Halaman

Soemino Eko Saputro KA, Spirit Pro Rakyat




Jakarta 14/10/2009: Percepatan pembangunan perkeretaapian memiliki spirit pro rakyat. Pemerintah telah membuka kesempatan kepada pemerintah daerah dan swasta untuk masuk dalam bisnis layanan kereta api. Tidak lagi monopoli PT Kereta Api Indonesia.


Sebagai contoh, adanya Instruksi Presiden No 9//2005 tentang Dirjen Perkeretaapian dan Inpres No 10/2005 tentang Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Salah satu dari sejumlah kebijakan yang bersifat strategis dan langsung meyentuh kebutuhan rakyat banyak adalah perhatian pemerintah yang serius dalam membangun perkeretaapian.


Kebijakan itu diawali ketika, Hatta Radjasa (2004-2007) sebagai Menteri Perhubungan (sekarang Menteri Sekretaris Negara) dan Soemino Eko Saputro (2005-2008) menjabat sebagai Dirjen Perkeretaapian Departemen Perhubungan. Sampai sekarang geliat pembangunan Perkeretapian semakin berkembang maju.


Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dengan adanya UU 23/2007 membuka kesempatan pihak swasta dan pemerintah daerah masuk dalam bisnis perkeretaapian di tanah air. Hal itu akan memungkinkan percepatan perkembangan pembangunan Perkeretaapian di berbagai daerah. Seperti Aceh, Kalimantan, Sulawesi dan Bengkulu serta berbagai daerah lain.


Pembangunan kereta api sebagai perwujudan dari komitmen pemerintah terhadap masyarakat, khususnya pengguna jasa kereta api. Tapi yang lebih urgen, penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan dari dinamika pembangunan itu, semakin menonjol. Tentunya percepatan azas pemerataan pembangunan melalui tarsportasi Perkeretaapian telah menjadi perhatian pemerintah.


Tujuannya, mengurangi tingkat kemacetan jalan raya dan sebagai solusi pengguna jasa dengan tarif terjangkau, cepat dan mngangkut secara massal. Hal lain, sejauh mana publik diutamakan dalam rangka pelayanan transportasi nasional, yang pada intinya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.


Spirit untuk maju bersama, semakin jelas dari kebijakan SBY, dan beradaptasi dalam era kompetisi global. Indonesia sebagai negara kepulauan, sangat membutuhkan dukungan secara optimal terhadap lalu lintas perekonomian, antardaerah dan perkotaan, serta antarprovinsi dan satu saling bersinergi.

Jalur Ganda
Aneh tapi nyata, tahun 2006 untuk kali pertama terjadi di dunia, atap kereta jebol akibat berdesakan penumpang naik di atap gerbong kereta di stasiun Kebayoran lama-Jakarta. Pemerintah dengan tanggap langsung membangun jalur ganda Tanah Abang-Serpong dan dikerjakan oleh putra-putra terbaik bangsa di bidang Perkeretaapian.


Pembangunan yang menelan biaya melalui dana APBN sebesar Rp 350 miliar dengan waktu sekitar 1 tahun selesai. Sementara bila menggunakan bantuan luar negeri diperlukan dana Rp, 1.1 triliun dan 3 tahun baru bisa dinikmati oleh pengguna jasa kereta api.


Itu sebagai cikal bakal pembangunan doble track di Indonesia. Dimana selama puluhan tahun tidak ada aktivitas pembangunan Perkeretaapian di Indonesia. Bahkan, sebelumnya, cibiran dan skeptis terhadap nasib kereta api, bagaikan hidup enggan mati tak mau. Itu nasib kereta api sebelum pemerintahan SBY.


Baru, di era pemerintahan SBY, sebagaimana keberhasilan di bidang lain, pembangunana Perkeretaapian semakin meningkat pesat. Sebagai bukti, menghidupkan jalur yang sudah lama tidak beroperasi, seperti Bogor-Sukabumi atau pembangunan doble track Cirebon-Kroya, sementara jalur Kutoarjo-Jogjakarta-Solo sudah operasional. Tidak ketinggalan pembangunan perkeretaapian di Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Aceh makin meningkat pesat.


Denyut nadi pembangunan infrastruktur kereta yang tersebar, baik di perkotaan, pedesaan atau yang melintas di kaki gunung (Slamet), juga tidak kalah cepatnya, adalah pembangunan di bidang sarana, seperti, produk INKA yang semakin digalakan. Termasuk penggunaan signaling otomatisasi produk LEN maupun berbagai produk lain.


Ini sebagai gambaran, sebuah kebijakan yang mengutamakan penggunaan produk dalam negeri yang semakin dipacu dan berbagai produk lokal senakin kompetitif, produknya tidak kalah dibanding luar negeri.


Dan, kebijakan SBY, bukan hanya memberi dorongan dan menciptakan peningkatan peluang berusaha dengan kemampuan profesional juga pengembangan kompetensi,
Essensi, kekuatan dari setiap kebijakan putra Pacitan (SBY) itu, adalah dalam menentukan arah dan kebijakan, seperti dalam membangun Perkeretaapian, dengan arah yang jelas dan pasti sehingga hasilnya bagi penggunan jasa kereta api semakin dirasakan, dari sisi keamanan, kenyamanan maupun ketepatan sampai di tujuan .


Tujuan pertama adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan perekonomian rakyat makin sejahtera. ►ti/samsuri

Soemino Eko Saputro (01)


Pemimpin yang Tak Pernah Tidur

Soemino, seorang putera terbaik bangsa di bidang perkeretaapian di republik ini. Dia pantas digelari seorang pemimpin yang tak pernah tidur dalam megurusi kereta api. Selalu tampil dengan program dan karya nyata untuk memperbaiki kondisi perkeretaapian Indonesia. Dari sejak penugasan awalnya di PJKA (Surabaya) sampai menjadi Direktur Utama Perumka hingga menjadi Direktur Jenderal Perkeretaapian Dephub RI, yang pertama.



Sebutan sebagai pemimpin yang tak pernah tidur, pertama kali dialamatkan kepada Ir Soemino Eko Saputro, MM, tatkala menjabat Kepala Eksploitasi PJKA di Padang. Kala itu pria kelahiran Delanggu, Jawa Tengah, 10 September 1947, itu berhasil menghidupkan kembali kereta api yang nyaris ditutup Menhub di daerah itu.


Lulusan S1 ITS ini, pertama kali memprakarsai penggunaan HT (handy talky) untuk alat komunikasi jajaran PJKA saat menjabat Kepala Eksploitasi PJKA di Padang. Kendati mendapat tantangan, dia bersikukuh memperlengkapi jajarannya dengan HT, sebagai alat komunikasi. HT itu selalu diaktifkkan didekatnya selama 24 jam setiap hari. Sehingga dia bisa memantau dan mengomando tugas anak buahnya selama 24 jam. Sejak itu, dia digelari KE yang tak pernah tidur.


Prestasi yang gemilang di Padang, membuatnya disayangi oleh Azwar Anas yang kala itu menjabat Gubernur Sumatera Barat (Sumbar). Maka tatkala Azwar Anas diangkat menjabat Menteri Perhubungan, Soemino langsung dipercaya menjabat Direktur Teknik PJKA. Setelah delapan tahun, dia pun dipercaya menjabat Direktur Utama.


Ketika Soemino menjabat Dirut, KA mencapai kemajuan gemilang. Dia mewujudkan beroperasinya kereta api Argo Bromo, Argo Lawu, Argo Muria, Argo Anggrek dan Argo Gede. Semula, waktu tempuh Jakarta-Surabaya 11 sampai 13 jam, dipersingkat menjadi hanya 9 jam. Jakarta-Bandung yang semula 3 jam sampai 4 jam, jadi 2,5 jam. Jakarta-Solo yang biasanya 9-10 jam, ditekan menjadi 7 jam. Semua bisa dan selalu tepat waktu. (Selengkapnya baca: Masa Jaya Kereta Api, halaman 16)


Semua keunggulan itu bisa dipertahankan sampai dia keluar dari Kereta Api. Soemino menduduki jabatan Dirut, kurang lebih empat tahun. Kemudian, dia diganti. Sejak itu, kereta api kembali mengalami masa surut.


Entah kenapa di kereta api banyak juga terjadi kecelakaan. Hal ini, sesungguhnya membutuhkan orang kereta api yang harus berjaga-jaga 24 jam. Satu hal yang sering terjadi, apakah kebetulan atau memang karakternya seperti itu, setiap serah terima jabatan, dalam waktu yang tidak terlalu lama, selalu ada kecelakaan. Ada saja cobaannya.


Ini tantangan berat yang harus dihadapi para pejabat dan karyawan kereta api. “Kerja di tempat lain, mungkin tantangan seberat itu tidak terlalu terasa, tapi kalau di kereta api, hal itu harus dihadapi!” kata Soemino dalam percakapan dengan wartawan Tokoh Indonesia.


Maka, menurutnya, siapa pun pejabat di kereta api, harus siap tidak tidur, artinya harus selalu siaga 24 jam setiap hari. Dan, baginya hal itu bukan hanya ucapan kosong yang indah didengar, tetapi memang dilakoninya sampai saat dia dipercaya menjabat Dirjen Perkeretaapian Dephub.


Sejak awal bertugas di Surabaya (1976-1977), IKD 10 Malang (1977-1978), IKD 11 Jember (1978-1981), EKD Sumut (1981-1985), Kasi Konstruksi Kantor Pusat, Bandung (1985-1987), Kepala Eksploatasi Sumbar (1987-1988), Pjs Direktur Teknik (1988-1991), Direktur Teknik (1991-1995), hingga menjabat Dirut Perum Kereta Api (1995-1998), dia memang mengabdikan diri, dengan selalu bersiaga 24 jam setiap hari, mengurusi kereta api. Tak asing baginya menyelusuri dan memeriksa setiap jengkal rel kereta api, untuk mengetahui kondisi kelayakan rel.


Selepas menjabat Dirut KA, karirnya dianggap sudah mencapai puncak dan selesai. Dia memang masih diberi jabatan Staf Ahli Dirjen Hubdat (1995-1998), Kapuslitbang Manajemen Transportasi Multi Moda (2001-2002) dan Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi (2002-2005), tapi bagi banyak orang jabatan itu dianggap sebagai ‘buangan’. Namun, jabatan-jabatan barunya ditekuni sebagai tantangan dan peluang. Di situ dia tak pernah berhenti berpikir memecahkan berbagai masalah transportasi, terutama perkeretaapian.


Maka tatkala Menteri Perhubungan Hatta Radjasa membentuk Direktorat Jenderal Perkeretaapian Dephub, Sumino dipilih dan dipercaya menjabat Direktur Jenderal yang pertama (2005 sampai sekarang). Sebagai Dirjen Perkeretaapian yang pertama, dia bekerja keras secara kreatif menyusun program kerja jangka pendek, menengah sampai jangka panjang.


Program itu dipersiapkan secara matang dan diperbaharui setiap saat tatkala ada ide dan temuan baru. Dia biasa harus bangkit dari tempat peraduan tengah malam menakala ada sesuatu yang muncul dalam pikirannya untuk menyempurnakan program-program yang dirumuskan dan digariskannya. Dia tak sungkan menelepon staf lalu menghidupkan komputernya untuk menulis ide dan program kereta api itu. Sehingga dia digelari seorang Dirjen yang tak pernah tidur. (Selengkapnya baca: Inginkan KA Jadi Unggulan, halaman 22)


Bagi Soemino, KA harus mampu merebut peluang dengan pola jemput bola, bukan pola menunggu, berinisiatif serta kreatif untuk memenangkan kompetisi. Untuk itu, menurutnya, seluruh jajaran KA harus memiliki jiwa enterpreneur yang disesuaikan dengan kondisi yang ada.


Intinya, bagaimana bisa memberikan nilai tambah kepada perusahaan. Sebagai mantan orang pertama di Perumka (kini PT KAI), Soemino tahu persis seluk-beluk dunia KA nasional. Atas dasar itulah, dia berpandangan, keunggulan KA yang bersifat massal itu harus mampu membentuk brand image yang melekat di benak masyarakat luas.


Segenap jiwa, raga, keahlian dan tenaga dia tumpahkan dalam tugas pengabdiannya di kereta api. Berkarir di kereta api memang adalah pilihannya secara rasional dan profesional. Dia secara sadar lebih memilih berkarir di kereta api daripada di Pertamina dan Semen Gresik, yang juga menawarkannya ikatan dinas sesaat setelah menamatkan studi S1 di Institut Teknologi 10 November, Surabaya (ITS). (Selengkapnya baca: Memilih Kereta Api, Bukan Pertamina, halaman 12).


Disepuh di Surabaya, Medan dan Padang, putera bangsa kelahiran Solo dari keluarga berlatar darah dan budaya Jawa, ini memang tampil menjadi pemimpin yang berkarakter dan berkepribadian kuat.


Anak petani ini terasah mandiri sejak kecil. Bahkan dia sengaja memilih kuliah di Surabaya, bukan di Jogyakarta, untuk melatih diri sebagai diri sendiri yang mandiri dalam menghadapi tantangan hidup. (Selengkapnya baca: Anak Petani Dari Delanggu, halaman 20).


Dia pun menyepuh diri tatkala mengawali karir di Surabaya, kemudian ke Medan dengan aneka ragam karakter dan tantangannya. Slogan Ini Medan Bung (selengkapnya halaman 14, dijawabnya tangkas dengan membuka diri memperluas pergaulan. Di situ dia lulus, bahkan unggul. Berhasil menyelesaikan tugas sampai finis, hal yang nyaris sulit dicapai beberapa pendahulunya.


Setelah sempat bertugas di Kantor Pusat (Bandung) dia pun ditugaskan ‘menghidupkan kembali’ kereta api di Padang, Sumbar, yang sebelumnya telah diniatkan untuk ditutup. Di situ, dia sekali lagi mengukir prestasi menunjukkan kapasitas diri sebagai seorang pengabdi kereta api yang profesional, tak kenal lelah, sampai digelari KE yang tak pernah tidur.


Itu sekelumit perjalanan hidup dan karir yang sesungguhnya menunjukkan keutuhan dirinya laksana tokoh Gatotokoco sebagaimana digambarkan dalam kisah pewayangan. Tak heran bila di sudut-sudut tertentu di ruang kerjanya sebagai Dirjen Perkeretaapian, terpampang beberapa akronim wayang, satu di antaranya Gatotkoco putra Werkudoro (Bima).


Memang, Gatotkoco baginya banyak memberikan teladan dan spirit. Kelahiran Gatotkoco sudah digembleng di kawah candradimuka dan dipersiapkan oleh para Dewa untuk mengatasi serbuan para raksasa yang menyerang orang-orang yang tidak bersalah. Setelah tumbuh dewasa Gatotkoco mampu mengalahkan para raksasa.


Gatotkoco yang memiliki otot kawat tulang besi dan bisa terbang serta sakti, ini bisa diartikan punya cita-cita tinggi dan spirit yang kuat dan mengasihi sesama. Sebagai seorang satria, memiliki karakter terhadap tugas yang diembannya dan berjuang demi negara. (Selengkapnya baca: Pencinta Gatotkoco, halaman 25).


Sedikit banyak, cerminan tokoh wayang ini terpatri dalam diri Soemino. Sempat ‘diparkir’ tanpa jabatan di Departemen Perhubungan setelah ditarik dari jabatan Dirut Perumka, tidak membuatnya patah semangat apalagi frustrasi sebagaimana dialami banyak orang. Dia bahkan berkesempatan menunjukkan keutuhan diri, karakter dan kepribadian serta komitmennya pada tugas pengabdian sebagai seorang pegawai negeri sipil.


Selain selalu berdisiplin masuk kantor, dia juga mengunakan kesempatan belajar hingga meraih gelar S2 Manajemen Pemasaran dari STIE IPWI Jakarta, tahun 2000. Dia pun tak sungkan sempat membangun usaha keluarga, jualan nasi di atas mobil yang beroperasi di Jalan Pajajaran, Bandung. (Selengkapnya baca: Diparkir dan Jualan Nasi, halaman 18).
Keutuhan diri yang berkarakter dan berkepribadian kuat membuatnya selalu bersemangat dalam keadaan apa pun. Sampai akhirnya, setelah dikira banyak orang karirnya sudah habis, dia malah dipercaya menjabat Dirjen Kereta Api dengan tugas berat membenahi perkeretaapian yang belakangan demikian terpuruk di negeri ini.


Dia berkeyakinan, berbagai program yang telah dicanangkannya, akan berhasil secara bertahap mengatasi masalah pelik perkeretaapian itu. Dia berjanji, tidak akan pernah tidur, untuk bisa mewujudkan impiannya menjadikan KA Tulang Punggung Angkutan Darat.


Soemino sangat teguh pada prin-sip bahwa kereta api merupakan moda transportasi dengan multi keunggulan komparatif, hemat lahan dan energi, rendah polusi, besifat massal, dan adaptif dengan perubahan teknologi. Pada era kompetisi ini, potensi KA dapat direvitalisasi dalam fungsi memobilisasi arus penumpang dan barang di atas jalan rel, dalam rangka menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. ►e-ti/ch robin simanullang

Soemino Eko Saputro (02)


Memilih Kereta Api, Bukan Pertamina

Setelah meraih gelar insinyiur sipil dari ITS Surabaya, Soemino Eko Saputro, berkesempatan memilih satu dari tiga tawaran ikatan dinas. Pilihannya jatuh ke Perum Kereta Api. Dia malah mengabaikan PT Pertamina dan PT Semen Gresik yang menurut pandangan umum lebih memiliki masa depan yang menjanjikan.



Soemino tidak menyesal meskipun setelah jadi karyawan gajinya sempat dibayar cicil. Keteguhan hatinya membawa
hikmah. Soemino pernah menduduki posisi tertinggi di Perusahaan Umum Kereta Api, sebagai Direktur Utama.
Setelah mengalami pasang dan surut, bintang Soemino bersinar kembali. Departemen Perhubungan membentuk Direktorat Jenderal Kereta Api, dan menunjuk Soemino sebagai Direktur Jenderalnya yang pertama. Menteri Perhubungan Ir Hatta Rajasa agaknya tidak salah pilih, karena Soemino dengan segudang pengetahuan dan pengalaman, siaga penuh 24 jam, berpikir dan bekerja untuk kemajuan kereta api.


Semula pria kelahiran Delanggu, Jawa Tengah, tanggal 10 Septem-ber 1947 ini, tak pernah berkhayal untuk bekerja di Perum Kereta Api. Titik singgung antara Soemino muda dan dunia kereta api awalnya sederhana saja. Ibunya seorang pedagang beras, lebih memilih jasa kereta api untuk mengirim beras sampai ke Jakarta. Di situlah Soemino sering berhubungan dengan armada angkutan peninggalan Belanda tersebut.


Setelah lulus Insinyiur Jurusan Teknik Sipil di ITS, Soemino mendapat tawaran tiga ikatan dinas sekaligus yakni Pertamina, Semen Gresik dan Kereta Api. Dengan Semen Gresik, Soemino sudah disodori akte kesepakatan ikatan dinas di depan notaris, tinggal membubuhkan tanda tangan. Soemino sempat bingung, namun akhirnya malah menjatuh-kan pilihan pada kereta api.


Belum lama bekerja di kereta api, Soemino pusing juga karena gajinya selalu dibayar cicil dua kali. Padahal waktu itu, di Departemen PU, seorang insinyur sipil mendapat posisi yang bagus. “Waktu itu pembangunan sedang pada puncaknya,” kata Pak Mino dalam wawancara khusus dengan tim wartawan Majalah Tokoh Indonesia. Apalagi Semen Gresik me-nawarkan posisi yang bagus padanya.


Memang sebelum menanda-tangani akte kesepakatan ikatan dinas, Soemino bertanya kepada salah seorang pegawai senior di Perumka: “Bagaimana prospek kereta api?”
Jawabannya: Pertama, ini per-usahaan pemerintah yang sangat dibutuhkan oleh rakyat, jadi sam-pai kapan pun hidup, tidak bakal-an mati. Kedua, seorang sarjana, kalau masuk di kereta api, yang pasti tidak akan kelaparan. Ketiga, di kereta api, tidak banyak sarjana yang masuk. Jadi kalau ada sarjana yang masuk, peluang untuk berkarir jauh lebih lebar dibandingkan dengan yang lain. Keempat, (yang diambil Soemino sebagai bahan pertimbangan untuk memenangkan pilihan di kereta api), kalau masuk ke PU, sarjana luar biasa banyaknya, sehingga persaingan untuk memperoleh posisi bagus mungkin berat.


Akhirnya, Sumino berpikir ke depan, memutuskan masuk ke kereta api. Begitu menandatangani akte ikatan dinas di kereta api, sepulangnya dari situ, Soemino grogi juga. Masuk sekolah ikatan dinas, dia diledek teman-temannya: “Ngapain masuk kereta api, gajinya diangsur dua kali.” Namun Soemi-no jalan terus. Dua temannya, Jasmani dan Indrayono, bersama-sama dia masuk ke kereta api. Namun, Jasmani lari meninggalkan ikatan dinas, sedangkan Indrayono memilih bagian mesin, dan berta-han di kereta api sampai sekarang.


Soemino mengenang, walaupun sama-sama ikatan dinas, Allah SWT memberikan jalan yang berbe-da-beda pada orang yang berbeda-beda. Kawan Soemino laju karirnya tidak maksimal, tidak seperti dirinya yang kebetulan mendapat keberuntungan yang lumayan.


Lulus pendidikan ikatan dinas, Soemino belum juga yakin mau masuk ke mana. Dia tidak lang-sung melaporkan kelulusannya ke Perum KA yang memberinya ikatan dinas. Dia sempat ‘bersembunyi’ di Malang. Lantas dia dipanggil dan dibawa ke Bandung untuk meneri-ma penugasan. Dia masuk Perum Kereta Api tahun 1975, dan aktif tahun 1976.


Soemino diminta menemui Pak Sayid, Kepala Subdit Jalan dan Bangunan. Soemino menggambar-kan Pak Sayid sebagai seorang yang mengerti benar mengenai perkereta-apian, khususnya perihal track (jalur). Di situ Soemino diharuskan bertugas selama enam bulan. Agak-nya, setiap dia menemui pimpinan, waktunya dipotong. Kemudian menghubungi kantor Perumka di Manggarai, masa tugasnya juga diperpendek.


Sehingga waktu tugas yang semestinya enam bulan dipersing-kat menjadi tiga bulan. Setelah bertugas tiga bulan, dia melapor ke Pak Sayid, meminta keterangan tentang penugasan berikutnya, atau mau dikemana-kan. Lantas Pak Sayid bertanya padanya: “Kamu senangnya di mana?” Soemino menjawab, “kalau tidak di Jakarta, ya Surabaya.”
Kenapa? Soemino menginginkan tempat yang ramai, penuh tantangan dan punya banyak hal yang harus dilakukan. Seminggu kemudian, Soemino ditempatkan di Surabaya. Ini hal yang jarang terjadi, karyawan yang baru lulus dan menjalani masa percobaan tiga bulan langsung ditempatkan di Surabaya.


Di Surabaya, dia ditempatkan pada kualifikasi A. Di situ ada pengawas A, pengawas B, pengawas C. Soemino langsung ditempatkan pada peng-awas A. Tetapi, Soemino tidak genap enam bulan bertugas di situ. Lantas dia diangkat menjadi Kepala Inspeksi di Malang (13-12-1977 sd 17-10-1978).


Rupanya Soemino selalu bernasib mujur. Belum lama di Malang, dia disuruh berangkat ke Jepang untuk menem-puh pendidikan tentang Makna Perencanaan. Kembali ke Malang sepulang dari sekolah di Jepang, tidak berapa lama kemudian, dia dipindahkan ke Jember sebagai Kepala IKD 11. Di Jember, dia bertugas selama tiga tahun (18-10-1978 sd 29-09-1981).
Di Jember, Soemino menarik pengalaman dan pelajaran berhadapan dengan orang-orang Jember keturunan Surabaya dan Madura. Soemino merasa tertantang berurusan dengan para karyawan yang keba-nyakan keturunan Madura. Dia belajar bagaimana mengelola dan mengoordinir sumber daya manusia (SDM).


Saat itu kondisi perkereta-apian sangat jelek. Di Jember, Soemino menjabat sebagai Kepala Bagian Jalan dan Bangunan. Kepala Eksploitasi ada di Surabaya, kala itu dipimpin Edi Ruslani, membawahi Madiun, Surabaya, Malang dan Jember. Edi orangnya keras bukan main. Setiap pagi Edi jalan kaki untuk mengecek jalur (jalan) kereta api, karena itu dia tahu persis kondisi jalur. Dan secara berkala melakukan inspeksi.


Daerah Jember, awalnya mencakup jalur kereta api mulai dari Jember - Kalisat - Bondowoso - Panarukan, Kalisat - Banyuwangi, dan Rambu Puji - Lumajang. Bilamana ada inspeksi oleh Kepala Eksploitasi, yang dipanggil mendampingi adalah Kepala Jalan dan Bangunan. Dia harus berada di gerbong kereta paling belakang. Saat itu ada kereta seperti eksekutif, namanya KA Nusantara, khusus untuk inspeksi. Mereka duduk di belakang menghadap ke jalan. KA yang paling tidak enak, kereta yang paling belakang.


Biasanya pada setiap inspeksi pasti ada korban. Korbannya, kalau tidak Kepala Seksi, ya Kepala Distrik. Kalau kondisi kereta jelek, kotor dan tidak karuan, pejabat yang bertanggung jawab, besok atau lusa hilang karena diganti. Inspeksi bertujuan memfinalisasi orang itu, mau terus atau tidak.
Di saat ada inspeksi, karena wilayahnya di Jember, Soemino harus menjemput di Prengil. Siap siaga di Prengil. Begitu kereta berhenti yang turun duluan Kepala Eksploitasi. Setelah salaman, semuanya masuk lagi. Yang lain nongkrong di belakang, sedangkan Soemino sepanjang perjalanan, mendampingi Kepala Eksploitasi.


“Itu pekerjaan bagian Jalan dan Bangunan. Gerbong kotor dimarahi, apalagi kalau goyang, isi gelas tumpah, pasti dimarahi,” kenang Soemino. Demikianlah kerasnya disiplin di kereta api saat itu. ►mti/crs-sh-ri

Soemino Eko Saputro (03)


Ini Medan Bung!

Lepas tugas di Jember, Soemino dipindahkan ke Medan. Di sana dia bertu-gas selama tiga tahun (30-09-1981 sd 03-01-1985) sebagai Kepala Seksi Jalan dan Bangunan. Orang menyebut bertugas di Medan itu sebagai “tempat basah”, artinya jabatan yang banyak duit-nya. Kalau banyak duitnya, yang ingin mengurusi tentu banyak.


Namun, menurut Soemino, umumnya orang yang bertugas di Medan, yang disebut duduk dalam posisi yang agak basah, itu kalau tidak pandai-pandai, malah bisa susah. Di sana ada pemeo, “Ini Medan Bung!” Hampir semua pejabat sebelum Soemino tidak sampai tuntas melaksanakan tugasnya, masa-lahnya ada saja. Tetapi Sumino bisa bertugas di Medan secara tuntas sampai tiga tahun tanpa bermasalah. “Kiatnya banyak kawan,” kata Soemino Eko Saputra.


Perihal kiatnya menghadapi masalah dan tantangan selama bertugas di Medan, pada era yang kala itu berbeda, dia menggalang hubungan dengan ABRI.” Dia berusaha mencari jalan untuk bisa dekat dengan para prajurit dan petinggi ABRI di daerah itu. Dia berusaha membuka hubungan dengan Pangdam, Kasdam dan seterusnya. Di antaranya Asisten Pangdam yang membidangi kewartawanan. Waktu itu masih rawan sekali. “Kalau berkawan sama beliau aman,” kiatnya. Jadi memang ada istilah di sana: “Ini Medan Bung.” “Kalau kita bisa beradaptasi memang bagus, enak juga di sana,” kenangnya.


Dari Medan dia pindah ke Bandung jadi Kepala Seksi Konstruksi. Dia ditempatkan di jabatan yang kata orang termasuk kering. Tapi dia senang saja di mana pun berada. Begitu dia masuk di Kasi Konstruksi, menangani masalah track (jalan kereta api), dia memprioritaskan pekerjaan dan membina hubungan baik dengan semua lini, sehingga punya teman makin banyak.


Satu hal yang dia rasakan di kereta api, pembinaan dari para senior sangat bagus. Jadi setiap malam minggu, dia selalu dikasih uang oleh para seniornya karena mereka tahu dia tidak punya duit. Pembinaan kala itu sangat bagus sehingga loyalitas tinggi sekali. “Saya tidak tahu sekarang seperti apa,” katanya. ►mti/crs-sh-ri


Soemino Eko Saputro (04)


‘Tak Pernah Tidur’ di Padang

Dari Bandung dia pindah ke Padang. Di ibukota propinsi Sumatra Barat itu, dia punya sejarah tersendiri. Saat
itu, Padang Panjang dan hampir di seluruh Sumatera Barat, dilanda banjir bandang. Banjir merusak dan membongkar rel kereta api di Padang Panjang. Saat itu Kepala Eksploitasi-nya Pak Mansyur.


Mansyur lapor ke Gubernur Az-war Anas bahwa terjadi longsoran, jalan kereta api tidak bisa dilewati. Mansyur juga melaporkan bahwa jalan kereta api tidak bisa dilalui selama 30 hari. Padahal itu jalur angkutan batubara untuk memba-kar semen di Indarung. Dengan demikian, batu bara akan terpaksa diangkut dengan kapal selama sebulan.


Keadaan itu jadi gempar, terutama di lingkungan KA. Lalu, dia dipanggil direktur utama KA, saat itu dipegang oleh Suharso. Dia diperintahkan berangkat ke Padang untuk melihat longsoran yang menimpa jalan kereta api. Setelah mengecek sana-sini, Soemino menemui Gubernur Azwar Anas. Gubernur bertanya: “Kira-kira berapa lama ini bisa selesai?”


Soemino menjawab: “Seminggu selesai.”
“Wah, nggak mungkin dong, Pak Mansyur saja mengatakan satu bulan,” komentar Azwar. Tapi dia meyakinkan akan bisa menyelesai-kannya dalam satu minggu.


Lantas, segera Soemino berang-kat ke Padang Panjang. Dia amati dengan seksama, dan akalnya langsung jalan menemukan cara terbaik dan tercepat menyelesaikan masalah. Seminggu kemudian, dia lapor ke Gubernur. “Pak, kereta sudah bisa jalan.” Jawab Guber-nur: “Oh sudah bisa ya. Waduh, saya senang.”


Itu citra dan kesan pertama yang dia tunjukkan kepada Gubernur Azwar. Tak berapa lama setelah kejadian itu, Soemino lantas ditempatkan di Padang menjadi Kepala Eksploitasi Sumatera Barat (12-05-1987 sd 26-06-1988).
Menteri Perhubungan yang saat itu sudah berniat menutup jalur kereta api di Sumbar karena tidak memiliki kemampuan untuk mengangkut dan tidak memiliki uang untuk melaksanakan perbaikan, mengurungkan niat.


Memang kondisi di Sumbar kala itu sangat parah. Ketika datang pertama kali ke Sumbar sebagai orang konstruksi, datang kedua kalinya sebagai Kepala Eksploitasi. Langkah awal Soemino adalah melapor lagi ke Gubernur Azwar Anas dan melakukan pendekatan kepada Kapolda, Kajati dan semua petinggi di sana, sehingga dia banyak kenalan. Soemino minta dukungan mereka. Setelah itu melakukan konsolidasi di dalam.


Soemino juga bertemu dengan kepala kejaksaan. Saat itu, mereka masih sama-sama baru. Karena itu Soemino mengajak ngobrol sambil makan. Mereka juga membikin komitmen untuk sama-sama bekerja sebaik mungkin.
Kemudian, dia menggalang hubungan dengan wartawan. Di antaranya menanyakan: “Sebenarnya siapa sih yang bisa memperbaiki kereta api? Siapakah yang bisa memperbaiki kereta api, wartawan atau kami orang kereta api?” Para wartawan itu mengatakan, “yang punya kewajiban, ya orang kereta api.”


Lantas Soemino minta dukungan wartawan: “Kalau anda yakin orang kereta api yang akan memperbaiki kereta api, tolong kalau memang ada kekurangan, saya akan tangan-i, kalau tidak saya tangani, silahkan Anda koreksi, Anda kritik.”
Soemino meminta kesempatan untuk bekerja, agar belum apa-apa jangan direcoki. Dia menjamin apapun yang mereka inginkan akan dikerjakan. Soemino meminta para wartawan, kalau ada sesuatu, bisa didiskusikan. Dan kalau dia tidak bisa menyelesaikan, silahkan diekspos. Ini komitmennya! Kemu-dian pers pun mulai mendukung.


Sejak itu, Soemino mulai dike-nal. Setiap hari Jum’at dia meman-faat-kan waktu untuk berbicara dengan wartawan dan warga. Mereka sudah mulai akrab, tidak sampai tiga bulan kepercayaan bangkit kembali. Kemudian, semua orang kereta api sudah berani menggunakan buku agenda kereta api. Orang-orang PJKA, setiap Jum’at sudah mulai berani mengenakan pakaian training. Hanya dalam tiga bulan, Soemino betul-betul menunjukkan prestasi di Padang. Dia pun tidak pernah lupa dengan pembimbing-nya yang bernama Ali Unir.


Setelah itu, dia memantapkan konsolidasi di dalam. Kemudian, dia negosiasi dengan perusahaan penambang batubara di Sawah Lunto. Dia memastikan alokasi angkutan batubara dengan KA, yang sebelumnya diangkut dengan truk. Kemudian mendapat jawab-an: “Kalau Pak Soemino bisa atur silakan saja.”


Semula amat susah mengangkut 40 gerbong per hari. Lalu dia berusaha memaksimal daya angkut. Dia menghitung, jika bisa mengangkut 80 gerbong sehari, itu sudah sesuai target. Kalau lebih berarti melebihi target.


Lalu Soemino berusaha maksimum. Dia bekerja siang-malam tanpa kenal lelah. Sampai-sampai dia digelari KE (Kepala Eksploitasi) yang tidak pernah tidur. Dia mengumpulkan teman-temannya, kemudian mulai bekerja keras. Di situlah dia sungguh-sungguh menggarap kereta api secara efisien dan efektif, siaga 24 jam setiap hari.



Dia pun mengerahkan rekan-rekannya untuk tidak hanya bisa mengangkut 40 gerbong batubara sehari, tetapi menargetkan minimal 80 gerbong per hari dan kalau bisa mencapai 100 sampai 120 gerbong per hari. Setiap lebih dari 80 gerbong, dia memberi bonus kepada anak buahnya. Kala itu, belum ada orang yang berani memberikan bonus kepada karyawan Perum KA. Sumino berani memulainya.


Menurut Sumino, untungnya Pak Arief Mudjono, Kasi keuangan, waktu itu orang yang berani juga. Kala itu Sumino bertanya: “Pak Arief berani nggak.”
“Berani asal bapak juga berani,” kata Arief Mudjono.
“Oke berani. Di atas 80, saya kasih bonus. Bonusnya dibagi sepanjang lintas,” tegas Sumino.


Para karyawan pun bekerja dengan giat. Mereka bangga juga ketika dibilang, “inilah bukti bahwa anda berhasil bekerja.”
Kemudian, Soemino meminta izin gubernur untuk mengecat pagar sepanjang jalan dari Bandara Tabing, dengan warna biru-putih-biru. Dua hari kemudian Gubernur dan para petinggi Sumbar lainnya lewat, jembatan kereta api sudah diperbaiki dan pagar sudah dicat rapih. Dari Padang pagar itu kelihatan tegak lurus, bagus sekali. Gubernur pun menyatakan keka-gumannya. Sumino pun pantas digelari pejabat kereta api yang tidak pernah tidur.


Padahal, sebelumnya, kondisi kereta api di Sumbar sangat memprihatinkan. Di sana ada rel kereta api tetapi tidak ada telepon. Gerbongnya juga tidak terawat dengan baik. Bahkan, saat pertama kali dia masuk ke Padang, masya-rakat Sumbar benci sekali sama yang namanya kereta api. Ini berawal dari ketidakpercayaan orang terhadap kereta api. Karena banyak kecelakaan. Sehingga karyawan tidak ada yang berani mengenakan seragam kereta api.


“Saya datang ke sana, semua orang pikirannya, pulang saja ngapain ke sini,” kenang Soemino. Tahun 1986, keadaannya sangat berat. Dia diperingatkan seorang temannya: “Ngapain datang ke situ, masuk ke kandang macan.” Tapi Soemino tegar dan bilang: “Saya masuk kandang dan mau jadi macannya.”


Di sana tidak ada telepon. Lalu Sumino mencari jalan agar punya alat komunikasi. Dia pun mengambil kebijakan yang terbilang berani, membeli HT (handy talky). Orang kantor pusat tidak setuju: “Nggak bisa jalanin kereta api pakai HT.” Sumino berkeras dan bilang: Ini bukan jalankan kereta, untuk komunikasi, karena tidak ada telepon.”


Akhirnya Sumino nekat. Dia siap mengambil risiko, bila berlu diperiksa dan diganti. Akhirnya disetujui, pasang semua. Dengan alat komunikasi HT itu, dia mulai mengomando yang namanya masinis, dan kondektur PJKA. Dia sudah bisa komando langsung, jam berapa saja. Sehingga dia sampai terkenal sebagai KE yang tak pernah tidur, karena HT-nya selalu aktif dan ditaruh di sam-pingnya, siang malam selama 24 jam.


Sewaktu-waktu ada masinis, di-suruh nglangsir tidak mau. Sudah disuruh sama Kepala Stasiun PJKA, tetap tidak mau. Mungkin masinis tadi capek atau apa, disuruh ngelangsir tidak mau, sama-sama emosi. Kepala Stasiunnya marah, masinisnya marah juga dan memecah kaca. Lalu, dia perintahkan berangkatkan saja, sudah berangkat.
Kemudian, dia kontak Kepala Depo Solok melalui HT, tolong Anda siap di stasiun, bawa satu masinis dan satu pembantu masinis. Begitu KA nomor sekian masuk, masinis turun. Kepala Deponya sudah di stasiun sama dua masinis. Masinis yang marah tadi diganti. Setelah kejadian itu, semua menjadi tertib.


Selain itu, setiap Kamis, Sumino keliling stasiun-stasiun. Di stasiun ini ngobrol, di stasiun sana ngobrol lagi, sampai malam, ujungnya tembus sampai Padang Panjang. Pada pagi hari saat orang senam, dia juga bergabung dan menyatu. Sehingga hampir semua orang sudah kenal.


Dengan kreativitas, kerja keras dan pendekatannya yang demikian baik, hanya dalam satu tahun dua bulan tiga hari dia mendapat pro-mosi diangkat sebagai Pjs Direktur Teknik Perum KA di Kantor Pusat, Bandung (27-06-1988 sd 14-07-1991). Kemudian dikukuh sebagai Direktur Teknik yang dijabatnya sejak 15-07-1991 sd 14-07-1995. Pengangkatannya tak lama setelah Gubernur Sumbar Azwar Anas diangkat menjadi Menteri Perhu-bungan. Azwar yang sudah tahu prestasi Soemino selama bertugas di Padang mempercayainya menja-bat Direktur Teknik. Selama di Padang, Soemino bahkan sudah dianggap Azwar sebagai anak sendiri.


Begitu Soemino pindah ke Bandung, semua orang Perumka pegang HT (handy talky), semula hanya digunakan di Padang, atas prakarsa berani Soemino. ►mti/crs-sh

Soemino Eko Saputro (05)


Masa Jaya Kereta Api

Memulai karir dari bawah dengan berbagai prestasi, Soemino diper-caya menduduki jabatan puncak di Perumka, sebagai Direktur Utama (27-01-1995 sd 03-09-1998). Se-waktu menjabat Direktur Utama, Soemino mengukir prestasi yang terbilang terbaik setelah KA ditangani republik.


Pada masa kepemimpinannya Kereta Api Argo Bromo, Argo Lawu, Argo Muria, Argo Gede, Argo Dwipangga dan Argo Anggrek mulai beroperasi. Semula, waktu tempuh Jakarta-Surabaya 11 sampai 13 jam, dipersingkat menjadi hanya 9 jam. Selalu tepat waktu. Jakarta-Bandung yang tadinya 3 jam lebih atau 4 jam, jadi 2,5 jam. Jakarta-Solo yang biasanya 9-10 jam, dia tekan menjadi 7 jam. Semua bisa.


Kala itu, orang-orang yang sering bepergian dari Jakarta-Surabaya dan Jakarta-Solo dan sebaliknya, menjadi lebih suka naik kereta api Argo ketimbang naik pesawat. Bukan hanya karena faktor harga tiket, juga faktor kenyamanan dan faktor waktu yakni bisa bepergian waktu malam sehingga sekalian bisa dimanfaatkan istirahat me-ngirit biaya menginap di hotel.
Maka pantas saja Hermawan Kartajaya, marketing ikon of Indonesia, dalam bukunya Hermawan Kartajaya on Positioning, Seri 9 Elemen Marketing, secara lugas mengulas Perumka dalam kepemimpinan Soemino Eko Saputro, bertajuk: Repositioning Perumka Melalui Argo.


Hermawan menulis: “terus terang saja, saya sendiri terma-suk yang gembira dengan prestasi yang diraih oleh Perumka. Soalnya, prestasi tersebut diraih karena Perumka mengguna-kan konsep marketing. Tidak hanya menyadari, tapi sudah menerapkan. Misalnya saja soal brand as the first ultimate value of marketing, itu mereka sadari benar. Lihat saja yang dilakukan Perumka dengan kereta Argo. Di situ, Perumka yang membidik target market yang value oriented benar-benar berhasil karena mereka tidak hanya memperbaiki value enabler, tetapi juga berusaha agar segitiga komunikasi bisnis Argo benar-benar berjalan solid. Diferensiasinya betul-betul diperhatikan sehingga positioning-nya pun jadi clear. Dan pada akhirnya, konsumen pun mendapat value yang benar, yaitu brand.


Hasilnya? Perumka tidak hanya win the market share, tetapi juga mind share, dan heart share melalui Argo. Dan karena product brand-nya ba-gus, maka corporate brandnya pun ikut terangkat. Dengan demikian, citra negatif yang dulu menggayuti Perumka sebagai perusahaan yang old fashioned, undermanaged, birokratis, dan lamban mulai bergerak hilang dan digantikan oleh asosiasi positif sebagai perusahaan profesional yang profitabel. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa Argo merupakan pembuka jalan repositioning Perumka.”


Oleh karena itu, tulis Hermawan Kartajaya dalam bagian lain bukunya bertajuk: Mengapa Perumka Sukses di Tengah Krisis, bahwa: “Perumka sungguh beruntung punya dirut seperti Soemino Eko Saputro, yang sense of businessnya tinggi. Melalui Soemino, Perumka terbukti bisa melawan arus. Bisnis KA ternyata bisa menguntungkan. Apa yang dilakukan? Perumka tidak mengurangi KA kelas ekonomi, malah sebaliknya. Namun, pada saat bersamaan, Perumka menambah KA untuk pelanggan berorientasi nilai (value oriented customer).”


Membidik pelanggan yang sebelumnya punya persepsi minor terhadap Perumka, tentu tidak gampang. Ternyata, kata Hermawan, ini disadari benar oleh Soemino. Oleh karena itu, untuk melayani segmen baru itu, dia tidak hanya meng-usahakan produk yang memenuhi standar mereka, tapi juga memikirkan branding-nya. Bukan sekadar just a name, melainkan sudah memikirkan-nya sebagai indikator nilai.


Itu belum seberapa, kata Hermawan. “Perumka ternyata juga memikirkan kebutuhan orang-orang yang ingin tetap bisa menjalankan rutinitas bisnis. Di Argo Bromo Anggrek yang diluncurkan bulan September dan tiketnya lebih mahal daripada tiket pesawat termurah Jakarta-Surabaya, ada business center-nya. Oleh karena itu, jika Anda ingin tetap bekerja sepanjang perjalanan, tidak usah khawatir.


Soalnya, di business center ini fasilitasnya cukup lengkap: telepon, komputer, laptop, faksimile, dan lain-lain. Bahkan jika ingin menghibur diri juga bisa, soalnya Argo Bromo Anggrek dilengkapi dengan bar mini yang ada karaokenya. Jadi, value-nya tinggi. Oleh karena itulah, saya tidak kaget jika occupancy rate-nya tinggi, di atas 85% dalam waktu satu bulan sejak diluncurkan. Padahal, tiketnya lebih mahal ketimbang tarif pesawat.” Begitu apresiasi Hermawan atas kepe-mimpinan Soemino di Perumka.


Semua keunggulan itu bisa dipertahankan sampai Soemino keluar dari Kereta Api (kala itu Perumka). Soemino menduduki jabatan Dirut, kurang lebih empat tahun. Tetapi menjabat sebagai Direktur Teknik selama delapan tahun. Ketika menduduki jabatan itu, dia mengibaratkan dirinya memimpin kekalutan, apa yang harus dikerjakan untuk memperbaiki kereta api. Makanya, begitu dia menjadi direktur utama, keada-annya sudah berubah.


Semua jenis Argo dirintis menjelang 50 tahun kemerdekaan, Agustus 1995. Yang memu-lai Dirut Anwar. Tetapi Soemino tidak pernah mementahkan apa yang sudah dikerjakan penda-hulunya dan selalu mengemban, meneruskan apa yang sudah dirintis dan selalu berkelanjutan. “Sebab kalau suatu program dipatahkan di jalan, bisa hancur,” kata Soemino.


Tahun-tahun itu, orang-orang kereta api merasa bangga. Ham-pir semua orang mengatakan bangga jadi orang kereta api. Mengenai tunjangan juga begitu. Tunjangan hari raya, tahun pertama, dia keluarkan satu bulan gaji. Tahun kedua, dua bulan gaji, tahun ketiga, tiga bulan gaji. Tahun keempat dia punya program untuk empat kali gaji, belum sempat tunjang-an itu diberikan, Soemino keburu diganti.


Setelah tidak menjadi Dirut, Soemino diundang oleh berbagai kalangan sebagai pembicara. Dia juga acapkali diundang oleh kepala-kepala daerah. Karena-nya pantas dia punya kebang-gaan tersendiri.


Bintang-bintang yang diper-oleh Soemino dari Presiden selama menjalankan tugasnya di kereta api, di antaranya: Lancana Karya Satya 10 Tahun (1995), Satya Lancana Wiraka-rya (1996), Satya Lancana Pembangunan (1998), Satya Lancana Karya Satya 20 Tahun (1998) dan Satya Lancana Karya Satya 30 Tahun (1998). ►mti/crs-sh

Soemino Eko Saputro (06)


‘Diparkir’ dan Jualan Nasi

Setelah ditarik dari Dirut KA, dia sempat ‘diparkir’ Dephub tanpa jabatan berarti. Namun dia selalu berdisiplin hadir ke
kantor setiap hari. Dan sebagai orang yang punya kebiasaan tidak mau berdiam diri, dia pun membuat usaha berjualan nasi di atas mobil dan membuka salon kecantikan.



Dia punya tiga mobil, yang digunakan sebagai tempat berjualan. Banyak orang bilang, “bekas Dirut Perumka jualan nasi.” Soemino dan keluarganya saat itu jualan makanan di depan GOR Jalan Pajajaran, Bandung.


Kenapa dia jualan? Waktu itu, di rumahnya tinggal banyak orang. Orang-orang dari desanya banyak yang tinggal di rumahnya. Kalau dia tidak memberikan kehidupan pada mereka, kasihan juga. Soemino menanyakan kepada mereka: “Kalian pintar masak, kalau kita jualan makan-an mau nggak?” Mereka mau dan dibelikan tiga mobil. Selain itu, Soemino memiliki katin dan restoran. Yang mengurus isterinya. Dia juga ikut mengurus, tetapi karena ditempatkan di Jakarta, dia bolak-balik Bandung-Jakarta.


Kala itu, banyak orang berpikir bahwa karir Soemino di Perumka dan Departemen Perhubungan sudah berakhir. Namun dia sendiri tidak mempersoalkan berhenti atau tidak berhenti. Tetapi sebagai pegawai negeri, saat pensiun adalah usia 55. Sehingga sambil menunggu usia pensiun, dia mempersiapkan harus punya aktifitas. Dia tidak mau tidak punya aktifitas.


Dia pun membuat aktifitas sampingan, bukan fokus. Sasar-an utamanya adalah untuk aktifitas seluruh orang-orang yang pernah tinggal di rumahnya. Mereka harus hidup. Dia buatlah suatu kegiatan yang kalau ditekuni, mereka akan bisa makan, bisa mendapatkan gaji dari kegiatan itu, karena mereka juga butuh gaji dan butuh makan.


Pada waktu itu, dia tidak pernah terpikir akan jadi apa lagi. Tetapi dia bertekad harus bekerja sesuai bidangnya. Karena dia pegawai negeri, maka apapun yang ditugaskan padanya, dilakukan secepat mungkin. Dia tidak pernah menunda pekerjaan. Begitu diberi pekerjaan langsung dia kerjakan.


Mungkin tidak banyak orang yang sepatuh dia. Bahwa saat tidak ada pekerjaan pun, dia selalu berdisiplin, selalu datang tiap hari. Meskipun tidak ada apa-apa tapi tetap saja setiap hari ada di ruangan. Dia punya prinsip, sebagai pegawai negeri, terlepas diberi tugas atau tidak, punya kewajiban harus hadir di ruangan. Dia juga banyak belajar dari keadaan itu.


Ketekunan, kesabaran dan kedisiplinan sedemikian rupa itulah mungkin yang membuat orang lain melihat bahwa tingkat keseriusan Soemino terhadap pekerjaan selalu tinggi sehingga masih dipercaya. ►mti/crs-sh-ri

Soemino Eko Saputro (07)


Dirjen KA Pertama

Setelah Soemino tiga tahun menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Manajemen Multi Moda, dan Staf
Ahli Menhub Bidang Ekonomi, kemudian muncul Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Dan Soemino dipercayakan menjadi Dirjennya yang pertama.


Soemino tidak tahu persis mengenai munculnya usulan untuk pembentukan Ditjen Perkeretaapian. Tetapi Departemen Perhubungan, tentunya memikirkan perlunya pengembangan perkeretaapian. Soalnya, selama ini dengan masuknya kereta api di Ditjen Perhubungan Darat, kemajuannya belum maksimal. Mungkin perlu dikembangkan, karena di negara-negara lain, seperti China, Rusia dan Myanmar, kereta api cukup besar pengaruhnya. Di negara-negara lain bahkan ada kementerian kereta api. Tetapi di Indonesia kok masih berada di bawah Ditjen Perhubungan Darat. Itu sasarannya, kenapa dimunculkan Ditjen Perkeretaapian.


Soemino dipanggil Menteri Perhubungan, mungkin karena dia dipandang orang lama yang menggeluti kereta api. Pak Hatta memiliki pemikiran yang tajam. “Saya tidak tahu persis. Tetapi di mana pun ditempatkan, pasti akan saya kerjakan dengan baik,” kata Soemino.


Pikirannya setelah mendapat kepercayaan sebagai Dirjen KA, hanya satu, pengabdian bagaimana membangun kereta api menjadi bagus. Dia sangat menyadari peluang untuk mengabdikan diri terbatas waktunya. Maka dia mengaku akan merasa puas dan bangga kalau meninggalkan Direktorat Jenderal Perkeretaapian dalam kondisi yang bagus.


Sama seperti ketika dia meninggalkan Perumka, dimana kondisi kereta api berada pada puncak, terbaik. Dia memang selalu berusaha meninggalkan pekerjaan dalam kondisi prima atau kondisi puncak. Sekarang pun juga demikian, dia berusaha bekerja semaksimal mungkin, sehingga kalau meninggalkan jabatannya, paling tidak kereta api dalam kondisi siap dan bagus. Untuk mencapai hal itu, dia tidak sekedar ngomong. Melainkan dia memulainya dengan membuat program yang sangat komprehen-sif, ditel, fisibel dan aplikatif. Siap menjadikan KA sebagai alat transportasi massal unggulan di negeri ini. ►mti/crs-sh-ri

Nama :Ir H Soemino Eko Saputro, MM
Lahir :Solo, 10 September 1947
Agama :Islam
Jabatan:Dirjen Perkeretaapian, Departemen Perhubungan

Pendidikan:
- SD Solo 1959
- SMP Surakarta 1962
- SMA Surakarta 1965
- S 1 Teknik Sipil ITS, Surabaya, 1976
- S 2 Manajemen Pemasaran STIE IPWI Jakarta 2000

Tanda jasa/penghargaan
- Satya Lancana Karya Satya 10 Tahun, 1995
- Satya Lancana Wirakarya, 1996
- Satya Lancana Pembangunan,1998
- Satya Lancana Karya Satya 20 Tahun, 1998

Alamat Kantor:Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Dephub RI, Jalan Medan Merdeka Barat No 8, Jakarta Pusat

Alamat Rumah:Jl. Lengkong Dalam No. 23, Kelurahan Cikawo, Kecamatan Lengkong, Bandung, Jawa Barat

Jalan Bumi No. 26, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan