Halaman

Jais Darga, Aji Rasa


Percaya diri membuat perempuan tampak seksi! Percaya diri berarti berwawasan, berpengetahuan, berbahagia, dan menjaga kecantikan yang diberikan Tuhan.

Membuka halaman demi halaman kehidupan Jais Darga, kita seperti dibawa dalam sebuah petualangan yang seru juga menegangkan. “Bila aku sekarang meraih semua mimpi, setidaknya kamu mengerti bahwa jalan ini tidak pendek. Penuh liku. Ada luka. Tapi aku selalu memandang kehidupan dengan sisi optimis dan kerja yang sangat keras. Hanya kita sendiri yang mengerti makna bahagia, dan kitalah yang harus mewujudkannya,” katanya ketika ia akhirnya menyelesaikan wawancaranya dengan dewi. Jais, art dealer perempuan pertama di Indonesia, kini sudah berhasil “menaklukkan” kubu-kubu seni di Paris dan New York.

Sebuah meja dengan dua tempat duduk. Rokok. Segelas black coffee dan minuman capriosca adalah teman bercerita yang menyenangkan bersamanya. Suasana cozy dan nyaman di Grand CafĂ©, Grand Hyatt Jakarta kian mengalirkan hawa akrab malam itu. Sesekali ia menyapa beberapa orang yang dikenalnya. Namun memang tak mudah untuk masuk dalam relung hati terdalamnya, terutama bila menyangkut kisah lara yang akhirnya berpengaruh dalam jalan hidupnya. Ia lebih suka bicara tentang hal-hal yang menggembirakan, termasuk keperkasaan saat menaklukkan tantangan. “Hidup sudah sulit jangan lagi dipersulit. Buatlah ringan seperti makan kerupuk,”katanya.

“Adalah sebuah kecelakaan bila aku masuk ke dunia seni.” Tawa renyah mengiring kata-katanya, membuka percakapan. Dari pihak keluarga, tak ada satupun darah seni yang mengalir di tubuhnya. Ayahnya seorang bangsawan Sunda, tuan tanah kaya di daerah Bandung, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Ibunya, masyarakat kebanyakan asal Garut yang terikat dalam perkawinan kedua ayahnya. Ia sendiri anak kelima dari pihak ayah dan anak ketiga dalam perkawinan itu. “Bangsawan? Ah itu hanya bagian masa lalu. Semua sekarang sama. Aku lebih suka dipanggil Jais,” ujarnya, seperti mengelak.

Mengaku sebagai anak pengais bungsu (anak kedua sebelum bungsu) membuat ia tumbuh sebagai anak tomboi dan sangat badung. “Mungkin karena itu aku sangat disayang Papa,”ujarnya bangga, mengenang masa manis yang dilalui bersama: naik kuda sambil mengontrol pekerjaan pegawai ayahnya. Kadang-kadang keduanya ikut makan bersama dengan para pekerja. “Kalau kita ini seseorang, di manapun berada kita akan tetap seseorang,” katanya mengingat nasehat sang ayah – hal yang kemudian membuatnya begitu percaya diri dan bertekad untuk menjadi seseorang sepanjang hidupnya.

Lagi-lagi cerita ayahnya dapat porsi lebih besar. Terasa sungguh ia dapat suntikan jiwa darinya. Kali ini tentang pesan sang ayah yang rupanya berpengaruh besar dalam kesuksesan profesinya. “Sebelum kamu ikut mengaji, kamu harus bisa mengaji rasa terlebih dahulu. Aku rasa kalimat dari Papa ini sangat dalam sekali maknanya,” ujarnya mengutip pernyataan ayahnya ketika ia akan ikut mengaji Alqur’an sebagaimana anak-anak seusianya. Dunia seni yang banyak berkaitan dengan soal rasa dan perasaan akhirnya menjadi berkembang melalui kebiasaan ini.

Tentu bisa dibayangkan seandainya keakraban ini putus seketika. Ia berusia 16 tahun – sebuah usia yang sangat rawan pada masa remaja- saat mendapat kabar bahwa sang ayah yang usianya terpaut 58 tahun dengannya itu meninggal dunia secara mendadak. “Saya belum sempat memberikan kebanggaan untuknya,” ia menyebutkan alasan kesedihannya kini. Tapi waktu mendengar kabar itu, ia kaget, pingsan, dan jatuh. Kepalanya terbentur sesuatu. Ia menderita gegar otak dan dirawat hampir setahun lamanya. Akibatnya, ia harus pula istirahat dari sekolahnya.

Dampak kepergian ayahnya memang besar bagi dirinya, dan terutama ibunya. Filosofi hidup untuk mengaji rasa seperti tersentak ketika mendapati kenyataan sang Ibu yang diperlakukan semena-mena dan tidak adil di matanya – karena sang ibu hanyalah masyarakat kebanyakan – bukan bangsawan. “Tiba-tiba aku jadi ingat berbagai peristiwa waktu aku kecil. Ah, ternyata aku bukan orang yang kurang sensitif, tetapi mengumpulkan banyak fakta baru bertindak,” kata Jais yang akhirnya terpicu oleh peristiwa itu. “ Saat itu dalam benak saya tertanam keinginan bahwa saya harus jadi orang kaya! Bukan kaya karena orang lain karena toh Papa sudah kaya, keluarga, atau suami saya – tapi kaya atas usaha diri sendiri, untuk ibu saya.” Kali ini ia menggunakan kata saya untuk membahasakan dirinya.

Pikirannya masih pendek ketika ia mengambil pendidikan di Akademi Sekretaris Managemen Indonesia (ASMI) Bandung. “Ya, setidaknya sudah membayangkan akan menjadi bos suatu saat, pendidikan sekretaris perlu, supaya bisa mengetik! Ha ha ha…,”tawanya lepas. Lalu kembali serius. “Awalnya memang daripada nggak ngapa-ngapain, ya sudah sekolah ASMI saja. Eh, justru di sanalah saya mulai bergaul dengan teman-teman seniman. Mereka ini sepertinya bebas. Badung. Ada sesuatu. Nggak munafik. Cocok banget sama jiwaku. Apalagi waktu itu aku pernah hopeless. Kayaknya aku jadi harus to do something.” Lagi-lagi ia dapat suntikan energi.

“Sebenarnya aku sudah sejak SMA bergaul dengan seniman seperti Jeihan atau Pak Barli. Setiap ketemu mereka rasanya dapat pengetahuan. Dunianya wow! Lalu aku juga ketemu Remi Silado, dia mengajakku bermain teater, dapatkan peran utama di teaternya, lalu dapur teaternya sempat pindah di rumah,” wajahnya berbinar mengingat aktivitasnya di teater yang membuatnya banyak ditulis di majalah-majalah lokal karena prestasinya. Di teater juga, ia juga belajar tentang filsafat kehidupan. Belajar tentang menghormati waktu. Merasakan peran. Segala hal yang akhirnya banyak membantu kehidupannya.

“Padahal, cita-citaku waktu kecil ingin jadi pramugari supaya bisa keliling dunia. Ha ha ha…,” kata Jais, lalu menambahkan,” tapi kata Papa tak harus menjadi pramugari untuk melakukan itu.” Di kemudian hari, kata-kata ini seperti mantra yang mewujudkan mimpinya, berkeliling dunia. Tapi kali ini melalui dunia seni rupa – anak karya dari sahabat-sahabat senimannya- sesuatu yang akhirnya mengalir begitu saja.

Dulu ia memang suka membeli lukisan dari teman-temannya. Tak jarang, ia diberi sebagai tanda pertemanan karena Jais orang yang sangat baik, spontan, menyenangkan, sekaligus teman bicara yang paham dunia mereka. Sesekali juga ia dipinjami lukisan untuk diletakkan di rumahnya yang luas dan banyak tamu. Sampai suatu kali, seorang teman asing menyukai salah satu koleksi lukisan dan ingin membelinya. “Karena aku dekat dengan pelukisnya, ya sudah nanti aku bisa bilang atau minta lagi, dan ternyata itulah ihwal aku terjun menjadi art dealer.” Ia sendiri terjun sebagai art dealer professional di awal tahun 1980-an, bermula dari koleksi pribadi hingga masuk ke galeri yang lebih besar. Ia lalu mendirikan galeri di Bali, Darga Gallery, yang masih eksis hingga kini. Lalu membuat pameran, setapak demi setapak, dari kecil hingga besar, sambil meluaskan pasar dari Jakarta dan Bali, menuju Singapura dan Australia awal 1990-an.

“Menjadi art dealer perempuan masa itu sangat berat karena dunia ini dimonopoli oleh kaum lelaki. Faktor kedua, saya orang Asia, orang berpikir mungkin saya orang Philipina, atau Thailand, atau mungkin masih dianggap sebagai kelas dua,” kisahnya. Persoalan ini belum termasuk mengatasi rasa iri atau cemburu dari perempuan lain – mengingat para kolektor kebanyakan berjenis kelamin pria. Namun ia bilang sudah kenyang makan asam garam soal ini. “Saya harus tunjukkan siapa diri saya, melalui kemampuan saya, pengetahuan saya, wawasan saya, dan akhirnya juga modal saya. Dan akhirnya, saya banyak berteman dengan istri-istri mereka. Bahkan kalau ada pameran sang istri nggak bisa datang, ia malah yang menelpon saya untuk menemani suaminya. Ini karena mereka percaya saya,”katanya tersenyum. Kali ini menggunakan kata saya untuk dirinya.

Ketika kondisi tak lagi menantang adrenalin- ia mulai meluaskan jaringannya ke dunia internasional. Targetnya: Paris – pusat seni rupa dunia. “Saat itu aku nggak punya kenalan, berbekal nekad. Tinggal di hotel mewah di Paris. Membawa modal besar. Dan mencoba menjadi perhatian- apapun caranya. Aku harus dobrak itu pintu-pintu di Paris, Pintu-pintu art dealer di Paris yang seperti hutan. Mengerikan. Tapi aku harus bisa menaklukkan “kesombongan” seperti yang aku bayangkan tentang mereka.”

Itulah yang dilakukannya. Ia menggebrak panggung lelang dengan melakukan bidding lukisan Tsuguhara Foujita seharga 800 ribu frank di sebuah lelang besar di Paris pada tahun 1995! Bila dihitung dengan kurs sekarang – nilainya kurang lebih sebesar Rp. 11,5 milyar rupiah. Peristiwa ini memang membuat banyak art dealer menengokkan kepada pada seorang perempuan Asia yang duduk di deretan kursi pertama. “Banyak yang bilang harga itu terlalu tinggi, sampai aku tak bisa tidur malamnya memikirkan uangnya. Ha ha ha.. Lalu aku tanya seorang kolektor mengenai karya tersebut. Dia bilang karya itu bagus. Sejak itu, aku yakin, aku punya kemampuan.”

Gebrakan pertama ini memang tidak berhenti sampai di sana. Ia terus memasuki lelang-lelang seni rupa bergengsi, berkenalan dengan para kolektor, art dealer, menambah wawasannya tentang seni rupa internasional, dan terus “keep in touch” dengan dunia seni rupa dunia. Dari Paris ia menuju London, New York, hingga ia mendapatkan klien kolektor tingkat dunia. “Kuncinya karena saya punya sikap, sehingga mereka menghargai. Kita harus ramah, tapi kita bukan murahan. Susuk? Ha ha ha… aku bersyukur ada orang yang menganggapnya demikian. Ini artinya aku menarik kan? Ha ha ha… ,”ia lalu menambahkan pengalamannya ketika beberapa temannya pernah sengaja memberinya bahan-bahan yang dianggap bisa menghilangkan susuknya. Fitnah ditanggapinya dengan kesabaran.

Padahal untuk mencapai semua kesuksesan ia harus bekerja ekstra keras. Ia tinggal antara Paris, New York, Jakarta, dan Bali – yang menjadi base-nya kini. Kerjanya bisa dibilang 24 jam sehari karena pusat-pusat seni dunia itu ada di wilayah waktu yang berbeda satu sama lain. “Saya dibilang tak punya pusar oleh teman-teman lelaki saya (maksudnya tak punya rasa lelah). Kadang kalau bangun tidur, langsung berpikir, di mana aku sekarang ya? Ha ha ha,” tawanya menyembur cepat. “Makanya sekarang aku berpusat di Bali. Karena mau menikmati hidup. Di Bali, ada kerja, ada enjoy, ada kafe, ada pantai, ada liburan. Persis sama Paris,” ucap Jais yang pernah tinggal lama di Paris dan memiliki galeri bersama mantan suaminya.

Sepertinya semua ceritanya berjalan mulus. Padahal tidak selalu demikian. Seperti halnya bisnis lainnya, ia pun pernah mendapatkan musibah. Untungnya, katanya yakin, ia tegas mengatur keuangan: memisahkan satu keuangan dengan keuangan lain, bahkan perencanaan keuangan hingga meninggal kelak – agar tidak merepotkan siapapun di dunia ini. “Aku tak bilang tak pernah rugi. Tapi menurutku itu pelajaran. Hidup di sini memang penuh risiko,”ujar Jais yang pernah hampir kehilangan sebagian rambutnya gara-gara hantaman badai krisis moneter dunia. Lukisan yang ia beli untuk kliennya seharga Rp.4,5 Milyar rupiah melambung hingga puluhan milyar dalam sekejap di tahun 1997. Ia tak bisa apa-apa karena kliennya juga dalam kondisi krisis. Ia juga khawatir akan dilaporkan ke pengacara. “Tapi dengan niat baik, semua bisa dibicarakan, pembelian pun berlangsung dengan cara dicicil.”

Ia meyakinkan bahwa solusi ini berhasil ditempuh setelah ia pergi ke Los Angeles-menjauhi kota Paris yang membawanya terpuruk- untuk berlibur! “Kalau situasi terpuruk tak bisa diubah, badan dan jiwa kita tak boleh terlarut. Kita harus berani melangkah. Bila kita jatuh, setidaknya kita pernah berani ambil keputusan,” ia berujar tegas. Keberanian ia dalam mengambil risiko telah membawanya terbang dari satu galeri kecil ke galeri kecil lainnya hingga kini ia masuk ke galeri seni internasional yang ditempuhnya selangkah demi selangkah dengan penuh kepastian.

“Tapi kuncinya memang kita harus jadi yang pertama supaya menjadi sejarah dan harus bikin gebrakan! Selain nekad ha ha ha,” ia membuka rahasianya. Tahun 1988, ia pernah pergi ke Australia untuk menjual lukisan kendati tak pernah tahu peta seni di sana. Ia juga pernah menjual rumah demi membeli lukisan. Tapi ia juga orang yang pertama kali membawa karya pelukis dunia di Indonesia yang membuat mata dunia seni rupa memandang ke Galeri Darga miliknya yang terletak di Sanur, Bali. Picasso, Jean Michel Basquiat, Agust Renoir, Jean Dubuffet, Miro, F Leger, Chu The Chun, Henri Matisse , dan Marc Chagall adalah karya seniman dunia yang pernah dipamerkannya.

“Baru kusadari kini, aku ternyata orang yang suka tantangan dan selalu ingin mengubah keadaan. Saya ingin selalu ada perubahan, dan kalau perlu mengubah dunia.” Ia lalu mencontohkan bagaimana kondisi perempuan yang –katanya- selalu di- dibandingkan dengan me-. Diceraikan bukan menceraikan. Diputuskan, bukan memutuskan. “Mungkin akhirnya saya dianggap dominan oleh patner saya. Padahal sebenarnya tidak. Saya sudah mandiri sejak usia 18 tahun.”

Tapi bukan hal ini yang membuat Jais kini terikat dalam pernikahan keempatnya. “Saya nggak malu kawin cerai. Nggak ada yang dirugikan. Yang merasakan kan kita sendiri.,” ujarnya. Perempuan 56 tahun ini percaya bahwa cinta adalah memberi dan menerima. Tidak bisa hanya memberi atau menerima saja. Kalau hal ini terganggu, kebahagiaan akan terusik. “Maka satu-satunya jalan adalah dengan berpisah dan mencari kebahagiaan masing-masing. Sakit hati mungkin dalam hitungan minggu atau bulan. Tapi setelah itu semua memiliki kebahagiaan. Mengapa kita harus memelihara ketidakbahagiaan dalam diri kita? Kehidupan itu ibarat sebuah novel. Setiap orang punya novel sendiri. Its my life, aku tak mau memelihara penderitaan dalam kehidupanku,” ibu seorang putri bernama Maghali Darga yang kini sedang mengambil pendidikan fotografi di Paris menegaskan keyakinannya. Raut wajahnya yang segar dan tubuhnya yang masih terawat baik tanpa operasi barangkali menjadi tanda kebahagiaan pada dirinya. (Atau mungkin bahagia karena pernikahan sirinya dengan Vincent Ruiz yang beberapa tahun lebih muda darinya? )

“Aku harus menjaga imej bagus di mata klien agar terus bisa bertahan di dunia seni rupa,” katanya kemudian,”Dan ini adalah sebuah kerja keras.” Jais kini mengelola galerinya di Bali dan Paris. Dulu memang ia pernah memiliki galeri Darga Lansberg bersama mantan suaminya di Paris – tapi kini ia memiliki galeri di Paris dengan namanya sendiri. “Dengan menjadi single (maksudnya galerinya), saya bisa kerjasama dengan siapapun, bisa bikin bisnis dengan siapapun. Ha ha ha…kini yang ingin saya tempuh semoga tercapai adalah membawa pelukis Indonesia ke galeri mana saja.” Bila dulu ia dihidupkan oleh seni rupa Indonesia, kini ia membalas jasa dengan membawa pelukis Indonesia menembus pusat-pusat seni rupa dunia.

“Aku ternyata belajar dari Papa. Harus focus siapa diriku, mau apa aku. Terutama harus kreatif, bermimpi, dan selalu harus bermimpi.” Keliling dunia, memiliki lukisan Picasso, dan memiliki apartemen mewah di sepanjang jalan utama di Paris adalah mimpi yang akhirnya berhasil diwujudkannya -meski hal itu disadari setelah semuanya teraih. “Mungkin mimpi itu mengendap dalam pikiranku. Dan memberi motivasi dalam hidupku.” Ia tersenyum. Ingatkah ia pada keinginan untuk kaya untuk ibunya dan memberikan kebanggaan untuk ayahnya? Kini ia sudah berhasil pula mewujudkannya. (Rustika Herlambang)
http://rustikaherlambang.wordpress.com
Stylist: Karin Wijaya. Fotografer: Erwin Yaputra. Lokasi: Grand Suite Room, Hyatt Hotel, Jakarta