Halaman

Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, MSi Bupati Perempuan Pertama di Jatim




Belum banyak perempuan yang jadi bupati. Satu di antara yang sedikit itu adalah Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti,MSi, Bupati Tuban. Ketua DPD Partai Golkar berparas ayu ini menorehkan sejarah sebagai perempuan pertama menjabat Bupati di Jawa Timur. Alumnus S1 dan S2 Universitras Gadjah Mada ini bertekad membangun daerahnya dengan segenap kemampuannya.

Setelah terpilih sebagai bupati Tuban (2001-2006), ia menyatakan akan melakukan upaya maksimal untuk membawa masyarakat Tuban ke arah yang lebih baik. "Saya akan berupaya melakukan yang terbaik bagi masyarakat Tuban," ucapnya yakin dan terbukti dilakukannya secara sungguh-sungguh.

Ia pun menekankan pentingnya pembentukan aparatur pemerintahan yang bersih. Dengan aparat profesional yang terseleksi --sesuai bidang keahliannya-- akan memberi pelayanan yang profesional pula kepada masyarakat. Dengan cara itu paling tidak sangat membantu menciptakan clean goverment. Teknisnya penempatan aparatur harus sesuai bidang keahliannya. Ia menambahkan, meski berangkatnya sebagai bupati dari Partai Golkar, ia tidak akan memprioritaskan kepentingan komunitasnya.

Haeny memang bukan politisi atau pemimpin karbitan. Perempuan kelahiran Tuban 20 Juni 1964, ini meniti karier politiknya di Golkar. Pada 1992 ia telah dipercaya menjadi Wakil Ketua DPD II Golkar. Ia juga Ketua Himpunan Wanita Karya Kabupaten Tuban. Kemudian tahun 1999 terpilih sebagai Ketua DPD II Golkar Tuban. Sebelum menjabat Bupati, menggantikan Kolonel Inf (pur) H Hindarto, pada era reformasi, ini ia menjabat Ketua DPRD Tuban.

Sejak SD, putri kesayangan pasangan Kawit Broto Supadmo, mantan birokrat di Pemkab Tuban dan Ny Suharini, ini memang sudah suka organisasi. Demikian juga tatkala remaja dan mahasiswa. Ia juga beruntung berkesempatan mengenyam pendidikan di universitas yang punya idealiesme tersendiri (UGM). Pengalaman organisasi dan lingkungan sekolah itu sangat besar peranannya dalam membentuk karakternya. Apalagi kemudian ia mempunyai suami, Ali Hasan, seorang pengusaha sukses, yang dari dimensi sosial kemasyarakatan dan ekonomi berkecukupan.

Sehingga kesempatannya terjun ke dunia politik semakin terbuka. Dalam dunia politik, yang dianggap sebagian orang penuh intrik, ia telah menguji dirinya. Di dunia politik itu, ia mengasah diri untuk mampu manfaatkan keahlian, kelebihan dan kesempatan yang dimilikinya untuk kepentingan masyarakat banyak. Bukan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok sendiri. Itulah yang melatarinya menekuni politik.

Ia menyadari pemahaman masyarakat terhadap politik masih memprihatinkan. Tapi baginya, politik adalah pemahaman tentang pemerintahan. Sangat ia sadari bahwa bupati itu jabatan politik yang periodeisasinya cuma lima tahun. Sementara yang ia pimpin itu pejabat karier. Mereka membangun karir dari bawah. Di satu pihak posisi yang dibangun selama berpuluh-puluh tahun itu bisa ditentukan oleh pejabat yang posisinya per lima tahun. Maka, dalam konteks ini, ia berusaha berempati kepada mereka.

Ia berprinsip, apabila tidak ingin dicubit, jangan mencubit orang lain. “Kalau kita dicubit atau ditampar sementara kita tidak pernah mencubit atau menampar orang lain, insya Allah itu menjadi tabungan kita di akhirat kelak,” katanya yakin. Begitulah ia selalu menanamkan kepada dirinya. Sekaligus mengasah diri menjawab tantangan hidup.

Tantangannya adalah apakah ia tetap bisa memegang prinsip itu, sementara kewenangan yang demikian besar ada di tangannya? Untuk menjawab tantangan ini, ia selalu menyadari bahwa kekuasan sebagai bupati itu hanya lima tahun. “Kalau selama itu saya tidak mencapai khusnul khotimah, cepat atau lambat saya menyakini akan terjadi pembalasan itu. Bukan saja diakhirat tapi juga di dunia ini,” ujarnya memperteguh diri.

Dalam menjalani hidup ini, ia menganut falsafah hidup seperti air. Mengalir begitu saja. Kedengarannya klise. “Mudah-mudahan mengalirnya tidak ke limbah he..he...,” ucapnya bercanda tapi bermakna. Ia percaya bahwa segala sesuatu, baik lahir, hidup, mati, nasib, sangat mutlak bergantung pada yang di Atas. Ia tidak pernah bercita-cita menjadi ketua Golkar, Ketua DPRD, atau Bupati. Proses-proses itu mengalir begitu saja, tanpa ia rencanakan apalagi rekayasa.

Buktinya, ketika pencalonan bupati, ia baru mendaftarkan diri pada H-3 dari waktu pemilihan. Itu pun setelah ia bermunajat kepada Allah. Itu bukan trik politik. Ia sudah mengkalkulasi, andai jadi bupati, tantangan-tantangan yang ia hadapi jauh lebih besar. Kalau dicari hitungan-hitungan ekonomisnya tidak sepadan. "Keputusan saya mencalonkan diri lahir dalam waktu relatif singkat. Banyak orang enggak percaya. Tapi itulah hidup. Semua harus dijalani".

Menurutnya perempuan mempunyai kelebihan dari laki-laki dalam memimpin.
Secara psikologis, mudah-mudahan ini kesimpulan yang prematur, kecenderungan laki-laki itu materialis. Kalau perempuan lebih berempati. Dalam mengambil keputusan, perempuan itu banyak faktor yang jadi pertimbangan. Yang paling penting adalah faktor empaty. Misalnya ketika ia akan mengambil keputusan, ia selalu berusaha menempatkan diri seakan-akan ia yang menjadi obyek keputusan itu. Itu selalu menjadi pertimbangannya.

Jadi, katanya, secara umum, laki-laki cenderung taktis, sedangkan perempuan cenderung emosional. Dari segi positif, emosional itu mendorong perempuan untuk berempati. Sehingga kadang-kadang perempuan sebagai pimpinan dinilai kurang dapat bertindak tegas, karena banyak faktor yang dipertimbangkan itu.

Bupati Perempuan
Sebagai perempuan pertama menjabat bupati di Jawa Timur, ia menyatakan sangat bersyukur. Kendati rasa syukur itu ia panjatkan bukan hanya saat terpilih menjadi bupati saja. “Dalam segala hal saya mengucap syukur, termasuk ketika menjabat sebagai ketua DPRD dan ketua Golkar di Tuban".

Ia juga menyatakan bersyukur saat berhasil menjalankan nurani dan hal yang benar menurut ajaran agama sebaik-baiknya. "Memang, sih, sampai saat ini jabatan bupati masih didominasi lelaki. Namun tidak ada salahnya wanita juga bisa berada di posisi tersebut. Kebetulan, selama ini enggak ada suatu bidang yang diciptakan khusus untuk wanita".

Faktor kodrat dan budaya juga mempengaruhi sehingga masih belum banyak wanita yang berkarier di dunia politik. "Barangkali karena kita hidup dalam budaya Jawa. Segala sesuatu, termasuk posisi wanita, identik dengan nrimo dan konco wingking. Sebenarnya, ungkapan itu harus diartikan relatif. Mohon digarisbawahi bahwa ibu rumah tangga termasuk posisi yang sangat sulit," katanya.

Ibu rumah tangga itu tidak hanya bertugas memasak, mencuci, dan belanja tapi juga mendidik. Menjadi pendidik itu adalah tugas yang sangat kompleks. “Tidak gampang, lo, mendidik seorang anak".

Ia memang sudah biasa memimpin dalam berbagai lingkungan yang masih didominasi lelaki. Lulusan S1 dan S2 dari UGM Yogyakarta itu memang terkenal cukup piawai dalam berpolitik dan memimpin. Ia merupakan sosok yang memiliki kadar intelektualitas cukup bagus dan kapabilitas yang sangat diandalkan.

Kepemimpinannya sudah teruji selama ia mengemban beberapa jabatan yang cukup prestisius. Di antaranya, Ketua Himpinan Wanita Karya, ketua DPD Partai Golkar Tuban, ketua DPRD Tuban, dan memimpin beberapa perusahaannya. Selama menjabat ketua DPRD Tuban, ia cukup sukses membawa lembaga legislatif itu menjadi pengontrol pemerintahan di Kabupaten Tuban.

Di lembaga mana pun ia memimpin, baginya sama saja. Ia tetap punya landasan yang real dan valid untuk mempertanggung jawabkan apa yang ia ucapkan dan lakukan. Tidak ada sesuatu yang khusus baginya dalam setiap posisi. “Kalaupun ada bedanya, mungkin dulu saya lebih banyak mengurus partai, sekarang lebih luas lagi," katanya.

Kisah David & Goliath
Dalam proses pencalonannya menjadi Bupati Tuban, Radar Bojonegoro menggambarkannya, selalu ditakdirkan seperti David dalam cerita David & Goliath. Seperti dalam cerita itu, David yang bertubuh kecil selalu menang ketika menghadapi raksasa Goliath. Begitulah sosok Haeny. Meski Fraksi Partai Golkar yang mencalonkannya hanya memiliki delapan kursi, ternyata fraksinya selalu mampu menundukkan para rivalnya di DPRD Kabupaten Tuban yang suaranya lebih besar.

Pada saat dirinya mencalonkan diri sebagai ketua DPRD Kabupaten Tuban, 1999, misalnya, ia telah mengukir sukses. Hal yang sema terulang lagi pada pemilihan bupati. Ia meraih 29 suara dari 44 suara. Sementara pasangan Ir Slamet Susilo MSi dan Ir Noor Nahar Hussein yang didukung dua partai yang jauh lebih besar, PKB 11 kursi dan PDIP 13 kursi, harus puas menduduki kursi kedua, dengan hanya mendapat 15 suara.

Suasana pemilihan, yang berlangsung lima jam mulai pukul 09.00, ketika itu, cukup menegangkan sekaligus mengejutkan. Banyak pihak tidak menduga muslimah yang istiqomah berjilbab ini akan mengungguli pesaingnya yang dijagokan dua fraksi pemenang Pemilu PDIP dan PKB. Maklum, menurut hitungan matematis, Haeny yang dicalonkan FPG hanya memiliki delapan suara, sementara rivalnya memiliki modal suara lebih dari separo jumlah anggota dewan, yakni 24 suara. Rinciannya, 13 suara FPDIP dan 11 suara FPKB. Dua partai koalisi itu optimistis mampu memenangi pemilihan bupati. Sementara, peluang Haeny diperkirakan sangat kecil.

Akan tetapi, di sinilah kepiawian Haeny berpolitik. Ia merangkul Soenoto, kader PDIP, menjadi pasangannya sebagai wakil bupati. Ia pintar memanfaatkan perbedaan di kubu PDIP. Sehingga ia pun sukses meraup suara 29 kursi dari jumlah 44 kursi di DPRD. Satu suara meski tertulis nama Heny, dinyatakan tidak sah oleh panitia karena tidak mencantumkan nama cawabup pasangannya.

Suasana penghitungan suara saat itu sungguh menegangkan. Proses penghitungan dimulai sekitar pukul 11.55. Suara pertama yang dibacakan KH Masram Sofwan, anggota panitia, menyebut Haeny. Suara kedua, ketiga sampai keenam, masih Haeny. Sementara saingannya baru mendapat satu suara. Kemudian, satu per satu suara dihitung. Haeny kian mantap. Saat Haeny mengumpulkan 23 suara, lebih dari separo jumlah anggota dewan, aplaus pun terdengar membahana.

Susilo spontan menyampaikan ucapan selamat kepada Haeny yang duduk sederet dengannya. Haeny pun menyambut ramah. Tapi, suasana tegang juga terjadi di luar gedung dewan. Massa yang sebagian besar pendukung Susilo-Noor Nahar sepertinya tidak terima atas ketertinggalan perolehan suara itu. Mereka melempari gedung dewan dengan batu dan kayu. Makin banyak suara yang dikumpulkan Haeny, lemparan massa dari timur kantor dewan kian gencar.

Sementara massa pendukung Haeny- Soenoto terkesan tidak gegap gempita. Mereka lebih memilih segera meninggalkan lokasi perhelatan. Sebab, massa pendukung dari rivalnya bertindak brutal begitu mengetahui jagonya tersingkir. Massa yang emosional itu melempari gedung dewan dan merusak fasilitas umum, seperti traffic light, lampu kota, taman, dan patung Letda Soecipto.

Kemenangannya itu mengejutkan. Sepertinya menjadi pukulan telak lawan-lawan politiknya. Selama proses pemilihan, ribuan massa menyemut di gedung dewan. Mereka menolaknya. Ia dituding melakukan money politics. Bahkan menyebutnya sebagai reinkarnasi partai Orde Baru yang tidak layak memimpin pemerintahan yang reformis. Tidak hanya itu. Ia juga disangkut-pautkan dalam penguasaan sejumlah tanah negara di Tuban.

Hanya saja, semua sorotan itu ibarat anjing menggonggong kafilahpun berlalu. Berbagai goyangan itu sama sekali tidak menyurutkan langkahnya untuk memenangkan pertarungan menjadi orang nomor satu di Bumi Ronggolawe itu. Karena memang ia tulus mau mengabdikan diri membangun daerah yang dicintainya itu. Makanya, ketika memenangi pertarungan, ia sama sekali tidak menampakkan ekspresi luar biasa, sebagaimana layaknya prajurit yang usai menang perang. Dia bersikap biasa dan mengucapkan syukur sebagai pertanda keberhasilan perjuangannya.

Namun suasana emosional itu akhirnya surut. “Apapun adanya pemilihan itu telah berlangsung secara konstitusional dan demokratis,” ujar HM Taufik Achwan Wakil, Ketua DPRD Tuban dari FPDIP. Hal senada diungkapkan KH Yahya Romli dari FKB DPRD Tuban. Bagi PKB, tambah Yahya, meski terasa pahit pihaknya menerima hasil pilbup itu. "Kita biasa saja, soal kalah dan menang bukan ukuran. Yang penting berjalan sesuai prosedur," katanya singkat.

Menanggapi tudingan bahwa dirinya dan Partai Golkar sebagai reinkarnasi Orde Baru, disebutnya, itu anggapan keliru. Tidak semua orang Golkar berjiwa Orde Baru. Apalagi ukuran yang disebut Orde Baru juga enggak jelas. Begitu juga mengenai dugaan money politics. Itu dugaan yang tidak berdasar. Sebab semua anggota DPRD sudah dikarantina sebelum pemilihan. Baginya, tudingan semacam itu tidak perlu terlalu dipikirkan. Yang penting, ia terus berkarya dan bekerja bagi kesejahteraan masyarakat banyak.

“Mulai sekarang kita harus bertekad dan berusaha menciptakan masyarakat makmur. Bukan asal ngomong dan adu pendapat saja. Stigma seperti itu harus dihilangkan karena akan memecah persatuan dan kesatuan rakyat dan bangsa,” katanya.

Keluarga
Sebagai Bupati yang punya tugas dan tanggung jawab besar, tentu ia harus memberikan perhatian dan waktu untuk melaksanakan tugas itu. Lalu bagaimana peranannya sebagai ibu dalam keluarga? Apakah harus mengorbankan keluarga? Apakah ia masih menempatkan dan melayani suami sebagaimana mestinya?

Ternyata, baginya suami tetap sebagai kepala keluarga. Itu mungkin termasuk konservatif. “Bagi saya sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu yang terpenting, di mana pun posisi yang saya masuki (jabatan), harus seijin suami. Itu prinsip saya. Karena anak-anak saya masih kecil-kecil, dengan bahasa yang bisa mereka tangkap, saya juga menjelaskan posisi saya termasuk resiko-resiko yang dihadapi.”

Ia menduduki berbagai posisi bukan karena pertimbagnan ekonomi atau mencari nafkah. Sebagai kepala keluarga, suaminya telah menjamin kebutuhan batiniah dan lahiriah keluarga. Maka, baginya ijin dan restu suami adalah segala-galanya, sepanjang sesuai dengan ketentuan agama. Kebetulan dalam kaitan ini ia punya pengalaman batin. Jadi, tanpa ijin dan restu suami, perjalanan itu tidak akan lancar bahkan tidak sampai.

Tahun l990 ia bersama suami naik haji. Sebagaimana jamaah yang lain, ia pun sangat ingin mencium hajar aswad. Ia diberi nasihat oleh suami, begini dan begini. Tapi keinginannya mengalahkan nasihat-nasihat suami itu. Tanpa mengindahkan nasihat itu, ia berangkat sendiri. Nyatanya sampai beberapa putaran ia tidak berhasil mendekat hajar aswad itu. Ia lalu minta maaf kepada suaminya. Sejak itu, tanpa ijin dan restu suami ia tidak berani bertindak dalam kaitan kehidupan pribadi dan keluarga.

Namun dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik, adalah berbeda. Kendati peranan suami dalam perjalanan hidupnya sangat besar, tapi tidak sampai mempengaruhi kebijakan dan keputusannya dalam pemerintahan. “Semua keputusan tetap saya yang menentukan,” katanya.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa sepandai-pandai orang, termasuk dirinya, tidak bisa menguasai seluruh aspek. Dalam beberapa hal mungkin seseorang punya nilai lebih, tapi dalam hal-hal lain punya kekurangan. Misalnya, menyangkut kualitas bangunan, ia sering minta nasihat dari suaminya yang kebetulan bergelut dalam bidang kontruksi. “Jadi, kalau ada pertanyaan sejauh mana pengaruh suami dalam pengambilan keputusan saya, ya sebatas nasihat. Dalam beberapa hal, suami juga aktif memberi saran walau tanpa saya minta. Namun keputusan tetap kembali kepada saya,” ujarnya.

Dalam hal mengatur waktu, sebagai ibu dan sebagai bupati, baginya tidak ada masalah. “Kebetulan di rumah dinas juga ada ruang kerja. Jangan membayangkan Bupati itu orang super sibuklah he..he... Persoalannya bagaimana seorang kepala daerah itu mempunyai kemampuan manajerial. Wong perangkat daerahnya lengkap kok, ada sekretaris daerah, dan ada pula institusi pelaksana teknis administratif. Tinggal bagaimana seorang bupati dapat memenej semua itu, tidak cuma minta pertanggungjawaban, tetapi juga bagaimana kita berempati terhadap kesulitan dan kendala yang mereka hadapi. Itu yang terpenting,” kata ibu empat anak ini, yakni Aulia Hany Mustikasari (13), Aldwin Hafids Harsandy (12), Adiya Halindra Faridzki (9), dan Adela Hanindya Nastiti (5).

Sehingga baginya, tidak harus terpaku pada jama kerja saja. Bisa saja lebih dari itu. Atau bisa juga lebih pendek. Apalagi, di rumah dinas ada juga ruang kerja. Sehingga pada jam-jam kantor ia tidak mesti di Kantor Kabupaten), tapi bisa juga di rumah.
Maka sesibuk apapun, ia masih berusaha untuk berkumpul dengan seluruh keluarga. Sebab, ia sadar, anak-anak pasti membutuhkan perhatian orang tua. Apalagi anak-anaknya masih kecil-kecil. Sehingga hal wajar bila terkadang mereka menuntut perhatian lebih darinya. Namanya juga anak-anak.

Perihal kiat mendidik anak, ia menekankan pentingnya memberi contoh. Kalau kita menganjurkan sesuatu kepada anak, maka orang tua harus melakukan dulu apa yang dianjurkan itu. Demikian juga melarang, orang tua harus meninggalkan larangan itu dulu sebelum melarang anak. Tidak hanya dalam bertutur kata, juga dalam berperilaku sehari-hari. Orang tua menjadi cermin bagi anak-anaknya. Kalau kita ingin anak baik kualitas moralnya, maka itu harus kita mulai dari kita sendiri sebagai orang tua. Termasuk dalam memberi makan kepada anak-anak, harus bersumber dari yang halal.

Dalam hal agama, ia menyadari bahwa ilmunya masih sangat-sangat rendah. Karena itu ia mendatangkan guru ngaji ke rumah. Alhamdulillah, anaknya yang sulung sudah khatam al-Qur'an berulang kali. Yang nomer dua juga. Rata-rata mereka khatam al-Qur'an pada usia antara 3,5 dan 5,5 tahun.

Nama:Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, MSi
Panggilan:Ibu Haeny
Lahir:Tuban, 20 Juni 1964
Suami:H. Ali Hasan (pengusaha)

Anak:

Aulia Hany Mustikasari (13)
Aldwin Hafids Harsandy (12)
Adiya Halindra Faridzki (9)
Adela Hanindya Nastiti (5)
Ayah:Kawit Broto Supadmo
Ibu:Ny Suharini

Pendidikan:

Sarjana FISIP Universitas Gajah Mada (UGM)
Master ilmu politik dari Universitas Gajah Mada (UGM)

Organisasi:

Ketua Himpunan Wanita Karya Tuban
Wakil Ketua DPD II Golkar Tuban 1992
Ketua DPD II Golkar Tuban 1999

Jabatan:Bupati Kabupaten Tuban 2001-2006
Ketua DPRD Tuban 1999-2000
Pemimpin beberapa perusahaan
Alamat Kantor:Jalan Kartini No.2 Tuban
Telepon (0322) 321321
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), dari berbagai sumber terutama www.tuban-jatim.com, Jawa Pos 09/05/2001, Surya 09/05/2001 dan Majalah Suara Hidayatullah (April 2002)