Jember dan Madura
11. 1980-Sekarang, Ketua Yayasan Jantung Cab. Utama Jawa Timur
12. 1984-sekatang, Ketua Yayasan Asma Wilayah Jawa Timur
13. 1985-sekarang, Ketua Yayasan Aji Dharma Bhakti (bergerak di bidang Sosial Pendidikan) Pemberian beasiswa
14. 2005-sekarang, Dewan Kurator Universitas Al-Zaytun


TandaJasa/Penghargaan:
1. Bintang Gerilya
2 Satya Lencana Perang Kemerdekaan I
3. Satya Lencana Perang Kemerdekaan II
4. Satya Lencana Penegak
5. Tanda Kehormatan Bhayangkara
6. BintangYalasena
7. Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama III
8. Dlari Pemerintah Perancis : Odre National Du Merite (Grand Officer)
9.Tanda Pengharg•aan Lencana "MELATI" dari Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
10. Satya Lencana Kebaktian Sosial
11. Manggala Karya Kencana dari BKKBN
12. Tanda Penghargaan dari Menteri Pemuda & Olah Raga
13. Tanda Penghargaan dari Menteri Keuangan "Pembayar Pajak Penghasilan Perorangan"
14. Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia
15. Piagam Penghargaan Rektor Univ. Airlangga "WIIDYA AIRLANGGA KENCANA" Atas Jasa Prestasinya ikut memajukan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Kemasyarakatan dan Kebudayaan (S.K. Rektor Universitas Airlangga No.3748/PT03.H/P/1993) Tertanggal 13 Nopember 1993

Hobby:
Olah Raga (berenang)

Alamat Rumah:
Jl. Ir. Anwari No. 11 Surabaya 60264 Telp. (031)567-5458 568-2725 Fax. (031)56211400

Alamat Kantor:
Yayasan Jantung Indonesia Cab. Utama Jatim
Jl. Mulyorejo Surabaya. Telp. (031) 3810365

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)